”Gaskeun” Ambil dan Pilah Sampah untuk Jaga Lingkungan
Sejumlah pemuda di Kelurahan Rangga Mekar membuat gerakan kolektif untuk mengatasi persoalan sampah.
Permasalahan sampah di lingkungan dan kurangnya kepedulian untuk memilah sampah rumah tangga mendorong sejumlah pemuda dan warga di Kelurahan Rangga Mekar, Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat, membuat gerakan nyata. Secara kolektif, mereka mengedukasi warga hingga melakukan aksi nyata mengatasi permasalahan sampah.
Revi Thazali Ridwan (28) dan Ridwan Muhlis (21) berkeliling di sejumlah perumahan dan sekolah yang memiliki pusat olah sampah pisah, ambil, nabung, daur ulang, alat dan inovasi (pos pandai) di Kelurahan Rangga Mekar, Kamis (31/8/2023) pagi. Pos pandai merupakan sebuah tempat pembuangan sampah mandiri untuk warga membuang sampah organik dan anorganik.
Baca juga: TPA Piyungan Buka Terbatas, Tampung Sampah 100 Ton Per Hari dari Kota Yogyakarta
Dua pemuda ini hampir setiap hari menghabiskan 6-7 jam sehari untuk mengangkut sampah yang sudah terpilah. Sampah-sampah itu lalu ditimbang dan dicatat. Mereka juga bersosialisasi dengan warga untuk memberi pesan agar tetap taat memilah sampah dengan baik.
Seperti di SMP PGRI 11 Rangga Mekar, mereka akrab dengan para murid dan guru. ”Buang sampah pada temannya, ya. Eh, buang teman pada tempatnya,” kata Muhlis yang akrab dipanggil Jack itu dengan suara kecil kepada salah satu murid yang baru saja menghabiskan minuman teh di gelas plastik. Lelucon itu disambut tawa.
Kerap nongkrong di Bank Sampah Rangga Mekar membuatnya banyak belajar dan ikut terdorong ingin berbuat aksi nyata. Tak hanya itu saja, pria bertato dan bertindik itu juga belajar relasi sosial dan lingkungan yang jika dijaga akan balik menjaga dan melindungi.
”Semua siapa saja diterima di sini. Ya, perlu ada anak muda yang bergerak. Anak muda yang harus jaga, jadi penggerak untuk contoh baik. Bisa produktif dengan kegiatan positif,” ujar Jack.
Di sela kesibukan memasukkan sampah ke dalam karung dan menimbang sampah, di dalam kelas terdengar suara Salfi Haikal, guru mata pelajaran IPA, sedang menjelaskan jenis-jenis sampah hingga akibat jika sampah tak diurus maka akan merugikan manusia dan alam. Dalam setiap kesempatan, entah di dalam kelas atau di luar pelajaran, Salfi dan guru lainnya kerap menyisipkan pesan-pesan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan harus memilah sampah dengan baik.
Menurut Salfi, keberadaan pos pandai di sekolahnya sangat penting untuk mendidik para murid dan membiasakan sejak dini untuk terus ditanamkan memilah sampah sebagai andil kebaikan dalam merawat bumi. Perilaku itu tidak hanya di sekolah, tetapi juga bisa tertular di lingkungan keluarga mereka. Bahkan, Salfi meminta para pelajar membawa sampah yang sudah terpilah dari rumah ke sekolah seminggu sekali.
Kebiasaan baik itu juga perlahan mulai terbentuk di lingkungan perumahan D’Gading Hill di RW 003 Rangga Mekar. Perumahan itu memiliki tiga pos pandai, salah satunya hasil swadaya warga. Di perumahan itu setidaknya ada 50 keluarga yang sudah mandiri memilah sampah dari rumah sebelum dimasukkan ke dalam pos pandai.
Risna Rita Arlianti (41), salah satu warga, menyatakan, sejak adanya pos pandai pada September 2021, warga tak pusing lagi dengan masalah sampah rumah tangga.
”Tadinya mau sistem mengambil sampah di setiap rumah tetapi tidak efektif. Sekarang efektif dengan adanya pos pandai. Warga mulai bergerak dan paham memilah sampah dari rumah. Tapi, dulu meski paham tapi tidak mau memilah. Jadi prosesnya cukup panjang dari sebelum mendirikan pos pandai, ada sosialisasi dan edukasi sehingga paham dan bergerak,” ujarnya.
Keresahan masalah sampah juga dirasakan Parwito, Ketua RT 004 di RW 003 Sirnagalih, Rangga Mekar. Warganya sejak bertahun-tahun selalu dihadapkan pada sulitnya membuang sampah rumah tangga.
Meski warga sudah membayar Rp 60.000 per bulan kepada petugas pengangkut sampah, ternyata itu belum menyelesaikan masalah. Sampah itu seharusnya diangkut dua minggu sekali, tetapi praktiknya petugas sering datang seminggu sekali. Hasilnya sampah menumpuk dan bau.
Solusi
Parwito bersama warga berusaha mencari solusi. Dari pemerintah mengusulkan agar mereka menyediakan sebuah lahan untuk tempat penampungan.
Keterbatasan luas tanah dan warga yang tak ingin menghibahkan lahannya membuat usulan itu ditolak. Selain itu, keberadaan tempat penampungan sampah dikhawatirkan akan menimbulkan bau tak sedap dari tumpukan sampah itu.
Sampai akhirnya, Parwito ikut program basis hari dari Bank Sampah Rangga Mekar karena sudah memiliki TPS3R (tempat pengelolaan sampah, reduce-reuse-recycle). Warga yang ingin bergabung dengan program itu dan sampahnya diangkut setiap hari harus berkomitmen memilah sampah organik dan anorganik. Jika tidak, sampah tidak akan diangkut oleh pengurus.
Setelah mendapatkan sosialisasi dan edukasi, akhirnya pada 7 Agustus kemarin 35 keluarga ikut program tersebut dengan membayar iuran Rp 25.000 per bulan. Sejak itu pula Parwito yang juga menjadi penggerak di wilayahnya selalu mencatat dan melaporkan sampah yang sudah terkumpul dan diangkut oleh pengurus.
Dari catatannya, per minggu ada sekitar 200 kilogram sampah rumah terpilah terkumpul. Pada 7-31 Agustus 2023 total ada 792 kg sampah. Parwito tak bisa membayangkan jika sampah sebanyak itu tidak terurus dengan baik, pasti akan berdampak pada warga dan lingkungan.
”Dalam sebulan ini tetap ada pengawasan dan edukasi karena masih ada warga yang tidak memilah sampahnya. Minggu pertama memang belum terbiasa, tetapi masuk minggu selanjutnya mulai terbiasa. Memang harus disiplin. Ya, kami senang dengan cara ini. Sementara ini dua jenis sampah dulu. Kami juga diajak ke bank sampah dan TPS3R untuk melihat prosesnya sampai pengelolaan,” kata Parwito.
Dalam sehari Revi, Jack, dan pengurus bank sampah rata-rata bisa mengangkut 300-800 kg sampah rumah tangga yang telah terpilah. Sampah-sampah itu lalu dibawa ke Bank Sampah Rangga Mekar dan ke TPS3R untuk diolah kembali menjadi pupuk, media tanam, dan ada pula sampah yang masih memiliki nilai ekonomi bisa dijual kembali Ada juga sampah yang dibakar di atas 600-800 derajat di tungku bakar atau mini incinerator.
Pembakaran suhu tinggi itu perlu dijaga tingkat kepanasannya agar tidak menimbulkan asap. Dari cerobong asap tidak tampak ada asap putih atau hitam yang ditimbulkan. Dalam sehari petugas di TPS3R bisa membakar sampah sekitar 600 kg.
Pengelolaan hingga pemilahan sampah di Rangga Mekar seperti saat ini tidak mudah dan butuh waktu panjang. Penggagas Bank Sampah Rangga Mekar, Sandi Adam, menjelaskan, gerakan awal untuk mengubah kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan, serta selanjutnya memilah sampah, dimulai sejak 2012.
Gerakan itu muncul karena Sandi melihat banyak permasalahan sampah yang berdampak pada warga, termasuk dirinya. Dulu di Rangga Mekar merupakan wilayah tempat pembuang sampah (TPS). Lalu TPS itu ditutup sekitar dekade 1980.
Sandi dan sejumlah warga mulai bergerak dengan menanam pohon di lahan seluas 3,3 hektar itu pada 2012 agar warga tidak lagi membuang sampah sembarang. Namun, masih ada warga yang tetap membuang sampah di lahan itu.
Masalah lainnya, sampah yang tidak terkelola dengan baik dan perilaku membuang sampah sembarang ternyata berdampak pada pencemaran air di Rangga Mekar.
”Sumber mata air rusak. Tak hanya itu, ada kasus lainnya. Ada seseorang yang ditugasi dan diupah untuk memungut sampah rumah tangga ternyata bermasalah. Orang itu justru menumpuk sampah anorganik di rumahnya sehingga satu keluarga harus keluar dari situ. Akhirnya kami tangani dan sekarang sudah bersih rumah itu,” kata Sandi.
Dari berbagai masalah itu, Sandi dan beberapa warga berpikir perlu ada upaya aksi agar sampah tidak semakin berdampak buruk, yaitu dengan mendirikan Bank Sampah Rangga Mekar di lahan fasilitas umum pada 22 Febuari 2015. Di lahan itu kebetulan ada dua rumah tua yang disulap sebagai rumah bank sampah.
”Kami swadaya membersihkan rumah itu. Ada bantuan juga dari hamba Allah. Terbentuklah Bank Sampah Rangga Mekar. Kami tidak punya keahlian di bidang pengelolaan sampah. Tidak. Kami hanya peduli dan tidak mau lingkungan kami rusak,” katanya.
Menurut Sandi, hingga saat ini gerakan kolektif hingga edukasi sejak dini dengan berbagai macam cara harus terus diperjuangkan.
”Dari dulu kita selalu didoktrin buang sampah. Kata buang ini bermasalah, harus diganti dengan simpan dan pilih. Kalau buang, ya, buang di mana saja. Pokoknya buang sampah dan selesai tidak ada sampah di rumah. Dari satu kata ini dampaknya besar lho,” ujar Sandi.
Sementara itu, Muhamad Zulton Abdul Aziz, Ketua Yayasan Bumi Selaras sekaligus Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Rangga Mekar Bank Sampah Rangga Mekar, mengatakan, saat ini mereka melayani sekitar 300 rumah. Namun, dari 300 rumah itu yang konsisten mau memilah sampah ada sekitar 100 rumah.
Menurut dia, warga yang ingin bergabung sangat banyak tetapi untuk ke arah gerakan memilah sampah perlu konsisten sehingga perlu edukasi terus-menerus oleh pengurus dan warga yang sudah paham dan konsisten menerapkan sistem pilah sampah.
”Masih ada warga yang berpikir mereka telah membayar Rp 15.000 sampai Rp 25.000 per bulan sehingga tak perlu repot memilah. Itu menjadi tantangan untuk mengubah paradigma dan kebiasaan warga untuk memilah sampah. Semakin banyak sampah terpilah, semakin banyak sampah yang mudah dikelola, semakin banyak sampah tercampur itu akan menjadi masalah,” ujar Zulton.
Baca juga: Sampah dan Limbah Akan Menjadi Sahabat di Masa Depan
Warga yang merasa repot itu, kata Zulton, salah satunya karena masih belum paham proses pemilahan awal sampah. ”Mereka menumpuk sampah lalu dipisahkan sehingga mereka menganggap menambah pekerjaan. Pemilahan sampah dari awal itu dengan menyediakan dua atau tiga wadah dan disimpan berdasarkan jenisnya,” lanjutnya.
Gerakan ambil sampah karena emang udah menumpuk atau Gaskeun melalui pos pandai menjadi langkah warga dan para pengurus Bank Sampah Rangga Mekar untuk merubah paradigma pengelolaan sampah, seperti kumpul, angkut, buang, menjadi pilih, ambil, nabung, dan daur ulang sampah agar lingkungan indah dan asri.