Ironi Anak dalam Belenggu Rokok
Situasi perokok anak di Indonesia mengkhawatirkan. Butuh aturan ketat dan upaya ekstra agar lepas dari belenggu rokok.
Perkenalan Ferdy (13) dengan rokok awalnya coba-coba saja. Ternyata ia merasa enak, hingga keterusan merokok bareng temannya setiap ada kesempatan. Murid SMP di Jakarta Utara ini setidaknya merokok satu sampai dua kali seminggu.
Minggu (29/10/2023) sore, dia baru selesai bermain sepak bola dengan temannya di gang perumahan. Mereka menuju ke salah satu warung untuk melepas dahaga.
Dia beberapa kali menyedot minuman rasa buah dalam plastik. Sesaat kemudian ia celingak-celinguk sambil mengeluarkan sebatang rokok. Tak lama, rokok menyala dan asap mengepul ke udara.
”Teman-teman pada ngerokok di sini (warung), dalam gang, enggak ketahuan. Dimarahin bokap kalau ketahuan (merokok),” ujar Ferdy.
Ayahnya seorang perokok, tetapi melarang anaknya merokok. Tak pelak, Ferdy kucing-kucingan setiap merokok di kompleks rumahnya.
Baca juga: Satu Dekade Upayakan Raperda Kawasan Tanpa Rokok
Putra (12) juga mengumpet setiap kali merokok. Murid SMP di Jakarta Utara ini biasanya menghabiskan sebatang rokok di gang yang jauh dari rumahnya.
Awalnya dia diajak teman sekolah. Saat itu, mereka patungan membeli rokok batangan. Rokok diisap bergantian sampai habis. Akhirnya mereka keterusan melakukannya setiap minggu.
”Pengin berhenti tapi susah. Setiap lihat teman merokok mau join (gabung),” katanya.
Ada lebih dari tiga warung di kompleks perumahan Ferdy dan Putra. Beberapa di antaranya memasang spanduk rokok di muka kios.
Hal serupa dijumpai di kompleks sekolah mereka. Terdapat lebih dari dua kios di sekitarnya dan memasang spanduk rokok.
Belenggu
Jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak berdasarkan Riset Kesehatan Dasar.
Usia perokok juga kian muda. Jika tahun 2013 ada 17,3 persen mulai merokok saat usia 10-14 tahun dan 56 persen usia 15-19 tahun, tahun 2018 sebanyak 23,1 persen mulai merokok saat usia 10-14 tahun dan 52,1 persen usia 15-19 tahun.
Global Adult Tobacco Survey juga mencatat peningkatan 10 kali lipat jumlah pengguna rokok elektronik usia 15 tahun ke atas dari 2011 ke 2021. Jumlahnya menjadi 6,6 juta orang dengan 2,8 persen di antaranya pelajar.
Anak pun terancam sebagai perokok pasif. Pada pelajar usia 13-15 tahun, sekitar 6 dari 10 di antaranya terpapar asap rokok di rumah, 7 dari 10 orang terpapar asap rokok di tempat umum, dan 1 dari 2 orang melihat orang merokok di sekolah.
Baca juga: Belajar Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok dari Matraman
Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Risky Kusuma Hartono, pertengahan Oktober lalu, mengingatkan tentang darurat perokok anak sehingga seluruh pemangku kepentingan wajib mencegah anak agar tidak merokok. Salah satunya dengan kawasan tanpa rokok sebagai indikator penilaian kota/kabupaten layak anak.
”Ada zona tidak boleh menjual rokok dalam radius tertentu misalnya dari sekolah. Zona ini supaya anak tidak terpapar rokok, bukan mengusir warung, tapi tak boleh menjual rokok,” ucapnya.
Ia merujuk salah satu penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia tentang Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan pada Anak-anak Usia Sekolah: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian pada Juni 2021. Tim peneliti menemukan 8.371 warung rokok eceran di Jakarta dengan rerata 15 warung setiap 1 km persegi. Dengan 1 warung rokok eceran setiap 1.000 penduduk, berarti warung rokok relatif mudah dijangkau.
Apabila dirinci lebih jauh, sebaran warung rokok eceran dalam radius 100 meter dari sekitar SD mencapai 21,67 persen, SMP 26,05 persen, dan SMA/SMK 15,63 persen.
Lebih dari 80 persen penjual ini masih menggunakan media promosi rokok, 11,3 persen pernah mempromosikan rokok eceran, dan lebih dari 50 persen pembelian rokok eceran diperbolehkan secara berutang.
Rerata penjualan rokok batangan mencapai lebih dari 300 batang per minggu. Harganya Rp 1.500 per batang.
”Rokok ketengan (eceran) mudah diakses anak-anak. Apalagi, lokasi warung dekat sekolah, harga murah, dan boleh bon,” ujar Risky.
Dari penelitian tersebut, opsi kebijakan yang paling banyak didukung oleh penjual ialah larangan menjual rokok di lingkungan perumahan atau sekitar area sekolah (37,1 persen) dan harus memiliki lisensi (17,7 persen).
Sementara rekomendasi yang dianjurkan kepada pemangku kepentingan, antara lain, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dengan menambahkan larangan penjualan rokok secara batangan. Selain itu, penerapan aturan restriksi penjualan rokok eceran, khususnya dekat sekolah; mengembangkan regulasi untuk memperketat penjualan rokok per bungkus dan larangan penjualan rokok batangan; dan secara konsisten menaikkan cukai hasil tembakau.
Mengkhawatirkan
Dinas Kesehatan DKI Jakarta melaporkan konsumsi rokok pada anak sangat mengkhawatirkan. Survei pada siswa SMP dan SMA di Jakarta Barat dan Jakarta Utara tahun 2017, sebanyak 36 persen pernah merokok dan pertama kali merokok ketika usia tujuh tahun.
Sementara data Outlook Perokok Pelajar Indonesia pada 2022, sebanyak 47,06 persen anak membeli rokok secara eceran dengan tempat membeli rokok terbanyak di kios dan minimarket. Ketika membeli, sebagian besar anak tidak pernah ditanya kartu identitas atau usia. Akses yang lebih mudah terjadi ketika mendapatkan rokok elektronik yang bisa diperoleh secara daring.
Jangan permisif, membiarkan anak merokok. Kalau sudah kadung merokok, dibantu untuk berhenti. Jangan tunggu sakit. (Lies Dwi Oktavia Handayani)
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Lies Dwi Oktavia Handayani, Jumat (10/11/2023), menyebutkan, tantangan besar yang dihadapi adalah mencetak lebih banyak orang yang sejak sekolah memutuskan untuk tidak merokok. Maka, kampanye berhenti merokok harus diperbaiki sesuai perkembangan zaman dan diperlukan Perda Kawasan Tanpa Rokok.
”Jangan permisif, membiarkan anak merokok. Kalau sudah kadung merokok, dibantu untuk berhenti. Jangan tunggu sakit,” ujar Dwi.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta tengah mengoptimalkan layanan upaya berhenti merokok. Misalnya, melatih guru bimbingan konseling sebagai konselor, ke depannya akan melatih kelompok murid sebagai konselor, dan mencoba layanan konseling kelompok.
Semuanya untuk menghadapi tantangan berhenti merokok, yaitu lepas dari adiksi. Waktunya berkisar 6 bulan sampai 1 tahun sehingga dalam kurun waktu itu penting adanya dukungan untuk menjaga motivasi.
”Tantangan di kami belum semua punya layanan ke lapangan. Harus diperbanyak membentuk kelompok konseling membantu orang berhenti merokok,” kata Dwi.
Pergeseran
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menilai pengenaan cukai beberapa tahun terakhir tergolong tinggi atau melebihi daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19. Imbasnya, terjadi pergeseran pembelian rokok dari tarif cukai dan harga tinggi ke golongan lebih rendah, termasuk diduga kuat sebagian lari ke rokok ilegal.
”Kombinasi antara cukai yang tinggi dan aturan yang ketat akan lebih menyuburkan rokok ilegal. Produksi rokok resmi atau legal akan turun, tetapi belum tentu menurunkan prevalensi perokok karena konsumsi rokok digantikan oleh rokok ilegal,” ucap Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi, Selasa (14/11/2023).
Gaprindo menyarankan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan diperkuat karena sudah komprehensif dan cukup ketat.
Beleid itu dipandang fokus melindungi kesehatan warga dari produk tembakau. Namun, masih kurang sosialisasi kepada seluruh lapisan warga supaya menjadi gerakan nasional, termasuk pemantauan dan evaluasi.
Baca juga: Semua Daerah Ditargetkan Telah Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok pada 2024
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jasra Putra meminta pemerintah segera melakukan tindakan masif dan strategis untuk mengendalikan dampak buruk rokok pada anak. Salah satu harapannya undang-undang bisa memperkuat kebijakan pengendalian rokok dengan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok serta penjualan rokok batangan.
Jika tidak memperketat pengendalian produk tembakau, dikhawatirkan bonus demografi yang seharusnya bisa dicapai justru berbalik menjadi bencana demografi.