Kebun Gereja Santo Andreas, Menjaga Lingkungan dan Persaudaraan
Kebun Gereja Katolik Santo Andreas Kim Tae-gon di Jakarta Utara punya banyak kebaikan. Dari menghasilkan sayuran organik hingga membantu pengentasan ”stunting”.
Kebun Gereja Katolik Santo Andreas Kim Tae-gon di Kelapa Gading, Jakarta Utara, punya banyak kebaikan. Dari menghasilkan sayuran organik hingga membantu pengentasan ”stunting” bagi warga setempat.
Mengenakan tudung kepala beranyaman bambu, Nila Sari (51) menyusuri halaman belakang Gedung Karya Pastoral Gereja Kim Tae-gon, Senin (18/12/2023). Perlahan, ia memanen bayam Brasil, lalu memasukkannya ke keranjang.
Tidak hanya bayam, ia bersama sejumlah warga juga memetik terong dan kacang panjang. Di lahan seluas 800 meter pesegi itu, tampak pula tanaman lainnya, seperti kangkung, sawi, cabai, kemangi, nangka, cempedak, jambu, sukun, anggur, hingga melon.
Baca juga: Sejarah dan Tema Natal yang Penuh Kemuliaan
”Hasil kebun sebagian kami sumbangkan ke warteg (warung Tegal) dan ibu tukang jual pecel. Kami bagikan cuma-cuma. Buah dan sayur juga kami peruntukkan ke pastoran. Biar romo-romo di sini makan sayur dan tambah sehat,” kata Nila tersenyum.
Sebagian lagi hasilnya dijual untuk umat dengan harga yang lebih murah. Bayam Brasil, misalnya, dibanderol hanya sekitar Rp 5.000 seikat. Harga sayuran sejenis di pasaran bisa lebih dari 15.000 per ikat. ”(sayuran) ini fresh dari kebun, tanpa pestisida,” ucapnya.
Beginilah hasil kebun sayuran Gereja Katolik Santo Andreas Kim Tae-gon. Sekitar lima tahun lalu, tempat itu hanyalah tanah kosong. Berbagai material bekas pembangunan menumpuk di sana. Area itu juga gersang dan menjadi sarang nyamuk.
Namun, pada 2018, seksi lingkungan gereja mulai membersihkan lahan itu. Tanah dikasih pupuk kandang dan diolah untuk ditanami sekitar 3 bulan. Nila bersama ibu-ibu kebun yang disapa ibun kemudian menanam kangkung. Tanaman ini dianggap paling kuat bertahan.
”Kami bersyukur ternyata tanaman tumbuh baik. Lalu, pelan-pelan kami menambah ragam tanaman serta menanam pohon buah agar bisa dimanfaatkan dan bisa untuk peneduh,” kata Nila, anggota seksi lingkungan Gereja Katolik Santo Andreas Kim Tae-gon.
Seiring berjalannya waktu, tanah kosong itu menjelma kebun gereja yang dikelola sekitar 13 orang. Tidak hanya menghasilkan aneka sayuran dan buah, kebun itu juga membantu warga lanjut usia dalam kegiatan Gerakan Layani Orangtua atau Gelora di paroki gereja.
Kegiatan yang mulai tahun 2022 setiap Senin dan Kamis itu mengajak para lansia berkumpul, bernyanyi, senam, berdoa, dan makan siang bersama. Menu makannya pun berasal dari kebun gereja.
Baca juga: Makna Ornamen Natal, Kegembiraan Menyambut Kelahiran Sang Juru Selamat
”Ini bentuk perhatian pada lansia yang kebanyakan saat anak cucunya sudah beraktivitas, mereka sendirian,” kata Yuli, salah seorang anggota ibun. Beberapa kali ia memetik nangka muda di kebun dan membuatkan sayur lodeh untuk lansia.
”Oma-oma itu sangat senang makan makanan dari kebun sendiri. Makan sayur nangka, asalkan tidak pedas. Karena, mereka memang tidak suka pedas. Senang jika hal sederhana yang kami lakukan di kebun ini membuat mereka bahagia,” kata Yuli.
Lucy, ibun lainnya, merasa senang dengan keberadaan kebun itu karena bisa mendapatkan sinar mahatari dengan kandungan vitamin D. ”Di sini bisa berjemur dengan nyaman karena segar. Banyak pohon sehingga kalau panas menyengat, kami bisa berteduh di bawah pohon,” katanya.
Pengentasan ”stunting”
Tidak hanya sayuran, kebun itu juga dimanfatkan untuk beternak ikan lele, nila, dan ayam. Hasilnya, ada yang dijual kepada umat, seperti telur ayam seharga Rp 3.000 per biji.
”Saat panen ikan lele, biasanya kami bagikan ke kelurahan sebagai tambahan makanan untuk pengentasan stunting (tengkes) di kelurahan,” kata Nila menambahkan.
Vera Fitria, Lurah Pegangsaan Dua, mengapresiasi pengurus kebun gereja yang membagikan sejumlah hasil panennya kepada warga. ”Sayur dan ikan akan diberikan kepada kami untuk penanganan anak balita stunting. Dan, untuk lelenya diolah warga menjadi abon dan nugget lele,” katanya.
Hubungan baik antara warga dan komunitas gereja, menurut Vera, merupakan contoh baik hidup bermasyarakat. Ia pun berusaha selalu hadir jika pengurus kebun gereja menggelar acara. Hubungan baik sesama manusia itulah yang perlu terus dijaga.
”Ecoenzyme”
Selain menjaga hubungan sesama manusia, kebun itu juga menjadi jalan untuk merawat lingkungan. Sebab, berbagai sayuran dan buah itu ditanam secara organik menggunakan ecoenzyme sebagai pupuk dan pestisida alami.
”Kami memulai ecoenzyme di sini tahun 2020. Saat itu saya memulainya dari ikut webinar. Disebutkan, cairan ecoenzyme memiliki berjuta manfaat. Ternyata setelah saya buktikan, benar sekali manfaatnya banyak sekali. Bukan saja untuk tumbuhan, tetapi juga untuk manusia,” kata Nila.
Nila dan teman-temannya pun mulai membuat ecoenzyme dengan mencari sampah organik dari sisa-sisa dapur anggota. Berikutnya, ia memulung sampah organik ke penjual sayur, buah, rujak, atau warung makan.
Minimal terdapat lima campuran sampah organik untuk membuat ecoenzyme. Lalu, bahan itu ditambah molase (hasil pengolahan tebu) dan air, serta didiamkan minimal tiga bulan. ”Ini sangat sederhana sehingga bisa dibuat skala rumahan dengan memanfaatkan wadah dan sampah organik keluarga,” kata ibu tiga anak itu.
Baca juga: Bus Jadi Pilihan, Tiket Yogyakarta dan Solo Paling Diburu
Bahkan, ecoenzyme bisa menjadi sabun dan sampo alami. Cairan itu juga dapat menyerap udara kotor, menjadi penyegar ruangan, obat oles untuk gatal/eksim kulit, hingga membuat disinfektan.
“Sejak saya membuat ecoenzyme di rumah, istri saya bisa menghemat kebutuhan sabun, shampo, disinfektan dan sejenisnya hingga 70 persen. Sangat membantu keuangan keluarga,” kata Tanto, anggota komunitas kebun gereja itu.
Bahkan, saat pandemi Covid-19, Tanto menjadikan ecoenzyme sebagai bahan cairan misting atau semprotan asap disinfektan. Cairan itu digunakan sebagai pembersih sebelum memasuki rumahnya.
Gereja Katolik Santo Andreas Kim Tae-gon bahkan sempat menyumbangkan ecoenzyme kepada korban banjir besar di Samarinda tahun 2021. ”Saat itu terkumpul ecoenzyme sekitar 2 ton. Di sana digunakan untuk disinfektan dan bersih-bersih,” kata Tanto.
Tanto, Nila, dan anggota kebun gereja pun berharap, kebiasaan membuat ecoenzyme dapat ”menular” kepada warga lainnya dan pemerintah membuat aturan terkait hal tersebut. ”Kita bisa jadi bagian untuk mencegah pendidihan global ini terus terjadi,” kata Nila.
Baca juga: Kiat Nyaman Naik Bus Saat Libur Natal dan Tahun Baru
Berbagai kegiatan Nila Sari dan rekannya untuk membangun kebun gereja telah membuahkan hasil. Kebun itu menjadi kegiatan unggulan paroki se-Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Program ini pun terus disosialisasikan dan dikenalkan ke lingkungan gereja hingga komunitas-komunitas se-DKI Jakarta.
Kegiatan ini juga sangat sesuai dengan pesan Natal 2023 dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)-Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Disebutkan, tindakan untuk memuliakan Allah dilaksanakan tidak hanya dengan membangun hubungan harmonis antarumat manusia, tetapi juga perlu upaya-upaya menjaga dan merawat alam semesta.
Damai sejahtera tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk semua ciptaan. Perayaan Natal semestinya mendorong umat untuk peduli, kritis, dan berani menolak perusakan lingkungan hidup. Kebun Gereja Katolik Santo Andreas Kim Tae-gon di Jakarta Utara telah menjalankan pesan itu.
Baca juga: Konser Ananda Menyambut Natal, Kisah tentang Ibu dan Pandemi