Pelajaran Mahal dari Kasus Pembunuhan Empat Anak di Jagakarsa
Kekerasan dalam rumah tangga seakan masih menjadi hal tabu untuk diungkap. Namun, anggapan itu pula yang akhirnya merenggut nyawa empat anak yang tidak bersalah di Jagakarsa.
Tragedi kematian empat anak oleh ayahnya sendiri di sebuah rumah kontrakan Gang Roman, Jagakarsa, Jakarta Selatan, masih menyisahkan getir dan tanda tanya. Apa yang membuat orangtua tega menghabisi nyawa anaknya sendiri?
Jumat (8/12/2023), Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan menetapkan Panca Darmansyah (41) sebagai tersangka kasus pembunuhan keempat anaknya, yaitu VA (6), SA (4), AA (3), dan AK (1). Bukti kuat itu muncul dari telepon genggam milik pelaku yang berisikan rekaman tindak kejinya itu.
Kepada polisi, Panca mengakui membunuh anak-anaknya secara bergantian, dimulai dari anak yang bungsu ke yang lebih tua. Pembunuhan dilakukan dengan membekap mulut dan hidung anaknya yang masih dalam kondisi sadar. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada Minggu (3/12/2023) pukul 13.00-14.00.
Sejumlah kalangan menilai kasus kematian empat anak itu seharusnya bisa dicegah sejak dini jika ada langkah antisipasi dari pihak terkait. Sebab, sebelum pembunuhan terjadi, sehari sebelumnya istri Panca, D, menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KRDT) hingga membuat kepalanya terluka. Alhasil, D pun harus dirawat di Rumah Sakit Pasar Minggu.
Pertengkaran hebat suami-istri diketahui warga sekitar. Mereka pun akhirnya membuat laporan terkait KDRT. Mendapat laporan itu, anggota Bhayangkara Pembinan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) mendatangi lokasi kejadian. D yang mengalami luka karena tindak kekerasan segera dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Sayangnya, nasib keempat anak di keluarga itu luput dari perhatian.
Meski laporan kekerasan rumah tangga sudah masuk ke Polsek Jagakarsa, polisi tak lantas menahan Panca. Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi menjelaskan, Polsek Jagakarsa sudah menerima laporan dugaan KDRT oleh kakak D pada Sabtu itu juga. Kepolisian langsung menindaklanjuti laporan tersebut dengan upaya penyelidikan dan pemeriksaan.
Namun, Panca tidak memenuhi panggilan itu lantaran sedang mengurus keempat anaknya karena ibunya sedang dirawat di RS. Karena itu, Panca meminta waktu pemeriksaannya diundur. Belum sampai pada pemeriksaan, pada Rabu (6/12/2023), warga dikagetkan dengan penemuan empat anak telah tewas berjajar di tempat tidur. Sementara Panca tergeletak di kamar mandi dengan luka senjata tajam di bagian lengan kiri bawah, perut, dan kaki.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati menyesali polisi tidak segera bertindak untuk menahan Panca meski sudah mendapat laporan dari keluarga dan pengurus RT. Tindakan pelaku harus segera diwaspadai sebagai upaya preventif untuk melakukan tindakan lanjutan yang membahayakan anak-anaknya.
”Polisi seharusnya segera menahan dan menyelidiki kasus KDRT itu guna mengetahui lebih jauh situasi dan kondisi terhadap kerentanan tindakan lanjutan,” kata Ai.
Baca juga: Kematian Empat Anak di Jagakarsa, Alarm Kekerasan dalam Rumah Tangga
Hal senada disampaikan ahli psikologi forensik, Reza Indragiri. Ia berpendapat, setelah menerima laporan KDRT, seharusnya polisi segera meresponsnya dengan cepat. ”Karena setiap menit akan menjadi penentu untuk mencegah terjadinya tindakan lainnya yang bisa merugikan diri sendiri dan keluarga,” kata Reza.
Jika menilik catatan dari beberapa kasus KDRT, jangka waktu rata-rata polisi merespons laporan hingga menanganinya di tempat kejadian perkara (TKP) sekitar 16 menit. Meski begitu, dalam praktiknya tidak mudah karena berbagai alasan, seperti jumlah polisi yang masih disebut-sebut sebagai kendala bagi kecepatan kerja polisi.
Begitu pula dengan kemampuan petugas Bhabinkamtibmas sebagai garda terdepan kepolisian yang bersinggungan langsung dengan masyarakat di akar rumput. Pertanyaan yang mengemuka dari kasus ini, seberapa jauh polisi di tingkatan terbawah itu terlatih untuk bisa menangani insiden KDRT secara aman. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), polisi semestinya punya keterampilan khusus dan responsivitas ekstra terhadap kasus KDRT.
”Di Amerika Serikat, laporan tentang KDRT masuk setiap 3 menit. Di Australia, 2 menit. Sementara di Indonesia, saya tidak punya datanya. Perkiraan saya rendah karena publik masih menganggap KDRT sebagai masalah domestik yang tabu untuk dicampuri. Belum lagi merosotnya kepercayaan publik terhadap polisi,” kata Reza.
Baca juga: Usut Tuntas Motif Pembunuhan 4 Anak di Jagakarsa
Kurang peka
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menilai, kepolisian masih kurang peka dalam menanggapi laporan dan menangani kasus KDRT. ”Mereka (polisi) kurang sensitif jender dan sensitif terhadap anak. Akibatnya, mereka terkadang bergerak lambat dan berakibat fatal,” ujar Poengky, Selasa (12/12/2023).
Di tahun ini, setidaknya ada empat kasus menonjol yang menjadi catatan Kompolnas dan kesemuanya berada di wilayah Polda Metro Jaya. Pertama, ketika seorang istri di Depok dianiaya suami dan melakukan pembelaan diri, ternyata sang istri malah dijadikan tersangka dan akan ditahan.
Kedua, kasus suami yang menganiaya istrinya yang sedang hamil. Ironisnya, pelaku tidak langsung ditahan. Ketiga, seorang istri di Bekasi yang meninggal akibat dianiaya suami, padahal sebelumnya si istri sudah melaporkan KDRT suaminya ke kepolisian.
Kini, tragedi berulang saat seorang ayah diduga menghabisi empat anak setelah menganiaya sang ibu. Lagi-lagi setelah laporan diterima, tidak ada tindakan responsif untuk menahan pelaku.
Kami khawatir masih ada pola pikir yang keliru, yakni menganggap masalah rumah tangga adalah masalah internal suami-istri, serta adanya budaya tabu mengungkap masalah keluarga. Itulah yang menghambat anggota untuk berpikir dan bertindak cepat. (Poengky Indarti)
Beragam kejadian ini sebenarnya bisa dicegah dengan menanamkan rasa waspada terhadap pimpinan kepolisian agar ketika ada laporan KDRT, pimpinan itu bisa segera memerintahkan penahanan kepada pelakunya. Oleh karena itu, Poengky memandang perlu untuk menggiatkan pendidikan sensitif jender dan penanganan anak korban kekerasan kepada aparat kepolisian yang bertugas di sentra pelayanan kepolisian terpadu dan para penyidik. Selain itu, penting sekali ada buku panduan dan cara bertindak bagi aparat kepolisian jika menerima laporan KDRT.
”Kami khawatir masih ada pola pikir yang keliru, yakni menganggap masalah rumah tangga adalah masalah internal suami-istri, serta adanya budaya tabu mengungkap masalah keluarga. Itulah yang menghambat anggota untuk berpikir dan bertindak cepat,” ujar Poengky.
Dalam kasus Jagakarsa, misalnya, polisi tidak menahan sang ayah karena ia menjaga empat anaknya. Padahal, rentan sekali seorang suami yang melakukan KDRT pada istri juga akan melampiaskan kekerasan pada anaknya.
”Kami berharap segera ada koreksi dari pimpinan Polri agar kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi,” kata Poengky.
Akumulasi emosi
Psikolog dari Klinik TigaGenerasi, Ayoe Sutomo, berpendapat, konflik dalam relasi rumah tangga merupakan hal wajar. Namun, jika dalam konflik relasi tersebut sampai menimbulkan pertengkaran yang berujung KDRT, di situ ada berbagai faktor penyebab dan ada akumulasi emosi.
Bisa sangat mungkin, KDRT itu muncul dari akumulasi beragam masalah lain, seperti tekanan eksternal, kondisi sosial, relasi, dan komunikasi. Apalagi kabarnya, pelaku sudah lama tidak bekerja, yang artinya ada masalah ekonomi. Belum lagi pandangan bahwa seorang pria, suami, atau bapak harus bekerja menghasilkan uang.
”Semua itu bisa menjadi tekanan pribadi. Karena ketika depresi diiringi ketidakmampuan untuk mengelola emosi itu terjadi, pelaku rentan berperilaku agresif kepada anak dan istrinya,” kata Ayoe.
Stres berkepanjangan dan tekanan tiada henti bisa dimaknai pelaku sebagai situasi di mana tidak ada jalan keluar lagi. Itu semakin meningkatkan perasaan frustrasi sehingga menimbulkan pemaknaan yang keliru untuk mencari berbagai cara mengakhiri masalah yang dihadapi dan itu berkembang menjadi keyakinan.
”Keyakinan yang salah terhadap satu situasi itu akhirnya keluar dalam bentuk menyakiti orang lain dan diri sendiri. Ia memaknai (menyakiti) itu sehingga akan selesai semuanya. Orang mungkin berpikir (membunuh anak) ini tidak masuk logika. Namun, jika sudah sampai pada titik terkait pemaknaan yang salah terhadap satu situasi, (tindakan itu) sangat mungkin terjadi,” katanya.
Menurut Ayoe, masalah ekonomi dan komunikasi dalam konteks relasi rumah tangga tidak bisa dianggap sebelah mata. Persoalan ini bisa memicu KDRT dan perceraian, bahkan tindakan nekat yang membahayakan diri dan orang lain.
Apalagi jika melihat dinamika kehidupan masyarakat perkotaan di kota besar di Jabodetabek yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga, tentu menjadi tekanan tersendiri. Tak heran, masalah ekonomi bisa jadi pemicu disharmoni relasi keluarga.
Oleh karena itu, kata Ayoe, dalam lingkungan sosial, sistem pendukung menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya tindakan lanjutan dari dampak konflik di rumah tangga. Sistem pendukung ini bisa dari keluarga terdekat, tetangga, dan teman.
”Ini berperan untuk secara eksternal meredam frustrasi dan masalah yang tengah dihadapi. Dalam kondisi yang rapuh dan beban emosi akan menjadi berkurang dari support dari keluarga terdekat, tetangga, dan teman,” katanya.
Kasus keluarga di Jagakarsa menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana penegak hukum menangani kasus KDRT. Kasus ini juga memberi pelajaran tentang bagaimana lingkungan terdekat bisa menjadi sistem pendukung untuk mencegah agar konflik di keluarga tidak berkembang menjadi KDRT, bahkan berdampak fatal pada terenggutnya nyawa anggota keluarga.