Berbagi Makanan, Tekan Potensi Bencana
Menggunungnya sampah makanan di Indonesia menggerakkan sejumlah pihak untuk mendonasikan, mengolah, dan membagikan makanan berlebih kepada warga prasejahtera.
Praktik warga menyisakan dan membuang makanan menjadi salah satu penyebab penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir, lalu mengakibatkan kebakaran tempat pembuangan akhir karena tidak terkelola dengan baik. Di sisi lain, masih banyak orang yang kelaparan dan sulit mengakses makanan di Indonesia.
Di tengah kondisi itu, beberapa organisasi sosial, seperti Foodbank of Indonesia dan Foodcycle, hadir untuk membantu menekan sampah sisa makanan. Tak hanya itu, gerakan mereka juga sekaligus mengatasi kesenjangan pangan melalui distribusi makanan lebih agar tak terbuang percuma.
Antrean mengular saat Mobil Pangan Umat (MPU) milik Foodbank of Indonesia (FOI) tiba di kawasan Jalan Pondok Raya Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis (2/11/2023) siang. Di atas mobil pikap itu, terdapat berbagai jenis makanan ringan, seperti kacang-kacangan, kerupuk, keripik, susu, minuman bersoda, dan sebagainya yang diperoleh dari donatur FOI.
Sembari menggendong putranya yang masih berusia empat tahun, Azim (40) turut mengantre untuk mendapatkan makanan yang dibagi FOI. Semula, hanya terdapat lima warga yang mengantre, tetapi setelah beberapa menit, warga kian membeludak dan beberapa harus merelakan balik dengan tangan kosong.
Baca juga: ”Food Loss” dan ”Food Waste”, Mengapa Kita Harus Peduli
Azim sudah menunggu sekitar setengah jam sebelum FOI mulai membagikan makanan. Ia menunggu sembari berbaur dengan sejumlah pedagang kaki lima dan pengemudi ojek daring. Azim memang sudah hafal jadwal pembagian makanan FOI di wilayahnya, yakni setiap hari Kamis.
Siang itu, ia mendapat dua jenis makanan ringan dan satu minuman soda. ”Lumayan, makanannya bisa untuk tambahan lauk. Nanti dimakan pakai nasi. Meskipun bukan makanan berat, saya tetap bersyukur,” ujar Azim yang sudah beberapa bulan menganggur itu.
Pengemudi ojek daring, Supriyanto (51), juga tak mau ketinggalan. Ia menepi sejenak dari rutinitasnya demi mendapatkan pengganjal lapar di tengah kerja. Selebihnya, ia membawa makanan itu pulang.
Sementara Rumiyah (44), warga Mampang Prapatan, berjalan sekitar 600 meter dari rumahnya agar tergabung dalam antrean. Akan tetapi, saat ia tiba, makanan-makanan itu sudah habis terbagi.
Baca juga: Memilah di Rumah, Mencegah Amuk Api di Tempat Pembuangan Sampah
”Tidak apa-apa, mungkin belum rezeki saya. Minggu depan bisa datang lebih cepat,” kata Rumiyah sembari melintir ujung bajunya.
Koordinator MPU FOI area Mampang Prapatan, Mega Wahyu, mengatakan, MPU merupakan salah satu program rutin yang digencarkan FOI. Distribusi makanan melalui MPU diprioritaskan untuk pekerja informal karena makanan yang dibagikan berupa makanan ringan.
Pembagian di area Mampang Prapatan biasanya sekitar pukul 15.00. Akan tetapi, jam pembagian makanan dapat berubah. Jika ada penggeseran jam, ia akan menginformasikan kepada warga melalui Whatsapp. Sebab, beberapa dari mereka sudah langganan menerima makanan dari FOI.
Selain di Mampang Prapatan, MPU juga dilakukan di sejumlah wilayah Jakarta, yakni di Kebayoran Lama pada hari Sabtu serta di Kebayoran Baru pada hari Jumat atau Sabtu. Dalam sekali mendistribusikan makanan, program MPU bisa menjangkau 100 lebih warga.
Baca juga: Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
FOI mendistribusikan berbagai macam jenis dan bentuk makanan, antara lain makanan siap saji berlebih dari hotel, makanan berlebih dari toko roti, serta produk dari donatur yang tidak terjual atau mendekati masa expired tetapi masih layak konsumsi. FOI juga mengolah bahan makanan dari donatur menjadi makanan siap saji dalam program Dapur Pangan FOI.
Sebelum didistribusikan, makanan-makanan dari penyumbang itu disortir terlebih dahulu untuk ditentukan mana yang masih layak konsumsi atau tidak. Makanan yang sudah tidak layak konsumsi, akan diolah menjadi kompos dan pakan ternak.
Petugas sortir FOI, Suryati, mengelompokkan makanan ringan sesuai jenis dan tanggal kedaluwarsanya. Ia juga mencatat di buku dan menandai tanggal kedaluwarsa pada kardus penyimpan makanan.
”Kami harus benar-benar memastikan makanan itu layak. Kalau bungkusnya ada yang terbuka, kami akan coba dulu. Kalau sudah tidak enak atau tidak layak, bisa diolah untuk kompos. Makanan yang benar-benar sudah mendekati tanggal kedaluwarsa juga akan kami coba dulu,” katanya.
Baca juga: Mengolah Kelebihan Makanan agar Tak Jadi Sampah
Mengutip estimasi World Food Programme (WFP) pada 2023, Hendro mengungkapkan terdapat lebih dari 345 juta masyarakat dunia akan menghadapi kerawanan pangan. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2020.
Suryati bercerita, perjalanan FOI dalam membagikan makanan berlebih tidak selalu mulus. Saat awal memulai, sejumlah pengamen dan pemulung takut menerima makanan yang dibagikan FOI. Namun, berjalannya waktu, FOI mulai dikenal dan banyak relawan yang membantu.
”Pernah juga ada kesalahpahaman. Saat kami membagikan cokelat, ada orangtua siswa yang komplain. Katanya, setelah makan cokelat dari kami, anaknya mengalami sakit perut. Saat ditanya, anaknya mengatakan belum makan cokelat, tetapi makan jajan yang dibeli sendiri. Padahal, cokelat yang kami bagikan saat itu juga masih jauh dari tanggal expired,” tambah Wijang, anggota staf FOI lainnya.
FOI didirikan oleh pasangan suami istri Muhammad Hendro Utomo dan Wida Septarina Wijayanti pada Mei 2015. Tujuan didirikan organisasi sosial nirlaba ini untuk memerangi kelaparan serta meningkatkan gizi, terutama bagi anak-anak. Selanjutnya, juga menekan pembuangan makanan layak konsumsi yang berakhir menjadi sampah makanan.
Mengutip estimasi World Food Programme (WFP) pada 2023, Hendro mengungkapkan terdapat lebih dari 345 juta masyarakat dunia akan menghadapi kerawanan pangan. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2020.
Menurut Hendro, mengurangi limbah makanan sama halnya dengan meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Ketika seseorang dapat melakukan pengurangan atau tidak menyisakan sampah makanan, ia sudah berkontribusi dalam peningkatan ketersediaan pangan di tengah ancaman krisis pangan global.
Untuk mencapai visi dan misinya, FOI mengembangkan berbagai program. Mulai dari Sayap dari Ibu (Sadari), Mentari Bangsaku (MB), Dapur Pangan FOI, Mobil Pangan Umat (MPU), Kebun Pangan Komunitas (Kepak), PJK (Peta Jalan Kuliner), Qurban Hingga Pelosok, serta RED FOI (Response on Emergency and Disaster).
Saat ini, cakupan wilayah FOI tersebar di 13 provinsi di Indonesia. FOI memiliki donatur dari sejumlah perusahaan, pertokoan, produsen makanan, dan pedagang retail. FOI telah membagikan 3.300 ton lebih kepada lebih dari 22.3477 nasabah FOI yang terdiri dari anak-anak, korban bencana alam, lansia, pekerja informal, dan lain-lain.
Baca juga: Berbagi Makanan, Kurangi Sampah
Di tempat lainnya, kedatangan truk Foodcycle membuat suasana di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Flamboyan di Kampung Pulo RT 013 RW 002, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (10/11/2023), riuh oleh sejumlah anak-anak sekolah dasar. Anak-anak yang baru saja pulang sekolah itu menanti pembagian roti-roti ala resto dan kafe yang dibawa Kukuh Napaki (28) dan Sofyan Setyadi (32).
Pembagian makanan lebih oleh Foodcycle tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan warga di sekitar Kali Ciliwung, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif untuk tidak membuang makanan. Warga selalu diselipkan edukasi untuk menghabiskan makanan rumah.
”Kue dan makanan yang kami terima ini sangat bermanfaat. Anak-anak bisa makan di sini (saat pandemi) ada roti ada nugget. (Edukasi) itu sampai saat pertemuan ada ibu-ibu orangtua murid juga,” ujar Nurhayati, Ketua Yayasan Nur Sahabat PKBM Flamboyan.
Sementara itu, Kukuh menuturkan, dalam sehari Foodcycle menerima sekitar 2.500 hingga 3.000 roti berbagai jenis dari sejumlah mitra mereka untuk dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Foodcycle menyasar makanan ke komunitas masyarakat nonproduktif, seperti panti jompo, panti asuhan, pengungsi, rumah singgah anak jalanan, hingga sekolah.
”Paling banyak kami menerima roti, sehari rata-rata 2.500. Kami juga menerima dan menyalurkan kembali daging, makanan olahan, dan makanan kemasan,” ujarnya.
Makanan yang disalurkan Foodcycle, kata Kukuh, makanan layak konsumsi. Makanan itu dari produk yang tidak laku terjual, produk yang mau habis masa kedaluwarsanya minimal 1 bulan, kue atau roti yang tak salah pembuatan sehingga bentuk warna tidak sesuai dengan standar penjualan yang telah ditetapkan perusahaan.
Foodcycle Indonesia memiliki beberapa program utama, antara lain A Blessing to Share yang membagikan makanan siap saji dari pernikahan atau hajatan lainnya, BreadRescue yang membagikan roti dari toko roti, dan LunchSharing yang membagikan makan siang dari kantor.
Makanan siap saji dari pesta pernikahan atau makan siang kantor langsung disalurkan kepada organisasi garis depan (front line organizations/FLO), sedangkan makanan kemasan dari pabrik baru akan kedaluwarsa dalam waktu 2-3 bulan.
Yayasan nirlaba yang digagas oleh Astrid Paramita dan Herman Adryanto pada 2017 silam ini, memiliki visi mencapai Indonesia tanpa kelaparan dan limbah makanan. Sejak 2017, setidaknya ada sekitar 900 ton makanan yang telah disalurkan ke seluruh wilayah Jabodetabek dengan bantuan 118 mitra.
”Ini menjadi bank makan profesional yang fokus pada food waste dan isu kelaparan atau pemenuhan kebutuhan pangan oleh keluarga tak mampu. Lalu, gerakan mengurangi sampah makanan di TPA/TPS,” ujar Kukuh.
Sampah makanan
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total timbulan sampah dari 320 kabupaten/kota di Indonesia mencapai 36,07 juta ton per tahun pada 2022. Sebanyak 40,5 persen (mayoritas) atau 14,61 juta ton sampah tersebut berasal dari sisa makanan.
Sementara hasil analisis Kompas pada 2022 menemukan, setiap orang di Indonesia rata-rata membuang makanan senilai Rp 2,1 juta per tahun. Jika dijumlahkan, nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati mengatakan, pemerintah terus berusaha menekan jumlah sampah sisa makanan yang menjadi penyumbang terbesar timbunan sampah di Indonesia. Salah satu upayanya adalah melalui kerja sama dengan Pemerintah Denmark dalam mengatasi food loss and waste (FLW) pada Selasa (10/10/2023).
Kerja sama tersebut menyepakati sejumlah hal, antara lain, mengupayakan perencanaan, pemantauan, evaluasi, serta perumusan kebijakan mengenai rencana aksi FLW yang selaras dengan pengembangan peta jalan dan rencana aksi ekonomi sirkular di Indonesia.
Selain itu, juga menjajaki dan memfasilitasi peluang investasi untuk proyek percontohan serta bertukar pengetahuan mengenai kebijakan dan peraturan, model tata kelola, dan praktik terbaik terkait efisiensi sumber daya serta FLW.
Tiga upaya
Jumlah sampah makanan bisa jauh lebih besar dari data yang ada. Apalagi rantai pasokan makanan berlebih belum teridentifikasi guna memitigasi timbulan sampah makanan. Setidaknya ada tiga jalan keluar yang bisa dilakukan sesuai dengan kondisi makanan.
Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Yuki Wardhana, mengatakan, sampah makanan merupakan salah satu jenis sampah terbesar. Jumlahnya mencapai 46,35 juta ton berdasarkan data Sistem Pengolahan Sampah Nasional tahun 2021.
Namun, selama ini banyak pihak masih terfokus pada sampah plastik. Padahal jumlah sampah makanan jauh lebih besar dan belum terindentifikasi rantai pasokan makanan berlebih guna memitigasi timbulan sampah.
”Sangat ironis, ketika sebagian masyarakat kekurangan makanan, di sisi lain ada makanan yang terbuang jumlahnya besar,” kata Yuki, Rabu (8/11/2023).
Baca juga: Perkuat Kerja Sama untuk Mengatasi Kelaparan
Belum ada sistem rantai pasok untuk menyalurkan makanan layak konsumsi. Harapannya ada pionir (bisa pemerintah atau swasta) yang dapat memetakan tempat yang dapat menerima makanan layak konsumsi terdekat secara waktu nyata.
Ada tiga langkah sebagai jalan keluar yang bisa dilakukan. Menurut Ketua Umum Indonesia Environmental Scientist Association/IESA itu, langkah ini dilakukan sesuai dengan kondisi makanan yang ada.
Menurut Yuki, jika makanan masih bisa dikonsumsi, dapat diberikan kepada orang yang membutuhkan. Tantangannya ialah makanan berlebih yang jumlahnya besar dari hotel, rumah makan, dan toko kue harus disalurkan segera.
”Belum ada sistem rantai pasok untuk menyalurkan makanan layak konsumsi. Harapannya ada pionir (bisa pemerintah atau swasta) yang dapat memetakan tempat yang dapat menerima makanan layak konsumsi terdekat secara waktu nyata,” ucap Yuki.
Pemetaan tersebut bisa melalui aplikasi sehingga siapa pun yang memiliki makanan layak konsumsi dapat menyalurkan kepada mereka yang membutuhkan.
Lanjut Yuki, sisa makanan yang tidak layak konsumsi dapat digunakan sebagai bahan baku kompos. Namun, kapasitas produksi dan penggunaan kompos di tingkat rumah tangga sangat terbatas. Kedua hal itu harus diidentifikasi rantai pasokannya dari tingkat rumah tangga ke tingkat produsen agar bisa dikelola dalam jumlah yang besar.
Upaya lainnya masih terkesan klasik, yaitu pendekatan sosiologi. Di sini membutuhkan peran pemuka agama untuk terus mengimbau warga untuk makan secukupnya dan tidak menyisakan makanan.
”Diharapkan mampu mengubah perilaku masak berlebih atau menyisakan makanan. Rasanya, pada seluruh agama mengajarkan kita untuk tidak menyisakan makanan,” tutur Yuki.