40 Keluarga Korban Bencana di Kota Bogor Akan Direlokasi
Upaya mitigasi bencana di Kota Bogor dilakukan dengan memetakan zona hijau, merah, dan hitam. Dari peta zonasi itu kemudian diturunkan dalam implementasi berupa relokasi dan penyediaan sarana dan prasarana.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, akan merelokasi 40 keluarga korban bencana banjir dan longsor ke wilayah aman. Pemerintah masih memiliki tugas untuk terus mengedukasi warga yang masuk peta bencana agar tidak tinggal di zona bahaya bencana.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, keluarga korban banjir dan longsor dari Kelurahan Batutulis, Kelurahan Empang, dan Kelurahan Pamoyanan akan didampingi dan mendapat sosialisasi untuk direlokasi ke RW 003 Kelurahan Pamoyanan. Lokasi relokasi sudah dipetakan sebagai wilayah yang aman dan jauh dari potensi bahaya bencana.
”Pemkot Bogor telah menyediakan lahan seluas 7.000 meter persegi di Kelurahan Pamoyanan sebagai lahan relokasi bagi 40 KK terdampak dan diharapkan warga untuk tidak lagi tinggal di daerah rawan bencana,” ujar Dedie, Selasa (19/9/2023).
Satu area relokasi bisa kita jadikan desa tangguh bencana. Direncanakan pekan depan mulai dikerjakan 40 bangunan siap jadi bagi warga. (Dedie A Rachim)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang ikut memfasilitasi pembangunan rumah di kawasan RW 003 Kelurahan Pamoyanan itu akan dibangun rumah tipe 36 dengan fasilitas air bersih dan listrik. Fasilitas sosial dan umum juga akan dibangun agar warga merasa nyaman serta terbangun interaksi yang hangat.
Walaupun pembangunan sempat tertunda, Dedie menyambut dan mengapresiasi kepada semua pihak sehingga kawasan relokasi bisa terlaksana dan warga bisa tenang tanpa dihantui bencana yang kapan saja bisa datang. Jika kawasan sudah tertata rapi, warga lainnya yang tinggal di zona hitam bisa direlokasi juga.
”Satu area relokasi bisa kita jadikan desa tangguh bencana. Direncanakan pekan depan mulai dikerjakan 40 bangunan siap jadi bagi warga,” kata Dedie.
Dedie berharap, bangunan rumah itu bisa selesai pada akhir tahun dan warga bisa segera menempatinya. Tak hanya itu, setelah pembangunan selesai, warga juga bisa kembali beraktivitas, bangkit, dan menata hidup untuk merajut masa depan.
Agar pembangunan tepat waktu, Dedie menekankan agar perencanaan pembangunan harus matang, komprehensif, dan perlu pengawasan. Selain itu, pekerjaan rumah juga harus segera dikoordinasikan dengan pihak terkait, yaitu membahas tata ruang, akses, sarana prasarana seperti air bersih, PLN, septic tank komunal, dan lainnya.
”Ikhtiar mitigasi bencana sudah dilakukan Pemkot Bogor. Namun, edukasi dan kesadaran terkait potensi bencana atau di zona hitam perlu terus digencarkan agar tidak ada warga yang tinggal atau mendirikan bangunan di zona bahaya bencana,” ujar Dedie.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bogor Theofilio Patrocinio mengatakan, upaya mitigasi bencana di Kota Bogor adalah dengan memetakan zona hijau, merah, dan hitam. Dari peta zonasi itu kemudian diturunkan dalam implementasi berupa relokasi dan penyediaan sarana dan prasaran.
”Ada 1.001 keluarga di zona hitam dan 2.610 di zona merah,” kata Theo.
Salah satu zona hitam bencana itu salah satunya berada di Kampung Sirnasari, Kelurahan Empang, Bogor Selatan. Di daerah itu pada 14 Maret 2023 terjadi peristiwa longsor yang menyebabkan 17 orang tertimbun, 11 di antaranya selamat dan 6 warga lainnya tewas.
Kampung Sirnasari masuk zona hitam karena berada di pinggir Sungai Cisadane dan di tepi tebing yang berbatasan langsung dengan jalur ganda kereta api Bogor-Sukabumi.
Sebelum peristiwa longsor itu terdapat sekitar 100 keluarga yang sudah direlokasi. Namun, masih ada sejumlah warga yang bertahan di zona bahaya bencana hingga menjadi korban pada longsor 14 Maret silam. Setidaknya ada 18 keluarga atau 80 jiwa yang terdampak.
Berdasarkan data BPBD Kota Bogor, BPBD Kota Bogor pada 2022 juga mencatat ada 856 bencana kejadian sehingga mengakibatkan 2.746 orang terdampak, 15 orang meninggal, dan 30 lainnya terluka.
Dari 856 bencana itu tercatat ada 373 kejadian longsor, 373 tanah amblas, 170 pohon tumbang, 164 bangunan ambruk, 53 angin kencang, 31 kebakaran, 32 banjir, dan 33 kejadian lain. Kejadian bencana pada 2022 meningkat dibanding pada 2021, yaitu ada 701 kejadian dengan empat korban jiwa.
Ahli perencanaan wilayah dan kota, Andy Simarmata, menjelaskan, peta risiko bencana tinggi dan sedang bencana perlu disertai sistem mitigasi.
Peta bencana itu bisa menjadi dasar mitigasi untuk perizinan mendirikan bangunan (IMB) atau terkait tata ruang. Hal ini tidak lepas dari bertambahnya jumlah penduduk sehingga kebutuhan ruang tempat tinggal menjadi tinggi. IMB ini hanya salah satu upaya mitigasi yang dalam praktiknya kerap diabaikan.
Suatu daerah yang masuk kategori risiko tinggi bencana bisa saja mendirikan bangunan jika sudah ada penguatan infrastruktur tanah untuk mengurangi risiko dari dampak bencana. Dalam peta bencana di daerah tinggi risiko diatur izin pendirian bangunan. Dari situ seharusnya sudah ada infrastruktur mitigasinya.
Oleh karena itu, menurut Andy, perlu ada audit tata ruang untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran tata ruang atau kesalahan konstruksi karena melanggar aturan bangunan.
Hal itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Nomor 17/2017 tentang Pedoman Audit Tata Ruang. Audit dapat dilakukan untuk memeriksa dan mengevaluasi indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang.
”Peta risiko bencana ini sangat penting bagi warga agar saat meminta izin bangun rumah mereka tahu bahwa kawasan itu rawan atau tidak. Masalahnya ada yang bangun, tapi tidak izin IMB. Bukan berarti melalui pemetaan zonasi tinggi dan sedang tidak bisa dibangun. Bisa saja, tapi ada biaya tambahan. Itu siapa yang mau tanggung? Pemerintah, pengembang, atau warga?” ujarnya. (Kompas.id, 31/3/2023).
Seperti daerah lainnya di Indonesia, di Bogor juga banyak kawasan yang sudah ditempati sejak lama dan secara turun-menurun meski daerah itu terpetakan sebagai kawasan rawan bencana. Dari pemetaan, banyak kejadian longsor dan tanah bergerak di Bogor karena topografi dan geografinya yang berbukit ditambah curah hujan yang tinggi.
Dari berbagai faktor itu setidaknya ada tiga opsi penguatan mitigasi. Pertama, relokasi warga ke lingkungan aman. Kedua, pembangunan berkelanjutan atau solusi berbasis alam di kawasan risiko bencana yang telah menjadi permukiman. Pada opsi ini, pemerintah wajib memasang alat seismometer untuk mengukur pergerakan tanah sehingga bisa meminimalkan terjadinya korban.