Polisi Bongkar Peredaran Konten Pornografi yang Melibatkan Anak
Polda Metro Jaya membongkar kasus jual beli konten asusila sesama jenis anak di sosial media. Seorang anak di bawah umur di Kalimantan Selatan turut ditangkap. Konten diperjualbelikan di akun sosial media oleh keduanya.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya menangkap dua pelaku penyebaran video pornografi anak sesama jenis secara daring di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan. Salah satu pelaku merupakan anak di bawah umur.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak menyatakan, dua pelaku yang ditangkap adalah tersangka R (21), di Sumatera Selatan, dan anak berkonflik dengan hukum (ABDH) berinisial LNH di Kalimantan Selatan. Keduanya diduga terlibat dalam jual beli video pornografi anak dengan menggunakan aplikasi percakapan Telegram dan media sosial Facebook sebagai sarana promosi dan penjualan. R selanjutnya dibawa ke Jakarta untuk pemeriksaan lanjutan, sedangkan LNH belum ditahan tetapi tetap dimintai keterangannya.
Kasus ini bermula dari patroli siber yang dilakukan Direskrimsus Polda Metro Jaya yang menemukan adanya praktik penjualan konten asusila di media sosial. Sejumlah barang bukti, seperti gawai, kartu telepon seluler (SIM card), serta sejumlah akun media sosial disita polisi.
Dalam menjalankan aksinya, LNH membentuk sebuah grup di Facebook sebagai sarana promosi konten video pornografi anak. Bagi mereka yang setuju untuk membeli konten tersebut akan diundang masuk ke dalam sebuah grup Telegram untuk selanjutnya diberikan akses untuk mengunduh video ataupun konten yang akan dibeli. Serupa dengan LNH, tersangka R juga melakukan modus yang sama.
R dan LNH diduga mendapatkan video dan foto pornografi tersebut dari sebuah akun Telegram yang pemiliknya disinyalir berada di luar negeri. Meski demikian, kepolisian terus mengembangkan penyelidikan kasus ini karena diduga anak yang terekam dalam video dan foto yang ada diperjualbelikan tersebut juga merupakan anak-anak dari Indonesia.
”LNH mematok harga konten asusila tersebut mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 60.000 per bundel, sementara R mematok harga mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 500.000 per berlangganan untuk tetap di grup tersebut. Kami akan kembangkan untuk mencari orang-orang atau jaringan yang terlibat dalam penyebaran konten ini,” ucap Ade dalam pernyataan pers di Jakarta, Jumat (18/8/2023),
Ade menyebut, transaksi jual beli konten video atau foto pornografi, baik anak maupun dewasa, memang marak di media sosial dan aplikasi percakapan. Untuk itu, pihaknya secara rutin berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menurunkan (takedown) konten-konten asusila tersebut.
Atas tindakannya, tersangka R dan LNH dijerat dengan Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp 1 miliar. Keduanya juga dijerat dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta Pasal 76i juncto Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam ketentuan itu, pelaku terancam pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 200.000.000.
Kami akan terus selidiki dan bongkar jaringan di belakangnya karena ada indikasi orang yang ada dalam video atau foto tersebut juga anak-anak Indonesia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, menjelaskan, anak-anak masih sangat rentan menjadi korban, bahkan pelaku, akibat mudahnya akses konten pornografi di media sosial. Padahal, di dalam Pasal 11 Undang-Undang No 44/2008 tentang Pornografi, setiap orang dilarang melibatkan anak, baik dalam produksi maupun peredaran konten asusila. Dalam aturan tersebut juga disebutkan, setiap orang berkewajiban melindungi anak dan mencegah anak dalam mengakses hal-hal pornografi.
Hukuman berat, menurut dia, perlu diberikan kepada para pelaku karena telah merusak generasi muda Indonesia. Akan tetapi, bagi para pelaku yang masih di bawah umur, pemerintah wajib memberikan pendampingan dan rehabilitasi. Hal tersebut karena ABDH tetap penting untuk dilihat sebagai korban. Pemerintah daerah melalui dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak atau dinas sosial harus secara aktif memantau dan mengecek kondisi anak-anak agar terhindar dari hal-hal buruk tersebut.
KPAI pun berharap pemerintah membuka akses pemulihan seluas-luasnya bagi anak-anak yang ketergantungan pornografi.
”Kita berharap tidak ada lagi anak yang menjadi korban dan pelaku. Mereka harus tetap mendapatkan hak-haknya karena masa depan mereka harus dilindungi. KPAI apresiasi Direskrimsus Polda Metro Jaya sudah mengungkap kasus ini,” ujarnya.