Museum Prasasti, Satu Pusara Beribu Cerita
Waktu silih berganti tetapi upaya menghidupkan ribuan cerita dari deretan nisan di Museum Prasasti, Jakarta Pusat, terus bergelora sampai saat ini.
Matahari semakin terik, Minggu (26/11/2023) siang. Hawa panasnya tak menyurutkan langkah Lilie Suratminto dan 20-an orang lain berjalan dari satu nisan ke nisan lain di Museum Prasasti, Jakarta Pusat.
Lilie, peneliti sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, telaten menjelaskan tentang patung dan nisan yang terdapat di area seluas 1,3 hektar itu. Sesekali penjelasan diselingi tanya jawab yang mengundang decak kagum.
Derap langkah mereka dimulai dari The Crying Lady. Patung sosok seorang wanita yang tengah menangis karya Antonio Carminati, pematung dari Italia. Patung yang dibuat tahun 1907 ini disebut menggambarkan kesedihan pengantin baru karena ditinggal pergi sang suami akibat wabah malaria di Batavia (Jakarta).
”Marmer dan seni pahat dibawa ke Batavia setelah VOC runtuh,” ujar Lilie.
Semasa VOC, nisan terbuat dari batu granit atau batu gunung biru yang berasal dari India Selatan, khususnya Bukit Nadu. Pasca-keruntuhan VOC, Hindia Belanda tak lagi menjalin hubungan dengan wilayah tersebut karena Traktat London atau perjanjian dengan Inggris.
Hal ini menyebabkan berubahnya pilihan nisan dari batu granit atau batu gunung biru ke marmer. Banyaknya patung marmer sebagai pendamping nisan juga muncul seiring bolehnya berkembang agama Katolik pada abad ke-19 di Hindia Belanda.
Baca juga: Museum Bukan Sekadar Etalase Benda Kuno
Dari patung mereka bergeser ke prasasti Hermanus Frederik Roll. Nisannya berbentuk buku yang berarti ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan perannya mendirikan sekolah dokter atau STOVIA yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tak hanya itu, sejumlah pelajar di STOVIA kemudian melahirkan Budi Utomo. Sebuah pergerakan pemuda yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Masih banyak nama besar yang bersemayam di Museum Prasasti. Ada Olivia Mariamne Raffles, istri dari Thomas Stamford Raffles. Olivia mencintai tumbuh-tumbuhan dan menggagas pembangunan Kebun Raya Bogor.
John van Hoorn, Gubernur Jenderal Batavia tahun 1704-1709. John dianggap sebagai pendiri Balai Kota dan Gereja Portugis. Kemudian Kapten Tack (Francois Tack), tentara Belanda yang tewas bersama 75 anggota pasukannya ketika berperang melawan Untung Suropati, pahlawan Bali, dan Mayor Jenderal JHR Kohler, pemimpin pasukan Belanda dalam Perang Aceh yang dianggap perang paling sulit.
Nama besar lain yang juga sering dirujuk sejumlah ahli ialah Dr Willem Frederik Stutterheim sebagai ahli purbakala dan Dr JLA Brandes, sejarawan sekaligus ahli kepurbakalaan Indonesia, serta Marius J Hulswit di balik perancang Gereja Katedral.
Hal-hal ini yang harus dihidupkan sebagai bagian evolusi Museum Prasasti. Museum bukan hanya tempat penyimpanan benda sejarah, melainkan ruang ilmu pengetahuan, interaksi, dan kebudayaan.
Selain nama-nama asing, terdapat nisan Soe Hok Gie dan nisan Bu Riboet, seorang tokoh panggung sandiwara. Gie dikenal sebagai aktivis yang lantang menentang kebijakan politik Presiden Soekarno dan Soeharto. Dia meninggal setelah menghirup gas beracun di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969 dan jenazahnya telah dikremasi oleh keluarga sehingga yang ada di museum hanya nisannya saja.
Lilie berulang kali menyampaikan bahwa nisan yang ada bercerita tentang masa kolonial, perkembangan agama, situasi politik saat itu, hingga era kemerdekaan. Artinya, nisan punya sejarah, cerita, dan maknanya.
"Hal-hal ini yang harus dihidupkan sebagai bagian evolusi Museum Prasasti. Museum bukan hanya tempat penyimpanan benda sejarah, tetapi ruang ilmu pengetahuan, interaksi, dan kebudayaan," ujar Lilie.
Sunyi ke atraktif
Museum Prasasti dikenal juga dengan Museum Taman Prasasti terletak di Jalan Tanah Abang Nomor 1. Museum awalnya bernama Kerkhof Laan. Lalu berganti menjadi Tempat Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober pada tahun 1947 hingga akhirnya dikenal dengan Museum Prasasti sejak 1977.
Dulu luasnya mencapai 5,5 hektar. Kini tersisa 1,3 hektar dengan 800-an nisan yang tertata. Nisan lainnya belum tertata dan diletakkan di salah satu sudut museum.
Luasan museum berkurang seiring pembangunan Kantor Wali Kota Jakarta Pusat dan KONI DKI Jakarta di kiri dan kanan museum. Salah satu dampaknya ialah relokasi nisan, kesalahan prosedur pembongkaran makam oleh mereka yang bukan ahli, dan penataan secara acak berdasarkan ukuran.
Dalam diskusi bagian dari Pameran Jejak Memori Evolusi Museum Prasasti, Minggu (26/11/2023) pagi, banyak harapan dari pengunjung terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas museum agar atraktif. Pameran tersebut berlangsung pada 26 November sampai 9 Desember 2023.
Aldi, mahasiswa, menyarankan ada penjelasan dari tiap-tiap nisan atau paling tidak terdapat panduan bagi pengunjung. Sementara Irina, arsitek, baru tahu tentang kekayaan sejarah Museum Prasasti karena adanya pameran tersebut. Dia berharap pemangku kepentingan bekerja sama untuk perluasan informasi dan mengajak anak sekolah atau komunitas ke museum.
Sama halnya dengan Siti, guru sekolah dasar. Dia kagum mengetahui fakta sejarah yang ada. Sejarah ini semestinya dinarasikan dengan menarik untuk menarik minat generasi muda.
Baca juga: Museum dan Kuasa
Senada dengan Kristiawan yang menyarankan ada program rutin atau unggulan. Minimal kegiatan bulanan agar museum bisa jadi ruang publik.
Ketua Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia DKI Jakarta Evan Sandjadja menanggapi pelbagai saran tersebut. Dulu suasana museum menyeramkan karena ada saja orang yang datang mencari wangsit untuk menang judi. Kini kondisi sudah lebih baik, tetapi perlu didorong dan didukung untuk jadi ruang publik.
”Belum semua dieksplorasi. Setiap tahun kami coba bikin kegiatan. Museum Prasasti punya kesempatan jadi ruang publik, sejarah, seni, fotografi, dan paru-paru kota,” ujar Evan.
Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan DKI Jakarta Esti Utami mengakui minat warga terhadap Museum Prasasti masih tergolong kecil. Paling banyak tercatat 180 pengunjung dalam sehari meskipun tiketnya tergolong murah, Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 2.000 untuk anak.
Pengelola berupaya menyiasati hal tersebut dengan adanya kegiatan wajib kunjung ke museum oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, kerja sama dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dalam kegiatan siswa ke museum, dan rencana revitalisasi paling cepat tahun 2025.
”Ada mimpi besar membenahi Museum Prasasti jadi ruang terbuka hijau. Warga datang rasanya ke taman bukan ke makam,” ujar Esti.
Museum Prasasti, satu-satunya museum luar ruangan di Jakarta. Potensinya besar, tetapi belum optimal.