Membenahi Hunian di ”Tanah Jawara”
Butuh kolaborasi antarpihak membenahi kawasan kumuh di Jakarta, termasuk melibatkan yayasan, komunitas, dan swasta.
Irma (44), warga RT 005 RW 012, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, sudah sejak lahir tinggal di kawasan kumuh tersebut. Ia bersama tiga anak dan suaminya, Fajar (55), tinggal di rumah dua tingkat dengan luas tanah hanya 7,82 meter persegi.
Di rumahnya hanya ada dua ruang tanpa dilengkapi kamar mandi. ”Jadi kalau mandi, cuci, kakus hanya bisa ruang MCK komunal yang berjarak 20 meter dari rumah,” kata Irma, Kamis (23/11/2023).
Jalan masuk menuju ke rumahnya hanya selebar 1 meter. Pencahayaan minim karena bagian atas gang tertutup atap rumah-rumah yang menyatu. Kala hujan mengguyur, kawasan ini kerap terendam banjir.
Baca juga : Terimpit di Gelapnya Kolong Jalan Tol Cawang-Pluit
Walau dirasa kurang nyaman, Irma dan keluarganya terpaksa tinggal di sana karena terbentur keadaan. ”Suami saya hanya buruh serabutan. Tidak ada biaya untuk tinggal di rumah layak,” ucapnya.
Tidak hanya Irma, tetangganya juga memiliki nasib serupa. Seperti Suryani (55) yang tinggal bersama 11 anggota keluarganya di rumah dua lantai dengan luas lahan hanya 22 meter persegi. Di rumah itu setidaknya ada empat keluarga.
Di halaman rumahnya terdapat sebuah ruang kamar mandi seluas 1 meter x 1 meter yang digunakan bagi anggota keluarganya dan juga empat tetangganya yang lain. ”Jadi untuk mandi saja kami harus membuat jadwal agar tidak berbenturan,” kata Suryani.
Kondisi rumah yang dihuni Irma dan Suryani sangat jauh dari kata layak. Di kawasan itu, terhitung setidaknya ada 167 rumah yang bernasib serupa.
Untuk tidur saja mereka harus bergantian karena tidak ada ruang lagi untuk berbaring.
Ketua RW 012 Kelurahan Tanah Tinggi Iman Buchari mengatakan, di wilayahnya ada sekitar 300 keluarga yang memiliki rumah tidak laik. Kondisi ini membuat mereka hidup tidak sehat. ”Untuk tidur saja mereka harus bergantian karena tidak ada ruang lagi untuk berbaring,” kata Iman.
Ketika malam, orangtua dan anak-anak tidur di rumah, sementara pemudanya harus beraktivitas di luar rumah. Di pagi hari, para remaja baru bisa tidur di dalam rumah saat orangtua bekerja dan anak-anak bersekolah. ”Kebiasaan ini sudah terjadi sejak lama,” katanya.
Hunian yang tidak laik turut memicu sejumlah tindak kriminal. ”Ada kasus pemerkosaan yang menyebabkan korbannya sampai hamil tanpa tahu siapa pelakunya,” ungkap Iman.
Kawasan ini juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya para jawara. Istilah itu muncul karena kerap sekali terjadi tawuran yang dipicu oleh hal-hal sepele. ”Mungkin saja, kondisi rumah memengaruhi karakteristik penghuninya (emosional),” kata Iman.
Iman menuturkan, warga kesulitan membenahi rumahnya secara mandiri karena sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan ekonomi. ”Banyak yang bekerja serabutan, jadi pedagang, atau malah pengamen untuk membiayai hidup,” ujarnya.
Untuk mengurangi beragam risiko kesehatan dan masalah sosial. Pemerintah Kota Jakarta Pusat mengusulkan pembenahan permukiman warga dengan melibatkan komunitas dan juga pihak swasta.
Kolaborasi
Kepala Suku Dinas Perumahan Jakarta Pusat Yaya Mulyarso menjelaskan, jika mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 90 Tahun 2018 tentang Peningkatan Kualitas Permukiman dalam Rangka Penataan Kawasan Permukiman Terpadu, setidaknya ada 445 RW kumuh di DKI Jakarta. Dari jumlah tersebut, 98 RW berada di Jakarta Pusat. ”Dan sebanyak 38 RW kumuh menjadi prioritas, salah satunya di RW 012 ini,” kata Yaya.
Jika dikategorikan, kawasan RW 012 masuk dalam golongan kawasan kumuh berat. Oleh karena itu, pembenahan permukiman sangat krusial diselenggarakan. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak bisa menyentuh semua aspek.
Pemerintah hanya bisa membangun sarana dan prasarana publik. Adapun ranah privat, termasuk pembenahan rumah penduduk, hanya bisa dilakukan oleh pihak swasta atau komunitas melalui dana tanggung jawab sosial dan lingkungan. ”Karena itu, pembenahan permukiman harus dilakukan dengan kolaborasi semua pihak,” kata Yaya.
Aksi kolaboratif ini ditunaikan oleh Pemprov DKI Jakarta bersama Yayasan Buddha Tzu Chi yang menata permukiman bagi warga di Kelurahan Tanah Tinggi sebagai rumah sehat.
Baca juga : Pemprov DKI Jakarta Akan Tata Permukiman Kumuh di 250 RW
”Dengan bantuan ini, maksudnya, rumah mendapatkan pencahayaan yang cukup, memiliki sirkulasi udara yang baik, mempunyai sanitasi yang memadai, dan tersedia air bersih,” kata Andry dari Sekretariat Buddha Tzu Chi.
Rumah sehat tersebut berbentuk rumah susun empat lantai dengan luas 222 meter persegi. Hunian bakal dilengkapi fasilitas penunjang aktivitas penghuninya, yaitu taman bermain anak, ruang terbuka hijau, ruang bersosialisasi, dan ruang untuk berusaha.
Dalam rancangan pembangunan, setiap unit rumah akan dibangun di atas lahan 18 meter persegi. Setiap unit dilengkapi toilet, ruang cuci, dan kamar layak huni.
Andry menuturkan, pembangunan rumah sehat ini berawal dari keprihatinannya pada kondisi permukiman warga yang tidak laik huni. Namun, dalam pelaksanaannya, banyak kendala ditemukan. ”Tidak semua warga menerima rumahnya dibenahi karena terbawa sejumlah rumor,” katanya.
Sebenarnya pada rencana awal, perbaikan rumah dilakukan secara horizontal. ”Namun, karena masih ada warga yang menolak rumahnya direnovasi, pembangunan diubah menjadi hunian vertikal,” ujar Andry. Konsep seperti ini sudah dilakukan di kawasan padat penduduk di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat, dan dinilai cukup efektif.
Saat rumah ini selesai, warga dilarang untuk menjual atau menyewakannya selama 10 tahun setelah pembangunan selesai. ”Jika ada yang melanggar, akan dikenai sanksi hukum,” katanya.
Hak setiap warga
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menjelaskan, setiap warga berhak mendapatkan hunian yang laik dengan memenuhi beberapa kriteria ketahanan bangunan, mulai dari atap terluas berupa beton, genteng, seng, kayu, atau sirap.
Selain itu, dinding rumah terluas berupa tembok, plesteran anyaman bambu, kawat, kayu, papan, atau batang kayu. Lantai terluas berupa marmer, granit, keramik, ubin, tegel, teraso, kayu, papan, semen, atau bata merah.
Heru mengatakan, proses pembangunan proyek bernilai miliaran rupiah ini membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan. Selama proses penataan berlangsung, 11 keluarga penerima manfaat juga akan diberikan bantuan untuk tempat tinggal atau kontrakan sementara.
Berdasarkan rencana Pemprov DKI Jakarta 2023-2026, ditargetkan luasan kawasan kumuh bisa berkurang menjadi 2,26 persen pada tahun 2026. Penataan difokuskan untuk perbaikan atau penambahan fasilitas umum.
Pemprov DKI Jakarta mencatat terdapat 450 RW kumuh dari total 2.744 RW. Sebanyak 200 RW sudah tersentuh program penataan, sedangkan sisanya 250 RW lagi akan dibenahi secara bertahap hingga 2026.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, terdata 1,77 juta rumah tangga yang belum memiliki akses terhadap hunian layak dari total 2,78 juta rumah tangga pada tahun 2022.
Menurut BPS, rumah layak huni apabila luas tempat tinggal minimal 7,2 meter per kapita serta memiliki akses air minum layak dan sanitasi layak. ”Dengan rumah sehat ini, saya berharap kehidupan warga bisa lebih baik lagi,” kata Heru.