Terimpit di Gelapnya Kolong Jalan Tol Cawang-Pluit
Ratusan warga memilih bertahan hidup di tengah gelapnya kolong Jalan Tol Cawang-Tomang-Pluit Kilometer 17, Jelambar, Jakarta. Meski pernah ditertibkan, mereka tetap kembali karena kondisi pekerjaan semakin tak menentu.
Ketidakmampuan menyewa tempat tinggal yang layak membuat ratusan warga terus bertahan di pemukiman padat penduduk di bawah kolong Jalan Tol Cawang-Tomang-Pluit Kilometer 17, Jelambar, Jakarta Barat. Pemindahan warga di kawasan kumuh tidak hanya membutuhkan dukungan infrastruktur. Bantuan sosial dan pemberdayaan ekonomi penting untuk mencegah mereka kembali.
Akses menuju kawasan tersebut sebenarnya sangat terbatas. Mereka yang hendak masuk ke wilayah itu harus melewati celah kecil dari beton yang membatasi Kali Grogol dan Jalan Tol Cawang-Tomang-Pluit tersebut.
Setibanya di dalam, warga terlihat tidak dapat bergerak secara leluasa karena ruang yang terbatas. Ketinggian di tempat tersebut hanya 90-130 sentimeter membuat warga yang masuk harus membungkukkan badan. Bahkan, bagi mereka dengan tinggi lebih dari 178 cm pasti harus menjongkok jika ingin masuk ke dalam.
Dengan posisinya di bawah kolong jalan tol, cahaya matahari sulit masuk sehingga kawasan terasa lembab. Di tempat tersebut juga terdapat fasilitas taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang menjadi tempat anak kecil menimba ilmu. Tepat di sampingnya terdapat mushala berukuran 5 meter x 5 meter dengan tinggi sekitar 90 cm untuk beribadah.
Baca juga: Penyelesaian Sengketa, Pintu Awal Pembenahan Kawasan Kumuh Jakarta
Salah satu warga di kawasan tersebut, H (54), yang ditemui, Senin (19/6/2023), menceritakan, ia sudah tinggal di sana sejak tahun 2007. H yang tidak mau disebutkan nama lengkapnya itu mengatakan, awalnya ia tinggal di permukiman kumuh tak jauh dari kolong jalan tol tersebut, tetapi pindah ke lokasi sekarang karena ada penertiban.
Ia mengaku pernah beberapa kali ditawarkan untuk pindah ke rumah susun sederhana sewa di Kapuk Muara, Jakarta Utara, tetapi biaya sewa yang dianggap cukup tinggi mengurungkan niatnya. Ketidakmampuannya menyewa tempat yang layak meninggalkannya tanpa pilihan, selain bertahan di kawasan tersebut.
Sementara, mayoritas rumah di sana berdindingkan kayu dan beratapkan beton jalan tol. Meski terbatas, warga telah terbiasa beraktivitas di celah sempit tersebut, mulai dari memasak, mencuci baju, hingga belajar.
”Kalau diminta pindah ke rusunawa tentu mau ya, tetapi takut tidak ada kerjaan di sana dan harga sewanya saya tidak sanggup,” ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan Karman (29). Pria yang bekerja sebagai pemulung tersebut dengan pendapatan sekitar Rp 30.000 per hari ini juga bertahan meski pernah ditawarkan pindah ke Rusunawa Marunda, Jakarta Utara. Alhasil, ia bertahan dengan mengontrak sebuah bangunan semipermanen di bawah kolong jalan tol itu sebesar Rp 450.000 per bulan. Beberapa dari mereka juga pindah ke tempat ini setelah terdampak revitalisasi Kalijodo pada 2016.
Pernah ditawarkan untuk pindah ke rusunawa, tetapi harga sewanya masih cukup tinggi.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan, Pemerintah Povinsi DKI Jakarta menerapkan tarif yang berbeda bagi warga mempunyai kartu tanda penduduk Jakarta yang ingin menyewa rusunawa. Bagi warga yang terdampak penggusuran akibat penataan kota atau warga terprogram akan diberikan harga sewa lebih rendah ketimbang warga yang memang ingin menyewa.
Sebagai contoh, untuk Rusunawa Marunda, harga sewa bagi warga terprogram dikenakan tarif sewa Rp 153.000 hingga Rp 220.000 per bulan. Sementara untuk umum dikenakan tarif sewa Rp 364.000 hingga Rp 457.200 per bulan.
”Biayanya masih terlalu mahal untuk saya dan di sana saya bingung mau kerja apa,” ujar pria yang tinggal di sana sejak 2005.
Ditemui terpisah, Lurah Jelambar Baru, Grogol Petamburan, Jakarta, Danur Sasono menjelaskan, dari hasil pendataan yang dilakukan, tercatat 30 kartu keluarga yang ada di sana. Mayoritas tidak mempunyai KTP Jakarta, sedangkan sisanya berasal ber-KTP Jakarta yang berasal dari berbagai wilayah, seperti Muara Angke, dan Pejagalan.
Dari hasil rapatnya bersama Wali Kota Jakarta Barat, pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak Jasa Marga Metropolitan Tollroad sebagai pemilik tanah terkait rencana pembenahan. Pemerintah Kota Jakarta Barat pernah menertibkan bangunan di kawasan tersebut pada 2015-2016. Saat itu, warga direlokasi ke rusunawa, tetapi mereka masih kembali ke bawah tol.
”Kami bersurat dulu ke Jasa Marga terkait itu karena kawasan tersebut merupakan aset mereka. Sekarang kami masih pendataan awal. Sudah pernah ditertibkan tetapi mereka kembali lagi. Ada kekurangan dalam pengawasan sehingga hal tersebut terjadi lagi,” ujarnya.
Dalam seminar ”Rumah untuk Semua” yang diselenggarakan oleh Habitat for Humanity Indonesia, Rabu (14/6/2023), di Jakarta, Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Edward Abdurahman menjelaskan, penataan wilayah kumuh membutuhkan kerja sama lintas sektor karena melibatkan aspek sosial dan ekonomi.
Baca juga: Arti Bahagia bagi Warga Kampung Ibu Kota
Dari pengalamannya, banyak warga yang sudah diberikan hunian yang layak di suatu tempat, tetapi kembali lagi ke wilayah kumuh tempat ia tinggal sebelumnya. Minimnya kesempatan kerja dan turunnya pendapatan menjadi hal yang utama. Ditambah lagi, beberapa pemerintah daerah pun belum memprioritaskan penataan kawasan kumuh sebagai kebijakan.
”Kepastian mengenai income ini membuat mereka kembali lagi. Untuk itu, perlu ada kolaborasi agar bebannya lebih ringan. Dari pemerintah pusat bisa membantu bangunan, sementara lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah memberikan bantuan dari segi sosial dan ekonomi,” ujarnya (Kompas, 14/6/2023).
Kolaborasi berbagai pihak ini dinantikan sehingga tidak ada lagi warga hidup di bawah gelapnya kolong jalan tol.