Sebagian Besar Warga Jakarta Belum Inisiatif Melindungi Diri dari Polusi
Pemaknaan warga Jakarta mengenai isu polusi udara dan perilaku melindungi diri dari polusi masih rendah.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buruknya kualitas udara belakangan ini ternyata tidak membuat warga Jakarta memiliki perilaku untuk melindungi diri secara mandiri. Hal ini disebabkan mereka belum merasakan dampak buruk dan melihat bukti nyata bahwa polusi udara benar-benar terjadi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim peneliti Health Collaborative Center (HCC) terhadap 1.843 responden, pemaknaan warga Jakarta mengenai isu polusi udara dan perilaku melindungi diri dari polusi masih rendah. Perolehan data pada survei ini dilakukan melalui kuesioner self-care behavior dengan cara survei secara daring yang terkontrol.
Ketua dan peneliti utama HCC, Ray Wagiu Basrowi, di Jakarta, Kamis (24/8/2023), mengatakan, penelitian yang dilakukan sejak awal Agustus 2023 itu menunjukkan bahwa 89 persen responden telah mengetahui isu polusi udara. Namun, mereka belum melihat, merasakan dampak buruk, dan belum melihat bukti nyata bahwa polusi udara benar-benar terjadi di Jakarta.
Sebanyak 1.843 responden terdiri dari laki-laki 19 persen dan perempuan 81 persen. Sebanyak 79 persen responden berusia 26-55 tahun dengan berbagai latar belakang pendidikan ataupun pekerjaan. Sementara margin of error dalam penelitian ini 2,28 persen (sedang).
Analisis lanjutan dari penelitian ini menemukan bahwa 65 persen responden berpotensi tidak berniat melindungi diri dari polusi udara. Potensi tersebut besarannya hingga 10 kali lipat.
”Aspek pemaknaan warga terhadap polusi udara masih buruk. Hal ini disebabkan belum ada pemaknaan mendasar terkait polusi udara itu seperti apa wujudnya dan seserius apa dampaknya bagi kesehatan dan kualitas hidup warga,” tutur Ray.
Penelitian ini juga menemukan bahwa 49 persen warga Jakarta mengetahui isu polusi udara dari media massa. Namun, sebanyak 32 persen tidak memahami dengan jelas makna dari informasi tersebut.
”Perlu peningkatan pemahaman mengenai dampak polusi udara bagi masyarakat. Mereka harus memahami bahwa paparan gas beracun dan partikel halus dari polusi udara bisa memberi efek negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang. Ini menjadi informasi penting yang harus disampaikan kepada masyarakat,” kata Ray.
Kurangnya inisiatif melindungi diri dan pemahaman mengenai isu polusi udara juga dirasakan pengemudi ojek daring di Jakarta, Abdul Rahman (44). Hampir setiap hari bekerja di luar ruangan tidak membuat Rahman disiplin memakai masker saat bekerja.
Rahman mengatakan bahwa dirinya kerap menurunkan masker meski polusi dan asap kendaraan tengah mengepungnya. Ia merasa gerah jika harus selalu memakai masker karena cuaca yang terik. Menurut dia, yang terpenting, ia menjauhi tempat pembakaran sampah liar.
Menurut Ray, perlindungan terhadap warga harus semakin intensif dan masif. Sebab, warga yang tidak memiliki pemahaman penuh tentang polusi udara akan terus beraktivitas seperti biasa. Pemerintah juga perlu terus-menerus melanjutkan strategi menurunkan kadar polusi udara Jakarta, baik dari emisi kendaraan bermotor maupun aktivitas industri
Bagi warga Jakarta yang tetap harus bekerja, mitigasi di lingkungan kerja serta perlindungan pekerja juga diperlukan. Sebab, polusi udara tidak hanya terjadi di luar ruangan, tetapi juga bisa masuk ruangan, termasuk gedung perkantoran.
Perusahaan perlu mengimplementasikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam melakukan analisis potensi bahaya. Selain itu, juga bisa menyiapkan alat penyaring udara untuk menyaring partikel-partikel merugikan dari udara di suatu ruangan.
”Dampak polusi benar-benar mengkhawatirkan. Jika masyarakat lebih dari 2 jam menghirup polusi, mereka akan mudah capek dan sulit fokus. Bahkan, dalam hitungan 30-40 menit, mereka bisa terkena radang,” ujar Ray.
Selain itu, perlu pula revisi model edukasi atau penyebaran informasi kepada masyarakat. Semua pihak harus memastikan bahwa pesan mengenai polusi udara menggunakan bahasa yang konkret dan dilakukan terus-menerus.
”Masyarakat memang kurang pedulimengenai isu ini. Berbeda dengan isu Covid-19 yang terjadi beberapa waktu lalu. Masyarakat harus mengetahui bahwa selain berdampak buruk bagi kesehatan dan bisa menyebabkan kanker, polusi udara juga bisa menurunkan kinerja karyawan. Hal ini bisa berdampak kepada perekonomian masyarakat,” kata Ray.
Menggalakkan sosialisasi
Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir, Kamis (24/8/2023) pukul 08.00, Jakarta mencatatkan konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM2,5) sebesar 72 mikrogram per meter kubik. Pada waktu tersebut, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta mencapai 160, nomor dua tertinggi di dunia.
Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia sekaligus dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, mengatakan, saat ini semakin banyak warga, terutama anak-anak, yang terkena infeksi saluran pernapasan akibat meningkatnya polusi udara. Oleh sebab itu, kampanye dan edukasi pemerintah harus lebih terlihat.
”Layanan masyarakat yang berkaitan dengan polusi udara juga saat ini belum ada secara masif dan polusi udara masih bukan menjadi isu prioritas,” ujarnya.
Penyadaran masyarakat terkait ancaman polusi udara perlu ditingkatkan, terutama pada tingkat komunitas dan akar rumput yang dapat menjangkau masyarakat di daerah. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, akan mengakibatkan dampak beragam, mulai dari infeksi saluran pernapasan akut hingga menyebabkan kanker.