Pengusaha Keberatan dengan Saran Presiden soal Pola Kerja Hibrida
Pemerintah mendorong dunia usaha kembali melaksanakan pola kerja hibrida di tengah memburuknya kualitas udara di Jabodetabek. Namun, pelaku usaha merasa pola kerja seperti itu sudah tidak relevan lagi.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Asosiasi pengusaha menilai, imbauan dari pemerintah untuk memberlakukan kembali pola kerja hibrida perlu dipertimbangkan. Perubahan pola kerja secara mendadak dianggap bisa merugikan dunia usaha karena sudah tidak relevan lagi.
Pada Senin (14/8/2023), Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas bersama lembaga terkait dan kepala daerah membahas polusi udara di Jabodetabek. Presiden Jokowi mendorong dunia usaha untuk kembali menerapkan kombinasi pola bekerja dari rumah (WFH) dan bekerja dari kantor (WFO).
Menyikapi imbauan tersebut, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Jaminan Sosial dan K3 Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Nurjaman menganggap upaya pola kerja hibrida bukanlah langkah konkret.
”Ini bisa berdampak buruk bagi dunia usaha. Dikit-dikit ada permasalahan muncul imbauan WFH. Seharusnya solusi yang dimunculkan yang menyeluruh,” kata Nurjaman saat dihubungi dari Jakarta, Senin (14/8/2023).
Sejatinya dia mengapresiasi upaya pemerintah untuk mengendalikan polusi udara dengan melibatkan lintas sektor. Namun, dengan keadaan seperti saat ini, dia merasa pelaku usaha akan keberatan menjalankan imbauan dari pemerintah tersebut.
Nurjaman menyebut, seusai pemerintah mencabut status pandemi Covid-19 di dalam negeri, dunia usaha telah menyusun rencana kerja berbasis bekerja dari kantor (WFO) secara menyeluruh. Jika mendadak dikembalikan pada pola kerja hibrida, akan berpotensi mengganggu kesinambungan sistem kerja yang telah terbentuk.
Ini bisa berdampak buruk bagi dunia usaha. Dikit-dikit ada permasalahan muncul imbauan WFH. Seharusnya solusi yang dimunculkan yang menyeluruh.
Selain itu, kata Nurjaman, situasi saat ini sudah berbeda dibandingkan dengan saat masa pandemi. Saat itu, pola kerja hibrida dilakukan secara menyeluruh hampir di semua tempat di belahan dunia. Namun, situasinya berbeda saat ini, yakni rencana hibrida secara parsial hanya bagi sektor dunia usaha di Jabodetabek.
”Dampaknya adalah produktivitas dunia usaha akan menurun, yang berpotensi mengancam nasib para pekerja,” ujar Nurjaman.
Hal serupa disampaikan Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Diana Dewi. Dia merasa imbauan tersebut sulit diwujudkan di tengah kebangkitan dunia usaha pascapandemi.
”Saat ini, para pelaku usaha tengah berjuang untuk membenahi lini bisnisnya. Namun, hanya gegara polusi udara jadi harus kembali WFH. Kalau untuk secara mendadak diterapkan kepada kalangan pengusaha, tentu ini berat dan bisa jadi ditolak,” kata Diana.
Dengan demikian, dia berharap adanya langkah dari pemerintah yang lebih menyeluruh. Dia menyebut, upaya yang dilakukan bukan hanya intervensi pada masyarakatnya, melainkan juga kebijakan pada sektor lain yang simultan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Disnakertransgi) DKI Jakarta Hari Nugroho mengungkapkan, seusai arahan dari Presiden, belum ada pembahasan lanjutan di jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Namun, dia memastikan rencana WFH tidak akan dilakukan secara mendadak. Pembahasan aturan seperti ini harus melibatkan sejumlah sektor, termasuk sektor swasta, asosiasi usaha, dan Kadin.
Lebih lanjut, kata Hari, belakangan ini jajaran Pemprov DKI Jakarta telah merencanakan pengaturan jam kerja dan pemberlakuan kembali WFH berkaitan dengan kemacetan di Ibu Kota. Pihaknya pun sedang melakukan kembali kajian serta menyiapkan regulasi agar dunia usaha bisa menjalankan kebijakan yang dibuat.
”Kita masih perlu duduk bersama lagi sehingga ada regulasi agar dunia usaha bisa mempunyai payung hukum dalam menjalankan aturan yang ada,” ucap Hari.
Adapun saat konferensi pers, Minggu (13/8/2023), Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro juga mengajak sektor swasta mempertimbangkan kemungkinan penerapan WFH.
Dia menyebut, perusahaan bisa menggunakan indikator kualitas udara secara real time untuk mengatur pola kerja karyawan. Jadi informasi kualitas udara tadi, kan, sudah tersedia di berbagai situs web. Mohon itu digunakan untuk manajemen masing-masing guna menentukan apakah perlu WFH atau tidak, karena tidak setiap hari fenomenanya terjadi,” kata Sigit.