Mitigasi banjir dengan memaksimalkan kapasitas sungai sangat diperlukan. Sejumlah upaya sudah dilakukan hanya saja masih terbentur sejumlah kendala.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mitigasi banjir dengan memperlebar kapasitas sungai sangat diperlukan. Sejumlah upaya sudah dilakukan hanya saja masih terbentur sejumlah kendala. Kondisi ini harus segera ditangani agar banjir tidak terulang lagi.
Ahli Hidrologi Yayasan Institut Sumber Daya Dunia (World Resources Institute/WRI), Yudhistira Satya Pribadi, Selasa (7/11/2023), menuturkan, memaksimalkan kapasitas tempat parkir air merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk mencegah banjir di daerah rawan.
Beberapa upaya pemerintah untuk merealisasikan hal itu sudah terlihat seperti membangun kanal banjir, waduk, kolam retensi, dan berbagai infrastruktur yang lain. Namun, jumlah itu tidak sebanding dengan jumlah kawasan terbangun yang mengakuisisi tempat air sehingga ruang air menjadi kian sempit.
Yudhistira menyadari ada beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya menambah infrastruktur penampung air, misalnya terkait proses pembebasan lahan yang sulit dan juga warga yang enggan dipindahkan dari kawasan yang sudah lama mereka diami.
Warga pun seakan sudah terbiasa untuk tinggal di daerah yang rawan banjir. Kondisi ini terlihat dari bangunan rumah yang biasanya dibangun bertingkat untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu datang.
”Bagi warga, banjir sudah menjadi budaya sehingga rumahnya terendam banjir tidak jadi masalah. Toh, hanya dalam musim tertentu saja,” ujarnya.
Namun, budaya ini tidak bisa dibiarkan karena bagaimanapun bencana alam pasti akan mendatangkan kerugian. Jika belajar dari berbagai negara di dunia, perlu ada sinergitas antarinstansi untuk menangkal datangnya banjir.
Yudistira mencontohkan, untuk banjir di DKI Jakarta tidak hanya cukup diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi harus berkoordinasi dengan daerah hulu, yakni Bogor ataupun Depok di Jawa Barat.
”Terkadang antara satu daerah dan daerah lain kurang koordinasi sehingga kerap kali terjadi hambatan dalam proses penanggulangan banjir,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Ika Agustin Ningrum mengatakan, salah satu kendala normalisasi adalah tidak adanya hak kepemilikan lahan yang sah oleh warga di bantaran kali. Diperlukan pendekatan langsung dengan warga agar ada jalan keluar tanpa merugikan pihak mana pun.
Dalam normalisasi, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta fokus di segmen Cililitan, Rawajati, dan Cawang. Fokus proyek pada 2024 antara lain pembangunan waduk, pengadaan tanah, sarana-prasarana sungai, pompa air, layanan aspirasi masyarakat, dan operasionalisasi pengendali banjir (Kompas, 6/11/2023).
Upaya normalisasi untuk menanggulangi banjir sudah dilakukan pemerintah sejak lama. Di tahun 1970, misalnya, pemerintah membongkar 500 bangunan untuk normaliasi Kali Krukut dalam rangka pengendalian banjir di Jakarta, khususnya di sekitar Jembatan Semanggi dan Pejompongan (Kompas, 17/10/1970).
Kalau ada warga yang menghambat pembebasan lahan, langsung saja tindak tegas karena ini untuk kepentingan umum.
Warga Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, Golkar (52), menuturkan, sejak tahun 1997, banjir di kawasan ini kerap terjadi satu tahun sekali. Namun, siklus banjir besar biasanya terjadi setiap lima tahun.
Warga seakan sudah terbiasa dengan kondisi ini. Kondisi tersebut terlihat dari bangunan rumah warga yang sebagian besar dibangun bertingkat atau terdapat loteng. Tempat itu ditujukan untuk meletakkan barang ketika banjir melanda.
Golkar menuturkan, banjir memang kerap terjadi karena rumah warga terdapat di daerah aliran Sungai Ciliwung sehingga ketika air sungai meluap, banjir pun tidak bisa terhindarkan.
Dia berharap sodetan yang dijanjikan oleh pemerintah dapat segera terealisasi agar banjir tidak terulang kembali. ”Kalau ada warga yang menghambat pembebasan lahan, langsung saja tindak tegas karena ini untuk kepentingan umum,” ujar Golkar.
Ketua RT 003 Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Apoy, mengatakan, karena warga tinggal dekat dengan Sungai Ciliwung, banjir sudah menjadi ”tamu” tahunan yang siap disambut. Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk menangkal banjir, seperti tidak membuang sampah di saluran air atau memperluas area tangkapan air dengan pembangunan taman. Namun, kedua usaha itu akan sia-sia jika Sungai Ciliwung tidak direvitalisasi.