Tragedi Jagakarsa Jadi Pelajaran untuk Lebih Peka pada Kasus KDRT
Kematian empat anak di sebuah kontrakan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk tak menganggap enteng kekerasan dalam rumah tangga. Perlu intervensi dan respons cepat aparat dan warga.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kematian empat anak di sebuah kontrakan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk tidak menganggap enteng kekerasan dalam rumah tangga. Intervensi dan respons cepat diperlukan agar tidak jatuh lebih banyak korban.
”Seandainya kita lebih peka, mungkin keempat anak itu masih ada sekarang,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah ketika dihubungi, Kamis (7/12/2023).
Maryati berpendapat, ketika eskalasi konflik dalam rumah tangga meningkat, anak menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak. Dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anak kerap kali dijadikan obyek untuk mengancam salah satu pihak. ”Ada yang sengaja menyekap anak agar salah satu pihak (suami atau istrinya) mau kembali ke rumah,” katanya.
Lebih buruk, ada yang sampai membunuh anaknya sendiri karena tidak ingin anaknya ”menderita” lebih jauh akibat dari perselisihan yang terjadi antara kedua orangtuanya.
Pola ini semestinya menjadi poin kritis bagi semua pihak untuk tidak menganggap enteng masalah KDRT. ”Jika KDRT itu sudah menyebabkan korban terluka atau bahkan meninggal, ini bukan lagi masuk ranah privat, melainkan sudah menjadi masalah yang harus diselesaikan bersama,” kata Maryati.
Dalam kasus di Jagakarsa seharusnya pihak kepolisian sudah menahan terduga pelaku, yaitu P, ketika ada laporan KDRT. Apalagi, D yang menjadi korban mengalami luka yang cukup parah.
”Seandainya P ditahan, mungkin anak-anak itu masih ada hingga saat ini,” katanya.
Diketahui D diduga mengalami KDRT yang menyebabkan kepalanya terluka pada Sabtu (2/12/2023). Akibatnya, D harus dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu dan meninggalkan anak-anaknya pada suaminya yang juga merupakan terduga pelaku KDRT.
Di sisi lain, ketika ada KDRT di lingkungannya, warga diharapkan mulai bertindak dengan memisahkan anak dari orangtua yang sedang berselisih untuk sementara waktu dan menitipkan sang anak kepada keluarga terdekat.
Ke depan, ujar Maryati, KPAI akan memperkuat koordinasi dengan semua pihak, terutama kepolisian, untuk membuat sistem keamanan yang lebih ketat dalam menangani kasus KDRT.
”Perlu ada prosedur standar operasional yang baku sehingga penanganan kasus KDRT bisa tepat sasaran,” kata Maryati.
Menurut dia, penanganan kasus KDRT tentu harus disesuaikan dengan eskalasinya. Jika sudah dianggap mengkhawatirkan, penahanan mungkin bisa menjadi solusi agar tidak ada lagi pihak yang menjadi korban, terutama anak.
Maryati berharap polisi segera mengungkap motif dari kejadian ini agar didapati alasan pelaku melakukan KDRT terhadap istri dan anaknya. Jika melihat kasus KDRT sebelumnya, alasan pelaku melakukan kekerasan dipicu oleh beberapa faktor seperti ekonomi atau orang ketiga.
Perlu ada prosedur standar operasional yang baku sehingga penanganan kasus KDRT bisa tepat sasaran.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Komisaris Besar Ade Ary Syam menuturkan, P memang sudah dilaporkan oleh kakak D atas dugaan KDRT pada Sabtu (2/12/2023). Kasusnya sudah berjalan dan penyidik telah memanggil P untuk dimintai keterangan.
Namun, P berhalangan datang dengan alasan sedang mengurus keempat anaknya karena ibunya sedang dirawat di RS.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Bintoro mengatakan, hingga saat ini petugas masih bekerja di lapangan untuk mengumpulkan keterangan dan barang bukti. Bahkan, dalam waktu dekat, P, ayah keempat korban yang saat ini tengah dirawat di RS Aulia Jakarta Selatan, akan dipindahkan ke RS Polri Kramatjati untuk mempermudah proses pemeriksaan.