Jakarta Krisis Hunian Layak
Berdasarkan data BPS DKI Jakarta, pada 2022, ada 2,78 juta rumah tangga di Ibu Kota. Sebanyak lebih dari 63 persennya, yaitu sekitar 1,77 juta rumah tangga, belum punya rumah layak huni.
JAKARTA, KOMPAS — Program penataan permukiman di Jakarta yang sudah bergulir sejak puluhan tahun belum jua mampu meningkatkan akses rumah tangga Ibu Kota terhadap hunian layak. Masih ada 1,77 juta rumah tangga di Ibu Kota yang belum punya rumah layak huni. Semakin rendah jumlah warga yang tinggal di hunian layak, maka semakin membesar angka kebutuhan perumahan.
Badan Pusat Statistik menyebut, akses warga DKI Jakarta terhadap hunian layak selama tiga tahun terakhir tergolong rendah. Pada 2020, jumlah rumah tangga di Jakarta yang memiliki akses terhadap hunian layak 33,18 persen dan kembali meningkat menjadi 40 persen pada 2021. Namun, pada 2022, akses rumah tangga di Ibu Kota terhadap hunian layak justru turun menjadi 36,23 persen.
Jika merujuk data BPS DKI Jakarta, total rumah tangga di Jakarta pada 2022 mencapai 2,78 juta rumah tangga. Artinya, saat ini baru sekitar 1 juta rumah tangga yang memiliki akses ke hunian layak dan sekitar 1,77 juta rumah tangga di DKI Jakarta yang belum memiliki akses terhadap hunian layak.
BPS pun sejak 2019 telah menetapkan empat klasifikasi rumah layak huni. Suatu rumah dikatakan layak huni apabila luas tempat tinggal minimal 7,2 meter per kapita, memiliki akses air minum layak dan sanitasi layak. Rumah tinggal harus memenuhi kriteria ketahanan bangunan, mulai atap terluas berupa beton/genteng/seng/kayu/sirap; dinding terluas berupa tembok/plesteran anyaman bambu/kawat, kayu/papan, dan batang kayu; serta lantai terluas berupa marmer/granit/keramik/ubin/tegel/teraso/kayu/papan/semen/bata merah.
Baca juga: Jejaring Warga Menata Kampung Kumuh Jakarta
Persoalan akses terhadap hunian layak menambah catatan panjang isu kenyamanan bermukim di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama bertahun-tahun telah menelurkan beragam program untuk mengurai dan mengentaskan kebutuhan rumah warga di Ibu Kota.
Beragam program perumahan itu diprioritaskan pada masyarakat berpenghasilan rendah atau masyarakat kelas bawah. Program-program itu antara lain penyediaan rumah susun sederhana sewa, rumah susun milik, hingga peningkatan kualitas kampung kumuh.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta Retno Sulistyaningrum mengatakan, Pemprov DKI Jakarta memiliki tiga tipologi dalam meningkatkan kualitas permukiman untuk warga berpenghasilan rendah. Tiga model penataan itu antara lain pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali atau relokasi.
Model pemugaran dilakukan melalui program Community Action Plan dan Collaborative Implementation Program. Adapun konsep peremajaan, sebagai contoh yang telah terbangun, yakni Kampung Susun Akuarium, Kampung Kunir, dan Kampung Tongkol.
”Selanjutnya, permukiman kembali (penyediaan rusunawa) sudah banyak. Kami sudah punya 40 titik lokasi,” kata Retno, saat wawancara khusus bersama Kompas, Jumat (14/7/2023), di Jakarta.
Beragam program yang digulirkan pemerintah dengan prioritas warga berpenghasilan rendah dinilai berada di jalur yang tepat dan masih sesuai target yang dicanangkan pemerintah daerah. Buktinya, sejak 2018 hingga 2022, angka backlog rumah di Jakarta berkurang dari 302.000 unit menjadi 280.489 unit.
Data terkini DPRKP DKI Jakarta, pada 2022, diketahui, fokus utama dari pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan perumahan di Jakarta dilakukan dengan membangun rumah susun. Jumlah rumah susun sewa di Jakarta saat ini sekitar 34.000 unit.
Selain membangun rumah susun, sejumlah program penataan permukiman dilakukan di Jakarta sejak masa Gubernur Ali Sadikin sekitar 50 tahun silam. Ali Sadikin mencanangkan proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT). Program ini fokus memperbaiki jalan kampung, saluran air, sanitasi, tempat sampah, pusat kesehatan masyarakat, hingga sekolah.
MHT yang dikenal juga sebagai Kampung Improvement Project (KIP) diadopsi oleh para pemimpin Jakarta berikutnya. Namun, realisasi program selalu tidak dapat mengejar kebutuhan penataan dan pembangunan hunian layak yang membeludak di Jakarta.
Baca juga: Seperti Kampung Bayam, Kampung Susun Akuarium Pun Bermasalah
Dalam sepuluh tahun terakhir, ada beberapa terobosan pemenuhan rumah layak. Semasa Joko Widodo memimpin DKI, ada program baru, yaitu Kampung Deret. Program ini menata rumah di kampung kumuh menjadi bertingkat dua dengan menyisakan lahan untuk jalan dan fasilitas publik lain.
Di masa Gubernur Anies Baswedan, ada pendekatan pemberian status hukum pasti pada kampung kumuh yang selama ini dianggap liar disertai penataan berkonsep kampung susun. Program ini menyasar korban penggusuran dan bencana, seperti kebakaran. Contohnya, Kampung Susun Aquarium, Kampung Kunir, hingga Kampung Gembira Gembrong.
Penataan permukiman dengan konsep kampung susun berbeda dengan rusunawa. Warga diberi kemandirian dalam pengelolaan hingga pembiayaan. Singkatnya, mereka jadi pemilik kampung susun itu.
Namun, program pembangunan kampung ternyata menyisakan masalah. Dulu warga Kampung Bayam digusur untuk proyek Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta Utara. Saat tampuk kepemimpinan DKI berganti menjelang akhir 2022, janji bagi warga eks Kampung Bayam bisa menempati Kampung Susun Bayam di kawasan JIS tak berlaku lagi.
Hak atas tanah
Ketua Kelompok Perumahan dan Permukiman Perkotaan Universitas Indonesia Joko Adianto mengatakan, tak ada yang keliru dengan program peningkatan kualitas permukiman atau penataan kampung yang telah bergulir sejak era Ali Sadikin hingga saat ini. Namun, berbagai program itu melupakan satu hal, yakni hak atas tanah bagi warga kelas bawah.
”Kendala terbesar bagi masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya yang benar-benar miskin, bukan rumah, melainkan tanahnya. Pemerintah selama ini berusaha menyediakan rumah, tetapi hak atas tanah tidak pernah diurus,” kata Joko, di Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Penghuni yang bekerja di sektor informal, misalnya punya warung, bengkel, usaha ayam potong, saat direlokasi ke rusunawa, pekerjaannya tak bisa ikut direlokasi. Akhirnya mereka tidak punya penghasilan.
Tidak terurusnya hak atas tanah warga kalangan bawah menyebabkan kampung-kampung warga kalangan bawah kerap dianggap kampung ilegal. Akibatnya, hak bermukim mereka rendah dan rentan digusur. Kerentanan itu membuat warga kampung tak memiliki inisiatif membenahi sendiri huniannya.
Keengganan warga untuk menata kampungnya kemudian diintervensi pemerintah melalui penyediaan rumah susun sewa. Namun, penyediaan rusunawa meski memenuhi kriteria layak huni, tetapi belum tentu cocok dengan kehidupan warga miskin pekerja informal.
”Penghuni yang bekerja di sektor informal, misalnya punya warung, bengkel, usaha ayam potong, saat direlokasi ke rusunawa, pekerjaannya tak bisa ikut direlokasi. Akhirnya mereka tidak punya penghasilan,” ujar Joko.
Reforma agraria perkotaan
Menurut Joko, masalah penyediaan hunian memang bersifat publik. Namun, pemenuhannya kerap personal atau tak bisa diseragamkan. Oleh karena itu, dalam menyediakan hunian bagi warga di Ibu Kota, semua opsi atau jenis perumahan dan permukiman perlu diakomodasi oleh pemerintah daerah.
Opsi penyediaan hunian sejatinya mulai diterapkan di Kampung Susun Akuarium dan Kampung Kunir. Penataan kampung-kampung itu diawali dengan program reforma agraria perkotaan.
”Dua kasus itu, warga diberi hak atas tanah bukan milik individu, bukan juga sewa individu. (Jadi) Masyarakat di kampung kota itu tidak sepenuhnya ilegal. Bisa jadi mereka ternyata tinggal di tanah yang tak bertuan,” ujar Joko.
Dari dua kasus itu, reforma agraria perkotaan atau hak atas tanah dapat diberikan kepada warga, misalnya dengan skema hak pakai. Pemerintah lalu berkolaborasi dengan warga untuk mendesain jenis permukiman yang diinginkan oleh warga.
Penerapan reforma agraria perkotaan bakal melahirkan beragam model kepemilikan rumah berbeda-beda sesuai kondisi lingkungan atau kondisi sosial masyarakat. Artinya, ke depan, model permukiman yang berkembang di Ibu Kota tak melulu soal rumah susun atau rumah tapak, tetapi berkembang sesuai konteksnya.
Penataan kampung kumuh sejatinya turut berperan dalam menyelesaikan masalah perkotaan lain. Artinya, penataan kampung berarti tak hanya mengurangi angka backlog rumah, tetapi turut menjangkau lebih banyak warga agar memiliki akses ke rumah layak huni.