Pekerja atau buruh meminta Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta tahun 2024 naik sebesar 15 persen atau jadi Rp 5,6 juta dari sebelumnya Rp 4,9 juta.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upah Minimum Provinsi atau UMP DKI Jakarta masih dalam pembahasan oleh Sidang Dewan Pengupahan. Pekerja atau buruh meminta kenaikan sebesar 15 persen atau menjadi Rp 5,6 juta dari sebelumnya Rp 4,9 juta.
Sidang Dewan Pengupahan DKI Jakarta menggelar rapat pembahasan UMP tahun 2024, Jumat (17/11/2023) siang. Sidang akan menghasilkan rekomendasi kepada Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dengan batas waktu hingga Selasa (21/11/2023).
Sebelumnya pada Kamis (17/11/2023), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) berunjuk rasa menuntut kenaikan UMP di Balai Kota Jakarta. Mereka menuntut kenaikan sebesar 15 persen atau jadi Rp 5,6 juta dari sebelumnya Rp 4,9 juta.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta Hari Nugroho di Balai Kota Jakarta, Jumat (17/11/2023) siang, menjelaskan, sidang pembahasan UMP baru akan dimulai hari ini. Sidang melibatkan semua unsur, yaitu pemerintah daerah, universitas, Badan Pusat Statistik, BRIN, Apindo, Kadin, dan serikat pekerja atau buruh.
”Kalau lancar hari ini sudah ada rekomendasi ke gubernur. Tapi kalau alot, mungkin Senin baru disampaikan. Paling lambat 21 November untuk serahkan rekomendasi UMP,” ucap Hari.
Kenaikan UMP merujuk ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan.
Menurut Hari, terdapat beberapa pertimbangan untuk kenaikan UMP. Misalnya, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu dengan alfa atau batas perhitungan yang digunakan ada pada rentang 0,1 sampai 0,3.
Pada tahun 2022, Pemprov DKI Jakarta menetapkan UMP 2023 sebesar Rp 4.901.798. Besaran itu naik 5,6 persen dari UMP 2022 sebesar Rp 4.641.854.
Saat itu, unsur serikat pekerja atau buruh mengusulkan besaran nilai UMP dengan formula inflasi September 2022 (year on year) 4,61 persen ditambah pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta triwulan III-2022 (year on year) 5,94 persen. Hasilnya UMP naik 10,55 persen dengan besaran Rp 5.131.569.
Sementara unsur pengusaha yang tergabung dalam Apindo merekomendasikan UMP naik 2,62 persen menjadi Rp 4.763.293. Dasar yang dipakai adalah PP No 36/2021 tentang Pengupahan.
Kemudian dari unsur organisasi pengusaha perwakilan Kadin mengusulkan UMP sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Batas perhitungan yang dipergunakan adalah 0,10 dan pertumbuhan ekonomi Jakarta sehingga usulan kenaikan sebesar 5,11 persen menjadi Rp 4.879.053.
Pemprov juga menggunakan dasar peraturan menteri tenaga kerja. Hanya saja, atas perhitungan yang digunakan adalah 0,20 sehingga UMP sebesar Rp 4.901.798.
Signifikan
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Senin (13/11/2023), menyampaikan, kenaikan UMP dan UMK akan berdampak signifikan pada laju konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi. Hal itu karena geliat konsumsi selama ini memang bergantung pada warga berpenghasilan menengah yang pendapatannya stabil dan rutin.
Sebagian kelompok menengah di Indonesia bekerja pada lapangan usaha formal yang digaji sesuai standar upah minimum atau di atas itu. Kenaikan persentase UMP dan UMK sudah pasti akan ikut menggerakkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
”Kelompok menengah itu disposable income-nya lebih besar dari kelompok atas karena uang yang mereka miliki itu, kan, akan langsung dibelanjakan habis. Polanya beda dari kelompok atas yang uangnya lebih banyak ditabung, disimpan, atau diinvestasikan,” kata Tauhid (Kompas, 14 November 2023).
Konsumsi kelas menengah juga lebih berdampak ketimbang kelompok bawah. Meski masyarakat berpenghasilan bawah juga sama-sama membelanjakan pendapatannya dan tidak ditabung, uangnya lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi makanan. Sementara pengeluaran kelas menengah banyak yang diarahkan ke konsumsi nonmakanan.
”Semakin tinggi konsumsi nonmakanan, semakin besar pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi ketimbang konsumsi makanan. Sebab, konsumsi makanan itu industrinya terbatas dan kebanyakan sifatnya habis pakai, sementara nonmakanan lebih berdampak karena banyak sektor yang terkait, ada pendidikan, kesehatan, dan lain-lain,” ujar Tauhid.