Tambora dan Urgensi Menata Batas Ruang Privat dan Publik di Kampung Kota
Hilangnya batas antara ruang publik dan privat di pemukiman padat menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi kelompok rentan, seperti anak dan perempuan. Membangun permukiman dan hunian yang layak sangat diperlukan.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
Permukiman padat penduduk ataupun kampung kota kerap menjadi tempat munculnya tindakan kriminalitas. Bukan sekadar soal nilai dan moral, hilangnya batasan antara ruang privat dan publik di kawasan akibat sempitnya lahan ditengarai membentuk celah untuk tindak kejahatan mudah ditemui di sana. Kualitas hunian yang terus menurun pun turut memengaruhinya.
Di tengah padatnya kawasan Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat, DJ (55) memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan tindakan bejat pemerkosaan kepada seorang anak berusia 13 tahun yang merupakan tetangga kontrakannya sendiri. Pelaku dan korban tinggal di lantai yang sama di sebuah kontrakan empat tingkat di RT 003 RW 010 Tanah Sereal, Jakarta Barat.
Perbuatan ini sudah dilakukan berkali-kali oleh DJ alias Njo sejak Februari 2023. DJ memanfaatkan kontrakan yang sepi pada siang hari, khususnya saat ayah korban pergi bekerja dan biasanya baru kembali pada sore atau malam hari. Posisi kamar DJ dan korban yang bersebelahan membuat pengawas kontrakan, Susilowati (49), tidak mengawasi dengan ketat apa yang terjadi di lantai dua tempat keduanya tinggal.
Kondisi kawasan RW 010 yang cukup padat membuat tindakan jahat bisa mudah datang. Ratusan bangunan kontrakan bertingkat tiga hingga empat berjejal tanpa jarak. Gang yang ada di permukiman juga sempit, hanya memiliki lebar lebih kurang 1 meter. Hal ini membuat sirkulasi udara di unit kontrakan, khususnya di lantai dua ke atas, menjadi kurang baik karena terhalang bangunan tinggi lainnya.
Alhasil, dalam beraktivitas sehari-hari, penghuni kontrakan kerap membuka pintu, baik siang maupun malam hari. Dengan rata-rata ukuran kontrakan sekitar 2 meter x 3 meter saja, membuka pintu menjadi siasat untuk mendapatkan udara. Buruknya, kondisi tersebut membuat aktivitas satu penghuni dan penghuni lain mudah terlihat sehingga berpotensi memicu kriminalitas. Hal inilah yang menjadi sumber ancaman, khususnya bagi kelompok rentan, seperti anak dan perempuan
”Kontrakan ini biasanya dihuni keluarga, ada tiga orang yang tinggal, dua saja sudah sesak. Makanya, memang sering membuka pintu kalau siang supaya gak panas, malam juga begitu, supaya gak engap. Kalau lalu lalang bisa kelihatan di dalam sedang apa,” kata Susilowati.
DJ kini telah ditahan oleh Kepolisian Sektor Tambora. Pria yang bekerja sebagai juru parkir itu kini terancam pidana 15 tahun penjara.
Ketua RT 003 RW 010 Tanah Sereal Indah Sri Mulyani mengatakan, hunian di kawasan tersebut memang didominasi oleh kontrakan ketimbang tempat tinggal pribadi. Terdapat ratusan pengontrak yang ada di sana, berbanding jauh dengan sekitar 30 keluarga yang tercatat sebagai penduduk asli setempat.
Sirkulasi udara di kontrakan buruk, jadi pengontrak buka pintu kalau siang atau malam hari. Aktivitas orang di dalam jadi mudah kelihatan dan orang-orang tahu.
Mayoritas warganya bekerja sebagai buruh harian, yang mulai bekerja pada pagi hari dan baru kembali pada malam hari. Anak-anak yang ditinggal orangtuanya bekerja pun banyak menghabiskan waktu di rumah, tetapi tidak sedikit yang bermain di gang sempit itu.
Meski kerap sepi di siang hari, sebetulnya masih banyak ibu-ibu yang sering nongkrong di depan gang-gang sempit di kawasan tersebut. Ia mengaku sulit mengawasi seluruh aktivitas di permukiman padat seperti Tambora karena banyaknya orang yang keluar dan masuk.
”Tantangannya, orang-orang yang mengontrak menjadi tidak terdata dengan baik oleh kami,” ucapnya.
Tidak sulit menemukan lanskap permukiman padat penduduk di Jakarta, khususnya di kawasan Tambora. Di kawasan Tanah Sereal, setidaknya ada RW 009 dan RW 010 yang daerahnya berada di kawasan sempit dengan jarak bangunan yang sangat tipis, bahkan tidak ada sama sekali.
Pengajar Tata Kota di Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, Joko Adianto, menuturkan, padatnya kawasan permukiman seperti di Tambora membuat batas antara ruang privat dan ruang publik menjadi hilang. Hal ini mendorong tindakan kriminal menjadi semakin agresif. Masyarakat yang ada di kawasan ini tidak lagi memegang kontrol atas privasi mereka sendiri.
Untuk menyelesaikan masalah itu diperlukan dua hal. Pertama, perubahan mendasar dalam lanskap kampung kota. Bangunan yang berimpitan perlu penataan agar tidak ada lagi warga yang harus membuka jendela ataupun pintunya secara lebar demi mendapatkan sedikit udara.
Keterbatasan lahan memang membuat penataan kerap sulit dilakukan. Meski demikian, penataan dapat menggunakan pendekatan lain, yakni konsolidasi lahan vertikal. Melalui konsolidasi lahan, penggunaan ruang di sebuah permukiman penduduk menjadi lebih efektif. Melalui cara ini, lahan rumah milik warga akan menjadi satu kepemilikan yang terkonsolidasi, lalu diubah menjadi bangunan vertikal.
Sisa lahan pun dapat dimanfaatkan untuk membangun ruang bermain atau ruang pemanfaatan yang disesuaikan dengan kebutuhan warga. Mengubah lanskap kampung kota menjadi lebih layak huni praktis membantu kawasan tersebut juga layak bagi semua golongan, utamanya perempuan dan anak.
Mengatasi hal tersebut, warga dan pemerintah perlu membentuk sistem pengawasan berbasis komunitas sebagai langkah antisipasi. Pengawasan ini bisa dilakukan oleh kelompok yang memang beraktivitas rutin di dalam area pemukiman, seperti penduduk senior ataupun kaum ibu. Pengawasan dapat berbentuk semacam paguyuban yang diberi wewenang mengawasi dan mengelola kawasan.
”Ruang interaksi sosial sulit dibangun karena keterbatasan lahan. Maka itu, perlu ada pendekatan yang reformis untuk mengubah wajah kampung kota,” ujarnya.