Kekerasan Seksual terhadap Anak di Bekasi Masih Mendominasi
Di Kota Bekasi, Jawa Barat, Kekerasan seksual pada anak menjadi kasus paling dominan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Sepanjang tahun 2023 di Kota Bekasi, Jawa Barat, kekerasan seksual terhadap anak menjadi kasus yang paling dominan dibandingkan dengan bentuk kekerasan yang lain. Dari semua laporan tersebut, 54 persen pelakunya adalah orang yang dikenal.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi Novrian, Jumat (3/11/2023). Ia menjelaskan, dari 110 kasus yang masuk ke KPAD Kota Bekasi sampai Oktober 2023, sebanyak 27 kasus merupakan bentuk kekerasan seksual.
Jumlah ini memang menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan jumlah kasus mencapai 42 laporan. Memang, jumlahnya menurun, tetapi kekerasan seksual terhadap anak tetap harus diwaspadai. ”Bisa jadi itu karena kasusnya menurun atau mungkin banyak yang tidak melapor,” kata Novrian.
Alasan mereka tidak melapor karena malu atau pelaku merupakan orang dekat, bisa ayahnya, paman, atau bahkan saudaranya sendiri. Dalam beberapa kasus, kekerasan seksual terjadi karena masalah ketidakharmonisan orangtua, faktor ekonomi, dan lingkungan.
”Banyak kasus kekerasan seksual terjadi akibat rumahnya berdempetan atau tidur seranjang karena terbatasnya ruang,” kata Novrian.
Walau banyak kasus yang melibatkan orang dekat, Novrian berharap agar korban tidak takut melapor karena hal ini bisa mengancam masa depan korban. ”Dengan melapor, korban bisa lebih terlindungi dan lebih tenang dalam menjalani kegiatan selanjutnya,” kata Novrian.
Selain kasus kekerasan seksual, kasus perundungan juga kerap terjadi. Namun, jumlahnya terbilang sedikit. Untuk tahun ini saja, hanya ada 10 laporan. Namun, jika dibandingkan dengan tahun lalu, laporan terkait perundungan hanya empat laporan. Bahkan beberapa di antaranya sempat menyita perhatian.
Salah satunya adalah perundungan yang dialami oleh siswa SD Negeri Jatimulya 9, Tabun Selatan, Kabupaten Bekasi, Fathir Arya Adinata (12). Akibat dugaan perundungan yang dilakukan teman-temannya, Fathir harus kehilangan kaki kirinya akibat diamputasi.
Terbatasnya laporan kasus perundungan dikarenakan banyak warga yang menganggap kasus perundungan adalah hal yang wajar. ”Padahal, jika terus dibiarkan, bisa mengancam keselamatan korban,” katanya.
Menurut Novrian, masih banyak warga awam yang menganggap semua bentuk kekerasan yang melibatkan anak di lembaga pendidikan adalah perundungan. Padahal, bisa jadi itu hanya sekadar kenakalan, tetapi cenderung membahayakan.
Novrian mengatakan, perundungan adalah bentuk kekerasan yang menjatuhkan martabat korbannya. Perundungan bisa saja terjadi secara verbal. ”Bersikap diskriminatif juga termasuk perundungan,” ucapnya.
Untuk itulah, edukasi kepada masyarakat sangat diperlukan agar segala bentuk kekerasan terhadap anak bisa diminimalkan.
Mila Ayu Dewata Kuasa Hukum Fathir berharap agar tidak ada lagi perundungan, apalagi di lembaga pendidikan. Kalaupun masih ada, ia berharap agar korban berani melaporkan tindakan itu agar segera ditanggulangi.
Menurut dia, pelaku perundungan harus diberi sanksi agar memberikan efek jera sehingga mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya. ”Karena perundungan bisa membuat masa depan korban menjadi suram,” katanya.