Aksi Bejat Pemerkosa Manfaatkan Sepi di Tengah Kepadatan Tambora
Predator DJ memanfaatkan situasi permukiman yang sejatinya padat, tetapi kerap sepi di siang hari, untuk memerkosa anak di bawah umur di Tambora, Jakarta Barat. Sistem pengawasan komunal diperlukan agar anak terlindungi.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
Polisi menangkap DJ, seorang pria juru parkir liar karena memerkosa anak perempuan di bawah umur di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Pelaku memanfaatkan kawasan permukiman padat penduduk yang sepi di siang hari untuk melancarkan aksi bejatnya.
Pengawasan partisipatif warga di lingkungan perumahan dibutuhkan untuk mengantisipasi tindakan jahat, termasuk kekerasan seksual pada anak, terus muncul.
Warga RT 003 RW 010 Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat, Sulistiowati (49), menjelaskan, pada Jumat (15/9/2023), ia yang tinggal di unit kontrakan yang sama dengan tersangka mendapat informasi ada dugaan pelecehan yang dilakukan DJ (55) terhadap korban, remaja yang masih berumur 13 tahun. Informasi didapat dari salah satu penghuni kontrakan lain. Setelahnya, Sulistiowati berniat untuk mendatangi DJ untuk dimintai keterangannya.
Akan tetapi, saat hendak dihampiri, DJ sudah tidak ada di kamarnya. Adapun Sulistiowati tinggal di lantai satu kontrakan, sementara DJ dan korban tinggal di lantai dua. Di lantai tersebut, kamar pelaku dan korban bersebelahan.
Saat kejadian, korban hanya bersama saudarinya yang masih kecil. Dalam kesehariannya, korban dan adiknya hanya berada di kamar kontrakan sembari menunggu sang ayah, yang bekerja sebagai sopir, kembali di waktu yang tidak menentu. Sang ibu tidak lagi tinggal bersama korban dan ayahnya. Dari pemberitaan sebelumnya, ibu korban disebut bekerja di Bogor, Jawa Barat.
Sulis menerangkan, saat hari kerja di siang hari, kondisi kontrakan dan rumah di sekitar kawasan memang hampir selalu sepi. Hal itu karena para penyewa kontrakan mayoritas bekerja mulai pagi pukul 07.00 WIB, lalu baru kembali pada sore ataupun malam hari. Kondisi ini menyebabkan anak-anak di kawasan tersebut kerap ditinggal orangtuanya untuk bekerja sehingga minim pengawasan. Para penghuni kontrakan tersebut pun tidak menyangka setelah mengetahui kejadian pemerkosaan sudah dilakukan berkali-kali oleh DJ.
”Di hari Jumat itu salah satu penyewa memergoki DJ sedang mengelus tubuh korban, langsung dibentak dan lapor ke saya dan orangtuanya. Saat mau didatangi lagi ke kamarnya sudah tidak ada. Pada Sabtu (16/9/2023), pelaku kembali, saya dan warga sudah menunggu dan menahan dia di pos RW 010 sampai akhirnya polisi datang menjemput,” ucapnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Warga menjadi tidak punya kontrol terhadap ’ruang’ sehingga secara agresif orang-orang lain bisa melakukan apa saja di sana.
Kepala Kepolisian Sektor Tambora Komisaris Putra Pratama menjelaskan, tindakan bengis DJ sudah dilakukan berkali-kali sejak Februari 2023. Kasus ini terungkap saat tetangga lainnya melihat pelaku sedang melecehkan korban. Korban pun melaporkan peristiwa tersebut kepada orangtua korban.
Pemerkosaan oleh DJ terhadap korban disebut sudah berkali-kali dilakukan pada pukul 13.00-14.00. DJ mengincar korban saat kondisi kontrakan sedang sepi karena rata-rata penghuni tengah bekerja. Akibat perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 81 junto Pasal 76D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17/2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun penjara.
”Pelaku memberi uang dengan jumlah antara Rp 10.000-Rp 50.000 agar korban mau dan tidak melapor kepada orangtuanya,” ujarnya.
Anak dan perempuan rentan
Pengajar tata kota di Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, Joko Adianto, menjelaskan, kondisi kawasan yang padat penduduk, seperti Tambora, Jakarta Barat, rentan memunculkan tindakan kriminal sehingga sangat berbahaya bagi kelompok perempuan dan anak. Hal ini terjadi karena kepadatan membuat batas antara ruang privat dan ruang publik menjadi kabur. Hilangnya batasan itu membuat niat-niat jahat secara pribadi dapat mudah muncul dan terjadi.
Kualitas hidup yang rendah di kawasan padat penduduk tersebut juga bisa memicu tindakan kriminal. Kondisi kemiskinan membuat warga di sana harus bekerja lebih keras lagi. Bagi mereka yang telah berkeluarga, pengawasan terhadap anggota keluarga lain pun menjadi sulit dilakukan.
Mengatasi hal tersebut, warga dan pemerintah perlu membentuk sistem pengawasan berbasis komunitas sebagai langkah antisipasi. Pengawasan ini bisa dilakukan oleh kelompok yang memang beraktivitas rutin di dalam area permukiman, seperti penduduk senior ataupun kaum ibu. Sistem ini dapat berbentuk semacam paguyuban yang diberi wewenang mengawasi dan mengelola kawasan.
Tidak hanya mengenai sosial, lanskap rumah dan permukiman juga perlu pembenahan agar kampung kota menjadi kawasan layak dihuni oleh anak-anak. Minimnya ruang interaksi sosial bagi anak untuk beraktivitas membuat mereka banyak menghabiskan waktu di rumah. Akan tetapi, hal ini sulit dilakukan dengan keterbatasan lahan yang ada.
Joko menyarankan agar adanya metode konsolidasi lahan, dengan menggabungkan beberapa lahan rumah menjadi satu bangunan vertikal. Hal ini membuat kampung kota memiliki ruang yang cukup untuk membangun fasilitas yang bisa dimanfaatkan oleh anak-anak, seperti taman ataupun arena bermain.
”Warga menjadi tidak punya kontrol terhadap ’ruang’ sehingga secara agresif orang-orang lain bisa melakukan apa saja di sana. Warga di sana juga terbatas tidak bisa di rumah terus-menerus, harus keluar untuk mencari penghasilan. Pengawasannya perlu partisipatif karena jumlah warga di sana sangat besar sehingga memang harus mengandalkan warga juga,” ucapnya.