Bacakan Pleidoi, Mario Dandy Keberatan dengan Tuntutan Ganti Rugi
Mario Dandy Satrio mengaku siap membayar ganti rugi kepada korban penganiayaannya. Namun, ia menyangsikan bisa membayar penuh karena kondisi ekonomi keluarganya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mario Dandy Satrio, terdakwa penganiayaan berat terhadap anak, Cristalino David Ozora, menyesali perbuatannya. Ia mengaku tidak merencanakan penganiayaan yang mengakibatkan korban mengalami kecacatan. Ia juga keberatan atas restitusi yang dituntut pihak korban.Hal ini diungkapkan Mario (20) dalam sidang terbuka di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (22/8/2023). Di hadapan majelis hakim yang diketuai Hakim Ketua Alimin Ribut Sujono, tim jaksa penuntut hukum, serta tim pengacara, ia memberikan nota pembelaan atau pleidoi atas tuntutan jaksa pekan lalu.
”Dengan rasa penyesalan yang mendalam dan hati yang tulus, saya ingin menyampaikan permohonan maaf dan rasa prihatin saya kepada Saudara Cristalino David Ozora dan keluarga atas dampak dari perbuatan yang telah saya lakukan. Saya menyadari tidak ada satu pun yang dapat saya perbuat untuk mengubah segala sesuatu yang terjadi. Hanya penyesalan dan rasa bersalah yang selalu saya rasakan saat ini,” tuturnya.Pada kesempatan itu, ia juga menyesali perbuatannya yang telah menyeret mantan kekasihnya, AG (15), dan kawannya, Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan (19), yang ikut diproses dalam perkara sama. Ia juga meminta maaf kepada ibunya yang harus berjuang sendiri karena ia dan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, yang menjadi tersangka kasus korupsi, pada waktu hampir bersamaan menjadi perhatian publik.
Terkait tuntutan pidana 12 tahun penjara dan restitusi atau biaya ganti rugi yang ikut dibebankan kepadanya, Mario menyayangkan jaksa penuntut umum yang menihilkan alasan meringankan. Salah satu hal yang ia harapkan meringankan adalah kemampuannya membayar restitusi senilai Rp 120 miliar. Ia mengaku siap membayar sesuai kemampuan.
”Dengan jumlah restitusi yang sangat besar tersebut, dengan itikad baik, saya bersedia membayar restitusi sesuai dengan kemampuan dan kondisi saya, yang mana saat ini saya sedang menjalani hukuman pidana belum mempunyai penghasilan dan tidak memiliki harta apa pun,” ujarnya.Baca juga: Alasan Meringankan Nihil, Mario Dandy Dituntut 12 Tahun Penjara dan Ganti Rugi Rp 120 Miliar
Sementara itu, sebelumnya jaksa menyampaikan, jika terdakwa tidak mampu membayar biaya tersebut, terdakwa dapat menggantinya dengan pidana tambahan tujuh tahun penjara.
Dengan jumlah restitusi yang sangat besar tersebut, dengan itikad baik, saya bersedia membayar restitusi sesuai dengan kemampuan dan kondisi saya, yang mana saat ini saya sedang menjalani hukuman pidana belum mempunyai penghasilan dan tidak memiliki harta apa pun. (Mario Dandy Satrio)
Nota pembelaan yang dilanjutkan pengacara Mario menentang tuntutan ganti rugi tersebut. Andreas Nahot Silitonga, salah satu pengacara yang ditemui usai sidang, menjelaskan, jaksa dan hakim tidak bisa menerapkan penggantian pidana penjara ketika terdakwa tidak bisa membayar restitusi.
”
Hanya dua yang bisa dilakukan penggantian hukuman penjara, yaitu tindak pidana perdagangan orang dan tidak pidana terorisme. Jadi harus ada undang-undang yang mengatur hal itu dimungkinkan. Kalau yang dilakukan di sini penuntut umum sudah mengakui tidak mungkin, tetapi dipaksakan demi rasa keadilan. Keadilan itu selalu dua sisi, ya,
” ujar
nya.
Ia mengaku mendukung sikap jaksa untuk membantu korban. Namun, ia menyarankan korban meminta bantuan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengeluarkan dana restitusi. Adapun perhitungan ganti rugi LPSK sekian ratus miliar rupiah itu.
”Kami sangat keberatan karena yang dipakai proyeksi (biaya). Padahal, dokter yang pernah menjadi saksi tidak pernah buat. Yang dibuat biaya yang sudah dikeluarkan selama tiga bulan. Tapi, ini dirata-rata per bulan dan dikalikan 54 tahun. Bagaimana kalau korban sembuh dan biaya restitusi sudah dibayarkan?” ucapnya.Tuntutan biaya itu berdasarkan hitungan LPSK yang sejak awal memberi bantuan pada korban. LPSK memasukkan pengeluaran pengobatan medis dan perawatan selama di rumah sakit (Kompas.com, 15/6/2023). Biaya itu juga termasuk biaya transportasi, konsumsi, dan biaya keluarga saat mengurus korban saat di rumah sakit maupun proses hukum.
Tidak terencana
Andreas menyampaikan agar hakim menggunakan dakwaan alternatif kedua, yakni
Pasal 76 C juncto Pasal 80 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ia mengatakan, substansi pasal itu sesuai dengan pembuktian fakta persidangan yang menyatakan penganiayaan tidak dilakukan dengan perencanaan.
”
Sepanjang sidang ini kami tidak melihat ada saksi-saksi atau kegerangan terdakwa yang merencanakan semua hal yang terjadi,
Ia pun menolak tuntutan jaksa yang menggunakan Pasal 355 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP subsider Pasal 353 Ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal itu membuktikan adanya unsur perencanaan dalam tindak penganiayaan.
”Pasal 355 dan 353 itu ancamannya berat, jadi batasan harus clear mana yang perencanaan. Ancaman 12 tahun penjara bukan main-main. Berarti haruslah yang terbukti dalam persidangannya perencanaannya kejadian yang terjadi, tetapi itu sama sekali tidak ada. Apa ada pembicaraan (perencanaan) disuruh plank, sikap tobat, dipukul, dan ditendang kepalanya, diinjak lehernya?” katanya berkilah.