Tidak adanya kepatuhan terhadap uji emisi terjadi karena tak ada penegakan hukum.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Uji emisi kendaraan bermotor sudah dimulai di Jakarta sejak 2005. Kebijakan ini tak kunjung berhasil memperbaiki kualitas udara Jakarta. Ada banyak faktor uji emisi gagal belasan tahun, mulai dari rendahnya kepatuhan dan kelemahan dalam penegakan hukum. Di 2023, momentum memasifkan uji emisi diharapkan berjalan konsisten dan berkelanjutan agar aturan ini tak seperti macan yang hanya garang di lembaran kertas.
Berdasarkan data Laporan Inventarisasi Emisi Pencemar Udara Jakarta yang disusun Vital Strategis, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Bloomberg Philanthropies pada 2020, diketahui kalau kendaraan bermotor jadi penyumbang terbesar polutan Jakarta. Polutan berupa PM 2,5 yang dihasilkan dari kendaraan bermotor mencapai 67,04 persen.
Dari 24,5 juta kendaraan bermotor di DKI Jakarta pada 2022, sepeda motor mendominasi dengan persentase mencapai 78 persen. Laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Ibu Kota pun bertambah 5,7 persen atau bertambah 1,2 juta setiap tahun. Dari 1,2 juta kendaraan itu, sepeda motor menyumbang pertambahan 6,38 persen atau bertambah 1,04 juta unit tiap tahun.
Pertambahan masif sepeda motor berdampak signifikan dalam mencemari udara di Ibu Kota. Sepeda motor menghasilkan beban pencemar per penumpang paling tinggi dibandingkan mobil pribadi bensin, mobil pribadi solar, mobil penumpang, dan bus. Sebagai contoh, polutan berupa CO yang dihasilkan satu sepeda motor sebesar 7 gram per kilometer atau lebih tinggi dari mobil penumpang bensin yang sebesar 5,71 gram per kilometer.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Sigit Riliantoro mengatakan, sumber pencemar udara di Jakarta selain berasal dari sektor transportasi juga dari sektor industri, pembangkit listrik, perumahan, dan komersial. Sumber pencemar lain itu ketika bercampur dengan polutan terbesar dari sektor transportasi dan berkumpul di suatu titik, terutama di kawasan perkotaan yang dipadati gedung-gedung tinggi, maka terjadi peningkatan polusi yang luar biasa.
”Maka kenapa di tengah kota kelihatan merah sekali. Salah satu penyebabnya ada street canyon effect. Dia (polusi) tidak bisa ke mana-mana, akhirnya stagnan. Dan PM 2,5 bisa ada beberapa hari di udara. Meskipun akhir pekan tidak ada kegiatan, (polusi) tetap ada di situ, kecuali hujan,” kata Sigit saat wawancara khusus Kompas, Senin (21/8/2023), di Jakarta.
Menurut Sigit, upaya menyelesaikan polusi udara di Jakarta bisa berhasil jika sumbernya dikurangi. Sumber utama polusi yang perlu dikendalikan yakni dari sektor transportasi dan industri.
”Sektor industri, secara ekonomi industri kotor sudah bergeser ke Karawang, (hingga) daerah Jawa Tengah. Namun, sebetulnya sudah harus diatur juga mana home industry yang masih boleh ada (di Jakarta),” kata Sigit.
Intervensi yang paling besar untuk mengurangi polusi udara di Jakarta, yakni uji emisi kendaraan bermotor. Namun, uji emisi kendaraan bermotor sejatinya bukan solusi baru. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerapkan kebijakan ini sejak 2005.
Namun, kebijakan yang telah dikenal belasan tahun itu tak jua berhasil menyelesaikan masalah polusi udara di Ibu Kota. ”Kemauan kita untuk uji emisi itu masih di bawah 10 persen,” kata Sigit.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, tidak adanya kepatuhan terhadap uji emisi terjadi karena tak ada penegakan hukum. Padahal, sejak 1992, sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Regulasi uji emisi pun sebenarnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomo 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
”Pada Pasal 210 (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) itu dijelaskan bahwa kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan wajib memenuhi baku mutu emisi. Pada Pasal 211, diatur lagi bahwa esensi uji emisi untuk mendorong kepatuhan masyarakat dalam rangka perawatan kendaraan. Namun, masalahnya, polisi tidak menjalankan amanat dari Pasal 210,” kata Ahmad saat dihubungi, Selasa (22/8/2023), di Jakarta.
Lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab masyarakat menganggap uji emisi bukan suatu kewajiban. Padahal, jika penegakan hukum berjalan, ada tilang, dikenakan denda tertinggi, warga secara otomatis akan mengikuti uji emisi dan pastinya menimbulkan efek jera.
Proses uji emisi pun kini telah dijalankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Uji emisi dimulai dari kendaraan-kendaraan karyawan yang bekerja di sektor pemerintah. Kendaraan yang belum lulus uji emisi dilarang parkir di kantor-kantor pemerintahan. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga akan menerapkan tilang uji emisi. Tilang akan dilakukan pada 1 September-November 2023.
”Kebijakan-kebijakan ini sudah di jalur yang benar, tetapi telat. Kami sudah mengusulkan ini sejak 30 tahun yang lalu,” kata Ahmad.
Isu bahan bakar
Menurut Ahmad, langkah pemerintah untuk memulai uji emisi jika dilakukan konsisten dan masif pun baru akan kelihatan dampaknya setelah tiga tahun. Namun, di satu sisi, uji emisi pun tak serta-merta bakal berhasil memenuhi baku mutu. Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2012 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori L3 disebutkan, sepeda motor di Indonesia baku mutunya harus memenuhi standar European Emission Standards (EURO-3).
”Jadi, meski semua kendaraan nanti sudah dilakukan uji emisi, bisa jadi tidak memenuhi baku mutu. Bahan bakar kita, tidak semuanya memenuhi standar. Padahal, jika kendaraan menggunakan bahan bakar yang sesuai, polusi udara itu bisa ditekan hingga 40 persen,” kata Ahmad.
Upaya terbaik untuk mengurangi polusi udara yakni membatasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan mengalihkan warga untuk mulai beralih ke transportasi publik dimulai dengan menegakkan aturan wajib memiliki garasi, menerapkan jalan berbayar, dan penerapan tarif parkir progresif.
”Jadi, kebijakannya itu bukan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, melainkan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi,” katanya.