Jatuh Bangun Pasar Tanah Abang
Badai silih berganti menerpa Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat. Goyah sudah pasti, tetapi pusat grosir tekstil itu tak tumbang.
Selasa (12/9/2023) siang, Blok A dan Blok B Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat ramai meskipun tak sampai penuh sesak. Suara pedagang lantang menawarkan dagangan setiap ada orang yang melewati kios.
Sejauh mata memandang tak banyak karung besar berisi dagangan untuk grosir. Justru nyaris di setiap deretan kios ada saja beberapa yang tutup. Pada pintu tertutup itu ditempeli secarik kertas bertuliskan ”disewakan, hubungi jika berminat”.
Situasi pasar pun menarik mundur ingatan sejumlah pedagang ke masa penuh sesaknya Pasar Tanah Abang. Masa di mana kantong mereka begitu mudah terisi pundi-pundi rupiah.
Lastri Utami (44), pedagang pakaian di Blok B, menanti satu dua pengunjung sejak kiosnya buka pukul 08.00. Turunnya jumlah pengunjung yang mampir ke kiosnya kian intens sejak awal 2020 atau masa pandemi Covid-19. Sudah tentu omzetnya terkikis dari hari ke hari.
Baca juga : Satu Dekade Surutnya Blok G Pasar Tanah Abang
Tiga tahun lalu, Lastri bisa mengantongi omzet puluhan juta per bulan. Sekarang keadaannya terbalik. Untuk mendapatkan Rp 5 juta per bulan sudah sangat sulit baginya.
”Sekarang saya fokus menjual pakaian yang tersisa saja. Saya sudah tidak punya cukup uang untuk modal. Belum lagi untuk bayar biaya sewa ruko,” kata Lastri.
Harga pakaian dagangannya mulai Rp 50.000 hingga Rp 150.000. Dari sepotong baju yang terjual, labanya Rp 8.000 sampai Rp 15.000. Akan tetapi, beberapa bulan belakangan, rata-rata hanya ada satu hingga tiga pembeli setiap hari. Tak jarang pula nihil pembeli.
Alhasil besar pasak daripada tiang karena modal besar, tetapi penjualan kecil. Harapannya hanya satu, pemerintah memperhatikan nasib para pedagang, terutama para pelaku UMKM.
Rusmiadi (50), pedagang hijab di Blok A, juga berkeluh kesah tentang hal serupa. Saat ini lebih dominan pembeli eceran ketimbang kodi (1 kodi berisi 20 helai pakaian). Harga eceran hijab mulai Rp 18.000 sampai Rp 25.000, sedangkan per kodi hijab dijual Rp 290.000 sampai Rp 400.000.
”Penjualan turun 60 persen. Hanya 3-4 kodi laku per bulan, sisanya ecer. Dulu pembeli banyak dari Kalimantan, Sulawesi, Aceh. Sekarang hanya sisa satu dari Aceh meskipun belinya tidak banyak,” kata Rusmiadi.
Dia menerka kehadiran platform belanja daring, seperti Shopee dan Tiktok Shop sebagai salah satu penyebab sepinya pembeli di kios. Sayang, tenaganya tidak cukup untuk membuka toko daring karena tidak ada lagi yang bisa membantu selain istri dan anaknya.
Baca juga: Menanti Revitalisasi Blok G Pasar Tanah Abang
Terlepas dari situasi tersebut, napasnya sedikit plong karena Perumda Pasar Jaya sebagai pengelola pasar menurunkan harga sewa kios dari Rp 220 juta menjadi Rp 130 juta per tahun. Ditambah anaknya sudah menyelesaikan pendidikan saat pendapatan tidak sebanyak dulu.
Pemandangan sedikit berbeda di Pusat Grosir Metro Tanah Abang. Banyak karung besar berjejer di depan kios. Beberapa di antaranya pesanan pelanggan yang siap untuk dijemput.
Akmal (39), salah satu pedagang, bolak balik memastikan pesanan beberapa pelanggan (reseller) yang setiap bulan datang ke kios untuk menjemput pakaian dalam jumlah banyak. Dalam setiap jemputan, pelanggan mengambil 2 hingga 3 kodi pakaian.
Akmal terbantu adanya pelanggan tetap. Sebab, usahanya menarik pengunjung yang lalu lalang tak banyak membuahkan hasil maupun berujung membeli. ”Kalau dibandingkan beberapa tahun lalu, tetap saja penjualan saya berkurang. Hampir 30 persen,” ujar Akmal.
Pembatasan kegiatan selama pandemi Covid-19 dan imbauan di rumah saja, menurut dia, telah mengubah perilaku masyarakat. Dari semula berbelanja ke kios menjadi berbelanja secara daring dengan tawaran harga yang jauh lebih murah dari harga pasaran.
Akmal berharap pemerintah dapat membatasi penjualan di lokapasar agar tidak menjatuhkan harga pasar.
Jika harganya lebih murah di loka pasar, saya memilih beli di sana. Apalagi kalau tidak bisa menawar di pasar, pasti dikasih harga yang lebih mahal.
Salah satu pembeli, Arina (35), mengamini keluh kesah pedagang. Harga pakaian atau produk lain di Pasar Tanah Abang lebih mahal dibandingkan lokapasar. Tak pelak, dia dan pembeli lain selalu membandingkan harga daring dan luring untuk menekan pengeluaran.
”Yang pertama harus tahu mereknya dulu. Jika harganya lebih murah di lokapasar, saya memilih beli di sana. Apalagi kalau tidak bisa menawar di pasar, pasti dikasih harga yang lebih mahal,” ucap Arina.
Naik turun
Pasar Tanah Abang tumbuh dari surat izin pendirian pasar yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Belanda (saat itu) Abraham Patras pada 30 Agustus 1735. Surat itu untuk menjawab permohonan Justinus Vinck, saudagar dari Belanda (Kompas, 9 November 2006).
Seiring waktu, pasar menjadi pusat perdagangan tekstil dan garmen di Asia Tenggara yang beromzet triliunan rupiah per tahun. Pada dekade 1960-an, pasar masih amat sederhana dengan dua los, genteng, dan beton. Kini pasar terdiri dari Blok A, Blok B, Blok C, Blok F, Blok G, Pusat Grosir Central Tanah Abang, dan Pusat Grosir Metro Tanah Abang.
Krisis ekonomi tahun 1997 menjadi berkah karena membuat lebih banyak orang asing, terutama dari Timur Tengah dan Afrika, berdatangan ke pasar dan memancing berbagai pihak untuk berinvestasi atau mengembangkan kawasan itu.
Bergeser ke tahun 2000-an, api mengamuk sehingga lebih dari 5.000 pedagang di pusat grosir tekstil terbesar Asia Tenggara itu kehilangan tempat usahanya. Sedikitnya tercatat 1,3 juta orang kehilangan pekerjaan sebagai dampak langsung dari musibah kebakaran. Mereka, antara lain, pedagang, buruh pikul, karyawan toko, penjahit pada perusahaan konfeksi, serta perusahaan angkut barang bersama karyawannya (Kompas, 20 Februari 2003).
Kerusuhan menolak hasil Pemilu 2019 pada 21-22 Mei turut melumpuhkan aktivitas di Pasar Tanah Abang. Akibatnya, sebanyak 14.000 pedagang tidak berjualan sehingga Perumda Pasar Jaya memperkirakan kerugian Rp 400 miliar.
Baca juga: Ribuan Unit Kosong, Program Rumah Susun di Jakarta Dinilai Tidak Tepat Sasaran
Sama halnya ketika pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DKI Jakarta mencatat penurunan nilai perdagangan mencapai 50 persen dari 12.970 kios di Pasar Tanah Abang yang meliputi Blok A, Blok B, Blok C, Blok E, Blok F, dan Blok G, serta Pusat Grosir Metro Tanah Abang dan Thamrin City (Kompas, 8 Maret 2021).
Padahal, Asosiasi Pertekstilan Indonesia mencatat sebanyak 40 persen total produksi tekstil nasional dipasarkan di Pasar Tanah Abang dengan nilai perdagangan mencapai 3,04 miliar dollar AS atau sekitar Rp 30 triliun per tahun dalam situasi normal.
Manajer Hubungan Masyarakat Perumda Pasar Jaya Agus Lamun mengatakan, tantangan yang dihadapi adalah mempertahankan keberadaan pasar, termasuk Tanah Abang pascapandemi Covid-19 dan persaingan usaha dengan loka pasar.
Saat ini, terjadi penurunan penjualan 20 persen dan kios ditutup karena pemiliknya beralih ke loka pasar ataupun membuka usaha lain. Sementara jumlah rata-rata pengunjung ke pasar masih cukup tinggi di kisaran 14.000 sampai 15.000 orang per hari.
Selain revitalisasi Blok F dan Blok G serta menambah fasilitas umum untuk olahraga atau tempat parkir, manajemen menggandeng perbankan untuk mempermudah modal bagi pedagang. Manajemen juga akan mengadakan kegiatan yang menarik pedagang dan pelanggan dengan tawaran menarik serta hadiah. Kegiatan yang dimaksud akan diadakan dalam waktu dekat di Blok B Pasar Tanah Abang.
”Ini upaya mengembalikan Tanah Abang jadi pusat grosir tekstil. Dulu dikatakan terbesar se-Asia Tenggara, maka harus bisa bertahan di tengah persaingan,” kata Agus ketika dijumpai di kantor Perumda Pasar Jaya.
Tantangan
Pemerintah, pengelola pasar, dan pedagang semestinya bahu-membahu dalam menghadapi tantangan zaman terhadap Pasar Tanah Abang.
Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Reynaldi Sarijowan mengatakan, Pasar Tanah Abang masih bertahan di tengah lesunya daya beli masyarakat, dampak perekonomian global, dan gempuran loka pasar. Artinya, pusat grosir tekstil tersebut masih jadi rujukan atau incaran pelanggan dari dalam negeri dan luar negeri, terutama Asia Tenggara.
”Kami belum hitung betul secara keseluruhan dampak ekonomi sepinya pembeli. Tapi pedagang bisa optimalkan luring dan daring untuk pertahankan pelanggan,” ucap Reynaldi.
Soal revitalisasi pasar juga berpengaruh. Orang melihat ada mal atau pusat perbelanjaan dengan konsep baru. Mereka akan geser ke sana. Jadi, pasar harus menyesuaikan zaman.
Hal senada disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara. Banyak situasi yang memengaruhi Pasar Tanah Abang, mulai dari kenaikan impor pakaian jadi, banyak produsen pakaian menjual langsung ke pelanggan lewat loka pasar, daya beli pakaian kelas menengah ke bawah yang turun, hingga masyarakat masih fokus untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan terjangkaunya pakaian bekas ketimbang baru.
”Soal revitalisasi pasar juga berpengaruh. Orang melihat ada mal atau pusat perbelanjaan dengan konsep baru. Mereka akan geser ke sana. Jadi, pasar harus menyesuaikan zaman,” kata Bhima.
Pasar Tanah Abang dalam pusaran zaman. Tumbuh sebagai salah satu tempat ribuan orang menggantungkan hidup dan menolak kalah dari hantaman badai.