Marco Kusumawijaya Berbagi Cerita Kota-kota di Indonesia
Setiap kota mempunyai cerita di balik perkembangannya. Cerita itu sama seperti pengetahuan yang jadi pedoman agar kota kian baik, bukan sebaliknya jadi tidak layak.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kota-kota di Indonesia masa kini kerap terasosiasi dengan kabar kurang sedap, seperti kemacetan, masalah sampah, kriminalitas, kekumuhan, dan pencemaran udara. Kondisi itu tidak lepas dari minimnya pengetahuan pimpinan kota dan warganya tentang kota yang mereka diami.
Padahal, pengetahuan tentang kota berisi sejarah, pembangunan, perubahan, keberhasilan, dan kegagalan atau seluk-beluk kota. Semuanya bisa jadi pedoman dan pelajaran dalam perencanaan kota sehingga tidak salah arah ataupun salah urus.
Pelbagai lika-liku kota di Indonesia itu dikupas oleh pengamat tata kota Marco Kusumawijaya dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak. Semuanya disusun dalam kurun 10 tahun terakhir hingga terbit Agustus 2023.
”Sudah banyak perencana kota, tetapi masih sedikit pengetahuan tentang kota. Akibatnya, ada kekeliruan dalam cara pandang dan praktik atau cara dalam mengelola sehingga tidak ada wacana tentang kota,” ucap Marco saat peluncuran bukunya bersama Komunitas Bambu dan Rujak Center for Urban Studies di Goethe Institut Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Keresahan Marco pada minimnya pengetahuan tentang kota-kota di Indonesia sudah timbul sejak 1999/2000. Waktu itu, dia berkeliling ke banyak kota, tetapi minim literasi dan sumber yang bisa menjawab tentang seluk-beluk kota yang didatanginya.
Sudah banyak perencana kota, tetapi masih sedikit pengetahuan tentang kota.
Dari situ tebersit untuk menulisnya dalam satu buku. Apalagi bertepatan dengan reformasi atau pasca-Orde Baru sehingga ada kebebasan untuk mencari pengetahuan dan menyuarakan pengetahuan.
”Keadaan sosial, politik, ekonomi, dan lainnya berpengaruh dalam seluk-beluk kota. Bandung dan Medan, misalnya, jadi kota seperti sekarang karena eksploitasi perkebunan dari wilayah sekitarnya,” kata Marco.
Dalam tiga jilid buku itu pun, Marco berupaya menggunakan bahasa yang universal. Bahasa yang bisa dimengerti oleh warga hingga pimpinan kota, tidak terbatas pada perencana wilayah dan kota atau terkait saja.
Menurut Marco, warga kota harus berpengetahuan. Tidak terbatas pada pengambil kebijakan seperti wali kota dan gubernur. Justru semakin banyak orang berpengetahuan tentang kotanya, maka semakin besar peluang jadi kota yang baik.
Kota
Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak dimulai dengan data statistik pertumbuhan penduduk Tanah Air dari waktu ke waktu. Marco menampilkan data statistik di awal tulisan sebagai penanda bahwa data bagian dari pengetahuan tentang kota.
Kemudian dia mengulas kota per kota yang telah dipilih. Bab dalam tiga jilid buku itu pun diakhiri dengan tulisan tentang warga.
Direktur Penerbit Komunitas Bambu JJ Rizal mengatakan, buku ini seperti gerbang masuk atau panduan tentang satu kota. Kota ditilik tidak hanya dari satu disiplin ilmu, tetapi juga ragam disiplin ilmu.
”Kota bukan hanya artian kronik dibangun. Tapi, juga bagaimana unsur-unsur pembentuk kota dan paling menarik melihat perubahan atau perkembangan kota. Apa saja yang berganti ataupun berlanjut,” tutur Rizal.
Dalam salah satu bab, misalnya, dijelaskan tentang kontribusi ahli biologi Alfred Russel Wallace dalam perubahan Ternate. Kemudian dalam bab lainnya tentang gandrung terhadap taman yang bermuara pada apa dan bagaimana konsep taman di Indonesia.
Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menambahkan, buku tersebut menambah khazanah literatur dari perencana wilayah dan kota dalam negeri. Artinya, ada pilihan untuk membangun kota dari kacamata kota-kota di Indonesia itu sendiri. Bukan melulu merujuk kota di luar, seperti Singapura dan Shenzhen (China).
”Krisis perumahan dan pencemaran udara yang terjadi saat ini salah satunya akibat tidak belajar dari kekeliruan atau kegagalan perencanaan kota di masa lampau,” ujar Elisa.
Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak, bagi Elisa, dapat jadi baham refleksi. Bagaimana belajar dari kekeliruan masa lampau dalam pengembangan kawasan dan sebaliknya meniru keberhasilan yang ada.