Mendinginkan Suasana di Taman Kota
Ruang terbuka hijau memberi kesempatan warga untuk rehat di tempat yang ramah bagi kaum urban yang haus akan kesejukan.
Keberadaan ruang terbuka hijau di tengah kota memberi kesempatan warga untuk rehat dari hiruk-pikuknya kota. Selain sebagai penjaga kewarasan, taman kota dianggap sebagai penyelamat kota dari risiko banjir yang kerap mendera.
Edvin Damar (28), warga Matraman, Jakarta Timur, tengah menyetel kamera DSLR-nya untuk mengambil gambar di setiap sudut Lapangan Banteng Jakarta, Minggu (12/11/2023). Kawasan yang direvitalisasi pada tahun 2017 itu menjadi salah satu incarannya untuk memburu foto karena dianggap memiliki nilai estetika yang cukup tinggi.
”Mungkin seperti di taman firdaus,” kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pengacara itu sembari tersenyum.
Edvin menilai, taman ini terbilang sangat strategis karena berada di tengah kota dan tidak sulit untuk mengaksesnya. Di dekat kawasan itu juga berdiri beberapa bangunan bersejarah yang tidak kalah apik, seperti Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal.
Setelah direvitalisasi pada 2017, taman seluas 5,2 hektar ini memang kian memesona dengan berbagai keindahan di setiap sudutnya. Beragam pohon peneduh dan tanaman perdu yang dipercantik dengan bunga beraneka warna membuat taman ini semakin gemerlap.
Saung dari bambu yang dipadukan anyaman daun nipah diletakkan di tengah taman juga menjadi keunikan tersendiri. Di malam hari, taman ini kian cerlang dengan maraknya cahaya lampu warna-warni.
Baca juga: Taman Menyehatkan Warga Kota
Tak heran, banyak orang yang datang untuk sekadar rehat atau berolahraga. Sejumlah warga pun terlihat berswafoto dan juga mengambil video dengan latar belakang kerimbunan taman dulunya berfungsi sebagai terminal vital Ibu Kota.
Sempat meredup karena pandemi Covid-19 dan kembali dibuka pada 2020, Taman Lapangan Banteng sekarang tidak pernah sepi dikunjungi warga yang ingin beraktivitas seni, rekreasi, edukasi dan kegiatan lainnya.
Saking indahnya, warga Tangerang, Lesti Vicky Amelia (27), pun memilih tempat ini sebagai lokasi pengambilan foto pra weddingnya. Arsitektur taman yang memukau menjadi alasan bagi Lesti untuk memilih tempat ini.
”Kita seperti ada di Eropa. Suasananya Adem,” katanya. Tak heran, ia jauh-jauh dari Tangerang hanya untuk mendatangi tempat ini.
Ruang terbuka hijau (RTH) yang tak kalah memukau adalah Tebet Eco Park. Taman seluas 2,5 hektar ini menyajikan tempat yang ramah bagi kaum urban yang haus akan kesejukan. Ratusan pohon peneduh, seperti pohon pelangi (Eucalyptus deglupta), pohon trembesi (Albizia saman), dan pohon tabebuya (Handroanthus chrysotricha), membuat warga merasa nyaman tinggal lama di taman ini.
Yeski Kelsederi (29) selalu menjadikan tempat ini sebagai tempat rehat dan berlibur untuk anak dan suaminya. ”Karena, memang taman ini tergolong lengkap, ada taman bermain bagi anak dan suasananya sangat adem. Cocok disinggahi ketika kemarau,” katanya.
Namun, memang berbagai kendala masih ditemui. Misalnya, akses transportasi umum yang kurang memadai dan juga ruang parkir yang sangat terbatas.
”Jika membawa kendaraan pribadi, sangat sulit mendapatkan ruang parkir. Kalaupun ada, tempatnya jauh dari taman,” kata wanita yang bekerja sebagai aparatur sipil negara ini.
Hanya saja, jika dibandingkan dengan sebelum tahun 2000, taman ini sudah jauh lebih baik. ”Sewaktu saya masih kecil, taman ini belum sekeren sekarang,” ujarnya.
Yeski berharap pemerintah membangun taman-taman serupa di Jakarta agar warga memiliki banyak pilihan untuk menikmati waktu senggang. ”Di taman, kita bisa healing tipis-tipis,” kata Yeski.
Mempertahankan RTH
Sebegitu pentingnya RTH bagi warga, di beberapa tempat memutuskan untuk mempertahankannya dari ancaman okupasi akibat pesatnya pembangunan. Hal ini terjadi di daerah Tanah Mas RW 001, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, yang menolak alih fungsi RTH menjadi puskesmas.
Komandan Regu Pengamanan Kompleks Tanah Mas Mulyono mengatakan, penolakan alih fungsi lahan ini dilatarbelakangi kekhawatiran warga akan terus tergerusnya daerah tangkapan air. Selama ini RTH yang memiliki luas sekitar 5.000 meter itu jadi tempat penyerapan air, tempat bersosialisasi dan berolahraga bagi warga.
”Area ini juga diharapkan jadi area tangkap air untuk meminimalisasi risiko banjir,” katanya.
Penolakan alih fungsi lahan sudah berlangsung sejak September 2023 dan sampai sekarang belum mencapai kesepakatan. Sejumlah spanduk berisi penolakan juga masih tertera di berbagai sudut RTH.
Kami pun menganggap pembangunan puskesmas belum begitu mendesak.
Ada beberapa alasan warga menolak alih fungsi. Pertama, masih banyak lahan yang kosong yang bisa digunakan jadi tempat pembangunan puskesmas. Selain itu, di dekat RTH juga telah ada Puskesmas Kayu Putih.
”Kami pun menganggap pembangunan puskesmas belum begitu mendesak,” ujar Mulyono.
Agung dari Komunitas Taman Kota berpendapat, mempertahankan RTH di tengah permukiman warga sangatlah krusial karena sarana itu bisa menjadi tempat interaksi sosial.
Baca juga: Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Menurut dia, RTH seakan telah merasuk ke setiap benak warga tidak hanya anak-anak, bahkan sampai kaum lanjut usia. Karena. RTH memiliki fungsi yang beragam, yakni sebagai arena bermain anak atau tempat berolahraga.
Agung berpendapat, keberadaan taman sebenarnya dapat merepresentasikan kondisi kota. Itulah sebabnya, saat ini adalah momen yang tepat untuk menjadikan taman ini sebagai salah satu solusi untuk kembali ke alam.
Hingga kini cakupan ruang terbuka hijau di Jakarta sebesar 33,33 juta meter persegi atau 33,33 kilometer (km) persegi atau baru mencakup 5,18 persen dari luas Jakarta yang 664,01 km persegi.
Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Bayu Meghantara memastikan 23 taman itu akan rampung hingga akhir tahun 2023. Lokasinya terbagi di sejumlah wilayah dengan prioritas lokasi dekat dengan permukiman warga.
”Masih berproses pengerjaannya sampai akhir tahun ini. Masing-masing menelan anggaran Rp 1 miliar sampai Rp 1,2 miliar,” ujarnya. (Kompas, Rabu, 20/9/2023).
Bergita Gusti Lipu, Asisten Periset Bidang Kota dan Transportasi dari World Resources Institute (WRI), mengatakan, memperluas RTH seharusnya menjadi komitmen bersama. Apalagi saat ini konsep cities for forest (menghutankan kota) sudah menjadi gerakan global, yakni merestorasi dan mengonservasi tanaman untuk keberlanjutan hutan di perkotaan.
Dengan berpegang pada konsep itu, ancaman bencana hidrometeorologis, seperti longsor dan banjir, bisa ditekan. Memang, ungkap Bergita, tidak hanya Jakarta yang memiliki tanggung jawab memperluas RTH, tetapi daerah dekat Jakarta juga memiliki tugas serupa.