Tak Mampu Bayar Restitusi, Pengadilan Bisa Cabut Hak Mario
Pencabutan hak-hak tertentu terhadap terpidana berupa tidak diberikannya hak remisi dan hak lainnya bisa diberikan jika terpidana tidak membayar restitusi kepada korban kejahatan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengatakan, hakim dapat memberi hukuman tambahan kepada terdakwa penganiayaan Mario Dandy Satrio (20) jika tidak mampu membayar ganti rugi kepada korban. Langkah revolusioner ini dapat dilakukan sebagai upaya paksa terhadap terdakwa.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyayangkan penolakan Mario (20) untuk membayar restitusi senilai Rp 120 miliar kepada korban anak, Cristalino David Ozora (17).
Hal ini disampaikan Mario dalam nota pembelaannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2023). Anak tersangka korupsi eks Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo itu menyampaikan ia tidak memiliki penghasilan dan harta apa pun.
”Salah satu jalan untuk memaksa terdakwa membayar restitusi adalah hakim menerapkan pidana tambahan sebagai mana diatur dalam KUHP berupa pencabutan beberapa hak tertentu,” kata Edwin dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis (24/8/2023).
Pidana tambahan ini dikatakan untuk memaksa terdakwa bertanggung jawab terhadap korban dan membantu pemulihan korban. Sebelumnya, jaksa telah menuntut Mario dengan pidana penjara tambahan 7 tahun, selain tuntutan utama 12 tahun, jika tidak bisa membayar biaya restitusi.
Tuntutan itu dinilai sebagai langkah revolusioner jaksa di persidangan. Namun, Edwin menyangsikan tuntutan ini akan maksimal ketika diserahkan kepada hakim dalam putusannya. Sejumlah kasus persidangan menunjukkan, hakim tidak mengabulkan tuntutan restitusi. Oleh karena itu, pemberian upaya paksa oleh hakim juga mesti dilakukan hakim, seperti dengan menerapkan pidana tambahan.
”Pencabutan hak-hak tertentu ini bisa saja dengan vonis kepada terdakwa berupa tidak diberikan pemenuhan hak-hak narapidana, seperti remisi dan hak narapidana lainnya, apabila terpidana tidak membayar restitusi kepada korbannya,” kata Edwin.
Jika hakim menerapkan pencabutan hak-hak narapidana ini, potensi korban mendapatkan hak restitusinya akan semakin tinggi. Vonis pidana juga tidak hanya akan berorientasi pada penghukuman terhadap pelaku, tetapi juga mengganti kerugian materiil dan imateriil yang dialami korban.
Sebelumnya, LPSK yang mendampingi korban penganiayaan Mario menghitung ganti rugi yang harus dibayarkan terdakwa dalam perkara ini senilai Rp 120 miliar. Biaya itu termasuk ongkos transportasi, konsumsi, dan biaya keluarga saat mengurus korban saat di rumah sakit, proses hukum, sampai biaya rehabilitasi medis korban dengan proyeksi 54 tahun ke depan.
Kewenangan seperti ini beruang dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) Nomor 31 Tahun 2014.
Hasil perhitungan ganti rugi oleh LPSK dikeluhkan oleh kuasa hukum Mario, Andreas Nahot Silitonga. Tidak hanya itu, ditemui usai sidang pekan ini, ia juga menilai, jaksa dan hakim tidak bisa menerapkan penggantian pidana penjara ketika terdakwa tidak bisa membayar restitusi. Hal ini karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 hanya mengatur pidana penjara pengganti restitusi hanya berlaku bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang dan tindak pidana terorisme.
”Jadi harus ada undang-undang yang mengatur hal itu dimungkinkan. Kalau yang dilakukan di sini penuntut umum sudah mengakui tidak mungkin, tetapi dipaksakan demi rasa keadilan. Keadilan itu selalu dua sisi, ya,” ujarnya.
Pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan, berpendapat, terkait pidana penjara pengganti restitusi dapat menjadi ranah jaksa dan hakim. Lembaga penegak hukum itu dapat menjalani perannya dalam menjembatani kekosongan hukum dengan membuat putusan yang revolusioner.
Supaya tidak terjadi pidana pengganti yang bermacam-macam, agar terpidana ganti uang. Pidana pengganti harus maksimal.
”Supaya tidak terjadi pidana pengganti yang bermacam-macam, agar terpidana ganti uang. Pidana pengganti harus maksimal. Kalau setidak-tidaknya aturan belum ada, termasuk yurisprudensi, hakim harus berani membuat terobosan,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon.
Di sisi lain, ia menilai, perhitungan restitusi oleh LPSK dalam kasus David dinilai harus lebih berhati-hati agar bisa diimplementasikan.
”Jangan sampai korban diberi harapan palsu, apalagi kalau nanti banyak korban menuntut restitusi setelah belajar dari perkara ini. Kalau wujudnya hanya di amar putusan, tapi tidak bisa dieksekusi, kan, percuma,” ujar Asep.