Michael, ”Si Koboi Jalanan”, Tak Berkutik Ditangkap Polisi
Aksi koboi jalanan kembali terulang. Arogansi pengendara mobil ini harus ditindak tegas karena meresahkan masyarakat.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Subdirektorat Umum Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menangkap Michael (26) karena arogansinya di jalan. Aksi koboi jalanan yang terus berulang ini meresahkan masyarakat. Warga diimbau untuk tidak takut melapor jika menemukan aksi koboi jalanan.
Kepala Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Ditreskrimum Ajun Komisaris Besar Samian, Jumat (20/10/2023), mengatakan, tersangka tidak hanya bersikap arogan sehingga merugikan pengguna jalan lain, tetapi juga terungkap menggunakan nomor polisi dinas Kementerian Pertahanan palsu dengan nomor 5727-00. Polisi juga menemukan pelanggaran berupa menggunakan nomor dinas kepolisian palsu, menggunakan strobo, dan mengaku sebagai anggota keluarga besar Polri.
”Pengemudi Fortuner (tersangka) ini mengancam pengendara. Setelah mendapatkan informasi, Senin (16/10/2023), kami bergerak cepat mencari pelaku koboi jalanan yang meresahkan masyarakat itu,” kata Samian, Jumat.
Sebelumnya, arogansi Michael di jalanan ini dilaporkan oleh korban kepada polisi. Pada Minggu (15/10/2023) sekitar pukul 22.30, Michael melintasi Jalan Bandengan, Pluit, Jakarta Utara. Ia disalip oleh mobil lain.
Merasa tak terima disalip karena membahayakan dirinya dan berisiko membuat mobilnya lecet, Michael pun mengejar mobil korban hingga ke wilayah Jembatan Tiga, Jakarta Barat.
Michael mencegat dan mengancam korban. Ancaman itu seperti bentakan dengan kata-kata kotor serta memukul kaca spion mobil korban.
Korban merasa terintimidasi dan ketakutan karena pelaku mengaku anggota kepolisian dengan dilengkapi mobil dinas. Korban lalu memberanikan diri untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya. Ia merasa tidak bersalah dan pelaku telah bertindak sangat arogan.
Namun, sikap arogan itu luruh sama sekali ketika tim Jatanras menghadirkan pelaku ke depan awak media, Michael hanya tertunduk malu. Ia tak menjawab pertanyaan awak media. ”Si koboi jalanan” tak berkutik.
Berdasarkan pemeriksaan, kata Samian, pelaku menggunakan nomor polisi dinas Kemenhan karena ingin merasa aman di jalan. Michael baru saja membeli mobil, tetapi nomor polisinya belum keluar.
Oleh karena itu, ia memesan nomor polisi dinas Kemenhan di pasar daring seharga Rp 500.000 agar bisa segera menggunakan mobil barunya. Michael juga memasang strobo dan walkie-talkie di mobilnya agar bisa mengatur arus kendaraan.
”Pelaku wiraswasta, bukan dari dinas mana pun, bukan pula dari anggota Korps Bhayangkara. Dia bertindak seolah-olah anggota,” lanjutnya.
Peringatan bagi penjual dan warga yang menggunakan nopol palsu. Ini pelanggaran dan mengarah ke tindak pidana. Kami akan tegas.
Akibat perbuatannya, Michael dikenai Pasal 335 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman 1 tahun penjara.
Samian menambahkan, pihaknya akan melanjutkan penyelidikan, terutama terkait jual beli nomor polisi palsu di pasar daring. Menurut dia, penjualan nomor polisi (nopol) palsu bisa dikenai tindak pidana.
”Peringatan bagi penjual dan warga yang menggunakan nopol palsu. Ini pelanggaran dan mengarah ke tindak pidana. Kami akan tegas,” ujarnya.
Ia menghimbau masyarakat untuk tidak takut melaporkan kejadian di jalan raya jika ada pengendara yang nakal atau bertindak arogan dan di luar batas kewajaran.
Arogansi berulang
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, arogansi berulang di jalan raya yang kerap dilakukan pengemudi mobil terjadi karena struktur sosial dan ekonomi di perkotaan yang kapitalis atau bias kelas. Jalanan di kota besar kerap dirasa jadi milik sekelompok orang, terutama mereka yang bermodal dan punya kuasa.
”Fenomena ini bukan semata-mata karena faktor personal. Mereka yang arogan di jalan raya diuntungkan dengan ruang-ruang sosial yang memang mendukung,” kata Rakhmat.
Arogansi di jalan raya masih bakal berulang karena konteks perkotaan di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia masih dalam hegemoni kelas-kelas sosial tertentu. Upaya mengikis arogansi di jalan raya dengan menumbuhkan kesetaraan hanya bakal berhasil jika pembangunan sarana transportasi berorientasi pada transportasi publik.
”Di kota-kota Eropa, ruang sosial mereka lebih setara karena transportasi publik mendukung. Kita baru saja memulai arus utama baru dalam transportasi publik. Tetapi, paradigma itu, ruang sosial yang kapitalis, sudah telanjur melekat,” tuturnya.