Menyusuri Jejak-jejak Freemasonry di Indonesia
Kemunculan Timur Agung Indonesia pada 1955 menjadi penanda Freemasonry Indonesia benar-benar lepas dari Freemasonry Belanda. Salah satu jejak loji atau gedung organisasi Freemasonry di Indonesia adalah Gedung Bappenas.
Freemasonry, organisasi persaudaraan para pemikir bebas, berkembang di seantero dunia sejak abad ke-14. Di Indonesia, jejak Freemasonry tidak hanya bisa dilihat dari bangunan atau simbol-simbol, tetapi juga melalui para tokoh dan pemikirannya.
Memasuki halaman depan Museum Prasasti atau dikenal dengan Museum Taman Prasasti di Tanah Abang, Jakarta Pusat, pengunjung akan langsung disuguhi pemandangan deretan prasasti nisan yang tertempel di dinding bagian kanan dan kiri. Di deretan relief penanda nisan itu ada gambar mata, penggaris, dan paser atau jangka.
Baca juga: Museum Prasasti, Satu Pusara Beribu Cerita
Di salah satu prasasti nisan tertulis kalimat dalam bahasa Belanda yang artinya di sini dimakamkan Lodewijk Schneider, prajurit berkuda (kavaleri) angkatan perang Hindia Belanda. Mayor di pasukan berkuda N7 itu lahir di Nijmegen, 17 Oktober 1788, serta meninggal di Rijswijk, 21 Agustus 1820. Tertulis pula seorang prajurit pemberani, putra yang baik, dan teman yang tulus, disayangi oleh semua yang mengenalnya.
Lilie Suratminto, peneliti sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, menjelaskan, yang terukir di bagian bawah nisan berupa lambang mata, penggaris, dan paser di bawah tulisan punya makna. Merujuk Albert Pike, pendiri Freemasonry Skotlandia, paser dimaknai sebagai lambang ketuhanan. Penggaris dimaknai sebagai wujud bumi produktif alam semesta. Adapun mata merupakan lambang The Eye of God atau mata yang melihat segalanya dan The Eye of Horus dari zaman Mesir purba.
Sementara perpaduan paser dan penggaris melambangkan Yin dan Yang antara keras dan lembut, serta pria dan wanita yang bermakna harmoni atau keseimbangan.
Selain mata, paser, dan penggaris, terdapat lambang-lambang lain terkait Freemasonry. Misalnya, jam pasir pada nisan Nicolas Pascal yang meninggal tahun 1877. Menurut Lilie, jam pasir adalah salah satu atribut Chronos, dewa waktu.
Lambang tersebut jadi salah satu obyek simbolis yang direnungkan oleh calon anggota di ruang gelap dari ritual Freemasonry. Dalam bahasa Perancis, ruang gelap yang menjadi tempat perenungan itu adalah chambre des réflexions.
Jam pasir melambangkan jalannya waktu. Manusia terikat oleh perjalanan waktu, ada waktu datang dan pergi. Bukan simbol kematian, melainkan kefanaan dan berlalunya waktu yang secara alami, termasuk memento mori atau ingatan kematian.
Ada pula lambang ular di nisan Johan Harmen Rudolf Kohler, serdadu berpangkat mayor jenderal yang tewas dalam perang Aceh. Ada dua arti dari lambang ular. Pertama, ular berarti imortalitas atau tidak mengenal kematian. Sebab, ular sama seperti kepiting yang selalu berganti kulit untuk jadi baru.
Kedua, ular menggigit ekor sendiri. Lilie menjelaskan lambang itu pertanda lingkaran sempura atau kehidupan yang kekal setelah kematian.
Satu lambang lainnya ialah tengkorak dan tulang dengan bulir gandum pada salah satu makam. Posisi tulang lengan bersilang itu membentuk salib St Andrews, dimaknai sebagai jalan menuju kesempurnaan. Dalam pandangan Kristiani, menurut Lilie, kesempurnaan dicapai dengan kematian. Kematian bukan akhir dari kehidupan, tetapi justru awal dari kehidupan kekal setelahnya.
Sementara bulir gandum melambangkan buah-buah kehidupan. Apabila jumlahnya enam, berarti sempurna dan harmoni.
Selain lambang-lambang di Museum Taman Prasasti, ada pula Bundaran Hotel Indonesia yang dianggap sebagai simbol atau lambang ketuhanan, Eye of God. Bundaran HI dikonsepkan menjadi titik tuju dunia melihat Indonesia.
Bangunan
Freemasonry tidak hanya bisa dilihat jejaknya melalui lambang-lambang di Museum Taman Prasasti. Sejarawan Freemasonry, Sam Ardi, menuturkan, peninggalan yang tampak jelas hingga saat ini adalah Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Gedung Kimia Farma. Dua gedung itu merupakan sekretariatan atau tempat pertemuan (loji) peninggalan Freemasonry yang bisa dilihat hingga saat ini.
”Freemasonry merupakan organisasi. Mereka memiliki loji di Gedung Bappenas, dulu bernama Adhuc Stat, dan Gedung Kimia Farma. Di dalam loji mereka berkumpul mengemukakan ceramah dari anggota lalu berdiskusi. Di luar itu, mereka ada perpustakaan, taman kanak-kanak, dan bank,” ujar Sam, Jumat (8/12/2023).
Selain jejak bangunan bersejarah, ada jejak lainnya dari para tokoh. Mereka memberikan sumbangsih besar untuk Indonesia. Dalam perjalanannya, ada beberapa tokoh besar di Indonesia merupakan Freemason. Radjiman Wedyodiningrat salah satunya.
Selain jejak bangunan bersejarah, ada jejak lainnya dari para tokoh. Mereka memberikan sumbangsih besar untuk Indonesia.
Dokter lulusan Stovia sekaligus anggota organisasi Budi Utomo itu juga menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Dari BPUPK ini tercetus fondasi penyusunan Undang-Undang Dasar.
Selain Radjiman, tokoh lainnya adalah Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Ia adalah kepala kepolisian pertama di Indonesia. Soekanto memiliki peran besar dalam membentuk institusi kepolisian dari nol. Ia juga merupakan ketua Loji Agung Indonesia.
Selain dua tokoh nasional itu, ada pula Freemasonlainnya dari Belanda yang tinggal di Indonesia (Hindia Belanda), yaitu Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama Multatuli. Ia merupakan penulis buku berjudul Max Havelaar, bercerita tentang perlakuan buruk para penjajah terhadap orang pribumi di Hindia Belanda.
”Tidak hanya dari peninggalan bangunan bersejarah, tetapi kita bisa meneladankan pemikiran baik dari para tokoh pemikir itu. Para tokoh ini menjamin kebebasan berpikir dan berfilsafat. Mereka para pemikir bebas lalu dituangkan dalam lisan dan tulisan untuk disebarkan ke khalayak ramai. Mereka memang tidak pernah menyebutkan bahwa yang mereka lakukan dan dalam pemikirannya merupakan ajaran khusus (Freemasonry),” ujar Sam.
Oleh karena menjunjung tinggi nilai kebebasan berpikir itu, Sam kurang sependapat jika Freemasonry disebut atau diartikan sebagai Tarekat Mason Bebas oleh beberapa literatur. Menurut Sam, Freemasonry adalah sebuah entitas berbadan hukum. Bentuk dari entitas tersebut adalah sebuah organisasi yang bersifat internasional.
Freemasonry berasal dari Free dan Mason, artinya tukang batu yang bebas. Tukang batu diidentikkan dengan membangun suatu bangunan. Para Mason membangun sesuatu bukan dalam arti fisik bangunan, melainkan humanisme.
Mason menjadi inspirasi dalam upaya untuk membangun sebuah gagasan dan berpikir bebas. Di Indonesia, tujuan organisasi ini adalah menjalankan persaudaraan yang mengusung nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan kebebasan berpikir, serta menjadi titik pertemuan budaya Barat dan Timur.
Perjalanan di Indonesia
Kemunculan organisasi Freemasonry tercatat sudah ada pada 1300-an. Lalu, pada 1717 para Mason di Inggris di bawah pimpinan Anderson membentuk perkumpulan dan tersebar hingga ke Belanda.
Kemunculan Freemasonry ini ingin bebas tanpa harus takut untuk mengutarakan pemikiran dan menyampaikan pendapatnya, juga tanpa takut dari intimidasi ataupun persekusi. Saat itu, kebebasan berpikir dan berpendapat diatur oleh otoritas Gereja. Freemasonry menentang monopoli seperti itu. Siapa saja boleh untuk berpikir dan berpendapat bebas secara bertanggung jawab.
Freemason yang ada di Hindia Timur kemudian berubah menjadi Hindia Belanda. Mereka merupakan para Mason yang bernaung atau dibawa dari Belanda. Meski begitu, di Hindia Timur setidaknya ada tiga yurisdiksi Freemason, yaitu Inggris, Perancis, dan Belanda. Seperti di Bengkulu merupakan yurisdiksi milik Inggris. Di Kalimantan ada yurisdiksi Inggris dan Perancis. Secara mayoritas di Indonesia merupakan yurisdiksi Belanda.
Masih menjadi tanda tanya, siapa yang membawa Freemasonry ke Indonesia. Namun, pada 1760 sudah ada Freemason di Hindia Timur. Pada tahun itu, Freemason awal di Hindia Timur tidak banyak melakukan kegiatan sosial karena mayoritas merupakan serdadu yang masuk ke Indonesia melalui perusahaan dagang.
Jika melihat catatan sejarah, Freemasonry sempat dilarang saat era penjajahan Jepang. Lalu, pada periode kemerdekaan, 1945-1949, organisasi ini vakum. Baru setelah 1950 mulai muncul regenerasi secara resmi Freemasonry Indonesia yang lepas dari Freemason Belanda. Itu ditandai dengan munculnya Timur Agung Indonesia pada 1955.
Baca juga: Museum Bukan Sekadar Etalase Benda Kuno
Freemason ini pun punya gedung atau sekretariat atau disebut gedung loji. Gedung loji itulah Gedung Bappenas. Di gedung itu, para Freemason berkumpul untuk mengemukakan gagasan, ceramah, dan berdiskusi.
Timur Agung Indonesia kemudian berubah menjadi Loji Agung Indonesia sampai dibubarkan pada 1962 oleh Presiden Soekarno. Freemason yang sumbernya dari dunia Barat itu dilarang pada era Orde Lama melalui Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962.
Sejak saat itu sampai 2000 tidak ada lagi Freemasonry di bawah Loji Agung Indonesia. Perubahan dibuat pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Ia mencabut Keppres Nomor 264 Tahun 1962 dan menerbitkan Keppres Nomor 69 Tahun 2002. Presiden yang dikenal dengan panggilan Gus Dur itu menilai, seseorang yang membuat dan mengikuti organisasi dijamin oleh konstitusi selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD.
Tidak diketahui apakah setelah penerbitan keppres baru oleh Gus Dur itu, Freemasonry di Tanah Air muncul kembali. Namun, yang pasti, jejak dan pemikiran para mason itu turut mewarnai khazanah sejarah Nusantara.