Mengolah Sampah, Mengikis Bencana
Kebakaran di TPA Rawa Kucing di Kota Tangerang harus dijadikan momentum untuk membenahi pengolahan sampah. Semua itu harus dimulai dari tingkat rumah tangga.
Bencana di Tempat Pemrosesan Akhir Rawa Kucing, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, menjadi momentum warga untuk mulai memilah sampah dari rumah. Pemerintah pun dituntut untuk tidak lagi mengolah sampah dengan skema open dumping agar peristiwa ini tidak terulang.
Opick (39) memilah satu per satu sampah botol air mineral dan menggabungkannya dengan botol plastik sejenis dalam satu karung. Karung itu kemudian diikat pada sepeda motor bebeknya untuk kemudian diangkut ke pengepul barang bekas.
”Dalam satu minggu saya bisa memperoleh Rp 800.000 dari memilah barang bekas,” kata Opick yang sudah 20 tahun menjadi pengumpul barang bekas di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa kucing, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Selasa (25/10/2023).
Baca juga: TPA Rawa Kucing di Tangerang Kembali Buruk Rupa
Setiap hari Opick bersama puluhan pengumpul barang bekas sudah menunggu di TPA sejak pukul 06.00 untuk menunggu kedatangan truk pengangkut sampah masuk ke area TPA. Ketika sampah diturunkan, Opick dengan sigap memburu sampah yang bisa diolah lagi.
Berbekal pengalaman puluhan tahun, Opick sangat mahir memilah sampah karena memang setiap bahan memiliki harga yang berbeda. Untuk sampah botol air mineral, misalnya, dihargai sekitar Rp 3.500 per kilogram (kg). Sementara untuk sampah jenis aluminium, seperti kaleng minuman, dihargai sekitar Rp 16.000 per kg.
Adapun untuk sampah jenis tembaga bekas kabel dihargai paling mahal, yakni sekitar Rp 80.000 per kg. Dari memungut sampah, Opick bisa menyekolahkan anaknya hingga SMA.
”Saya bertekad ingin membiayai anak sampai kuliah agar dia memperoleh kehidupan yang lebih baik dari ayahnya,” kata Opick.
Ketua Bank Sampah Sungai Cisadane (Banksasuci) Ade Yunus juga beranggapan bahwa sampah itu sangat berharga. Karena itu, tidak ada satu sampah pun yang ia buang ke TPA. Dari sampah, ia bisa membiayai operasional bank sampah, mulai dari membersihkan sungai dan juga memberikan edukasi kepada masyarakat, hingga mendanai sukarelawan.
Dia menjelaskan, dari sekitar 18 ton sampah yang dikumpulkan dari aliran Sungai Cisadane, sekitar 75-80 persen memiliki nilai ekonomi, baik untuk didaur ulang maupun dijadikan pupuk kompos.
”Pupuk kompos pun kami jadikan untuk menanam pohon di bantaran Sungai Cisadane,” kata Yunus.
Hanya sekitar 15 persen yang menjadi residu dan harus dimusnahkan di insenerator. Namun, tidak banyak publik yang tahu manfaat dari sampah. ”Mereka hanya membuang sampah, tetapi tidak mengolahnya dari rumah,” katanya.
Karena itu, banyak sampah yang dibuang begitu saja ke sungai atau di TPA ilegal. ”Padahal, tindakan itu membuat sampah akan terus menggunung,” katanya.
Karena itu, edukasi kepada warga sangat diperlukan agar kebiasaan membuang sampah tanpa diolah dapat terkikis. Agar visi ini terealisasi, Ade berpandangan, butuh kolaborasi pentahelix, yakni pemerintah, pengusaha, komunitas, akademisi, dan media.
Hanya saja, sekarang kolaborasi ini belum berjalan optimal lantaran setiap pihak asyik dengan programnya sendiri-sendiri. Karena itulah, sampah tidak terkelola dan akhirnya menyebabkan bencana.
Pembuangan terbuka
Pengampanye dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, berpendapat, Pemkot Tangerang seharusnya tidak lagi mengoperasikan TPA Rawa Kucing yang masih menggunakan sistem pembuangan terbuka (open dumping). Sistem ini adalah proses pengelolaan dengan menumpuk sampah sampai menggunung.
Skema itu terbukti memicu bencana. Dalam jangka waktu 9 tahun, TPA itu sudah terbakar sebanyak 10 kali. Situasi itu diperparah dengan lokasi TPA Rawa Kucing yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari permukiman warga.
Dalam kondisi kebakaran atau meledak, masyarakat sekitar menjadi kelompok yang akan terdampak. Dari bencana ini, sekitar 154 warga harus mengungsi, di mana 72 di antaranya adalah anak-anak.
Selain kebakaran, warga juga dihantui risiko gangguan kesehatan akibat pencemaran lingkungan yang diakibatkan sistem open dumping pada TPA Rawa Kucing, seperti pencemaran udara, tanah, dan air.
Dari bencana ini, Aminullah berharap agar Pemkot Tangerang dan Pemprov Banten segera menyusun rencana revitalisasi TPA Rawa Kucing, termasuk kebijakan untuk mengurangi sampah, mulai dari level kawasan, seperti Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Tihar Sopian mengatakan, upaya sosialisasi dan edukasi kepada warga sudah dilakukan melalui beragam program, seperti bank sampah, di hampir setiap kelurahan serta program sedekah sampah. Hingga saat ini ada sekitar 80 bank sampah di seluruh Kota Tangerang.
”Namun, memang semenjak pandemi Covid-19, program itu tidak berjalan optimal,” ujarnya.
Semua sampah itu harus diangkut agar tidak mengotori kota. ”Kondisi ini membuat tumpukan sampah di TPA semakin menggunung,” kata Tihar. Hingga saat ini, pihaknya berupaya untuk mengurangi tumpukan sampah.
Kondisi ini menjadi indikasi bahwa negara sedang mengalami darurat sampah.
Jika tidak ditanggulangi, dikhawatirkan kapasitas TPA tidak lagi mencukupi. Dari total 34,8 hektar lahan TPA, hanya tersisa 2,5 hektar yang belum digunakan.
Namun, langkah antisipasi sudah diupayakan dengan pembangunan pengolahan sampah terpadu ramah lingkungan Kota Tangerang yang ditargetkan akan mulai menjalani konstruksi pada 2025 mendatang. Dengan begitu, sampah tidak ada dibiarkan dibuang, tetapi dikonversikan menjadi listrik.
Baca juga: Kebakaran TPA Rawa Kucing Kian Parah, Tiga Mobil Dinas Terbakar
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugianto akan membawa isu sampah untuk menjadi perhatian semua kepala daerah karena masalah sampah tergolong paling krusial. Dari data yang dihimpun, kata Bima, sekitar 70 persen sampah ditimbun di TPA, 15 persen tidak terangkut, dan hanya sekitar 10-15 persen sampah didaur ulang.
”Kondisi ini menjadi indikasi bahwa negara sedang mengalami darurat sampah. Saat ini perpres (peraturan presiden) belum maksimal untuk membangun gerakan terstruktur, sistematis, dan masif. Dari komitmen anggaran saja sangat minim. Rata-rata APBD kota tidak sampai 2 persen menganggarkan untuk pengelolaan sampah,” ujarnya.
Apeksi pun akan terus mendorong advokasi yang lebih baik. Menurut dia, intervensi pusat dalam pelaksanaan operasional akan lebih efektif bila diperkuat dengan kajian dan masukan dari bawah.
Semua kepala dinas lingkungan hidup harus ikut merumuskan kebijakan nasional. Apeksi pun siap membantu kajiannya agar melahirkan ringkasan kebijakan (policy brief) untuk presiden, kementerian/lembaga, termasuk kepala daerah.