Wajah Menawan Kampung di Jakarta yang Nyaris Hilang
Penataan kampung kumuh tak sekadar mempercantik dan memberi kenyamanan bermukim bagi warga. Penyelamatan kawasan hunian yang nyaris hilang dengan peningkatan kualitas turut berperan menyelesaikan isu mendasar warga kota.
Kampung Tongkol, Lodan, dan Kerapu yang berdiri di bantaran anak Sungai Ciliwung, wilayah Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, nyaris hilang pada 2015. Kampung itu kumuh, sampahnya juga berserakan di mana-mana hingga ke daerah aliran sungai. Sebagian warganya masih buang air besar di sungai itu.
Kekumuhan itu dituding jadi salah satu penyebab sebagian wilayah di Jakarta kerap kebanjiran. Keputusan untuk menggusur demi memperluas daerah aliran sungai rasanya tak lagi terelakkan.
Surat peringatan ke tiga dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah sampai ke warga. Mereka yang saat itu sedang merayakan bulan suci Ramadhan pada 2015 tak lagi berpikir tentang hari raya Idul Fitri yang sebentar lagi tiba.
”Kami tidak berpikir lagi tentang Lebaran. Kami berpikir, kami ke mana ini,” kata Andi Amir (52), warga Kampung Kerapu, Pademangan, saat ditemui Rabu (2/8/2023) sore.
Negosiasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah buntu. Tiga kampung itu sudah pasti digusur atau bakal bernasib serupa seperti Kampung Akuarium, di Penjaringan, Jakarta Utara, dan Kampung Kunir di Tamansari, Jakarta Barat.
Di tengah kekalutan itu, warga menggelar musyawarah. Mereka tak ingin tinggal diam menyaksikan kampung yang mereka tempati bertahun-tahun, momen, dan tawa bersama tetangga, hingga keseruan di gang-gang sempit dan gelap itu lenyap begitu saja.
”Akhirnya kami sepakat memotong rumah. Dulu, rumah warga di sini, sampai bibir sungai,” kata Andi.
Warga secara mandiri memotong atau merenovasi rumah untuk menjauh dari bibir sungai. Jarak rumah dengan bibir sungai diperlebar menjadi sekitar 5 meter. Mereka juga bergotong royong membangun tangki septik komunal. Satu tangki septik dimanfaatkan oleh dua sampai tiga rumah.
Warga menyediakan tempat sampah di halaman rumah masing-masing. Sampah yang sebelumnya sampai ke sungai kini tak lagi tercecer.
”Dulu kami membelakangi kali. Semua dibuang ke belakang. Sekarang kami menghadap ke kali, kami sambil jaga kali,” ujar Andi yang juga menjabat sebagai Ketua Koperasi Komunitas Anak Sungai Ciliwung.
Baca juga: Jejaring Warga Menata Kampung Kumuh Jakarta
Kisah tentang kampung kumuh, bersampah, dan bak terowongan yang gelap rasanya masih sulit untuk dipercaya ketika menyusuri tepi Sungai Anak Ciliwung, pada medio Juli 2023 siang. Beranda rumah warga yang menghadap ke sungai itu sejuk tertutup rerimbunan dedaunan pohon.
Pohon-pohon tumbuh subur di tepi sungai. Tanaman hias juga diatur berjejer di bibir sungai yang telah ditata dan dilengkapi sheet pile. Air dari Anak Sungai Ciliwung itu berwarna hitam kecokelatan. Namun, sangat jarang menemukan sampah mengambang di aliran sungai tersebut.
Perjuangan warga agar tetap bertahan di kampung mereka perlahan membuahkan hasil setelah tampuk kepemimpinan DKI Jakarta berganti ke Gubernur Anies Baswedan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah tata ruang wilayah Kampung Lodan, Tongkol, dan Kerapu sehingga penataan daerah aliran sungai tak mengusik perumahan warga.
”Ini ditandai dengan dibangun sheet pile, pembangunan jembatan, pengerasan jalan, penerangan jalan umum, hingga penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB). Puluhan tahun kampung-kampung miskin tidak pernah tersentuh APBD (pembangunan fasilitas publik) karena dianggap ilegal,” kata Koordinator Urban Poor Consortium Gugun Muhammad.
Legalitas lahan
Kesuksesan penataan kampung kumuh di Jakarta perlahan tetapi pasti mulai meluas. Selain tiga kampung tersebut, penataan kampung kumuh di Jakarta melalui program Community Action Plan dan Collaborative Implementation Program yang juga sukses, yakni di Kampung Susun Akuarium, Kampung Susun Kunir, hingga Gang Marlina, di Penjaringan. Pemerintah Provinsi DKI pada 2023 juga tetap berkomitmen untuk terus melanjutkan program Community Action Plan dan Collaborative Implementation Program.
Pemprov DKI setuju karena ini tanah negara, bukan tanah pemerintah provinsi. Artinya akan diretribusi atau diberikan kepada warga. Namun, pertanyaan berikutnya, siapa yang akan terima, individual atau kelompok.
Dari data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, ada ada 450 rukun warga kumuh di DKI. Dari jumlah itu, jumlah permukiman kumuh yang telah ditata mencapai 200 RW. Sesuai Rencana Pemerintah Daerah DKI Jakarta 2023-2026, Pemprov DKI Jakarta menargetkan luasan kawasan kumuh bisa berkurang menjadi 2,26 persen pada tahun 2026. Dalam dokumen tersebut dijabarkan, penataan difokuskan untuk perbaikan atau penambahan fasilitas umum dan tidak menyeluruh hingga seluruh kawasan (Kompas.id, 6/1/2023).
Menurut Gugun, persoalan lain yang belum selesai dalam penataan kampung-kampung kumuh di Jakarta, yakni masalah legalitas lahan. Di Kampung Tongkol, Lodan, dan Kerapu, misalnya, sejak 2019 masih terjadi perdebatan sengit dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai sertifikat hak milik (SHM).
”Pemprov DKI setuju karena ini tanah negara, bukan tanah pemerintah provinsi. Artinya akan diretribusi atau diberikan kepada warga. Namun, pertanyaan berikutnya, siapa yang akan terima, individual atau kelompok,” kata Gugun.
Kepemilikan SHM sebaiknya bersifat kelompok. Sebab, jika kepemilikannya individual, sangat besar kemungkinan lahan itu berpindah ke tangan orang lain atau bahkan pengembang.
Jika hal ini terjadi, semangat awal penataan kampung-kampung bisa saja hilang. Sebab, perjuangan untuk mendapat legalitas lahan tak sebatas mengantongi SHM. Namun, lebih dari itu, yakni memastikan kampung-kampung di Jakarta tak hilang tergilas zaman atau berganti bangunan pencakar langit.
Payung hukum
Penataan kampung kumuh di Jakarta tak sekadar penataan fisik rumah atau hunian warga. Peningkatan kualitas permukiman di kampung kumuh berarti turut menyelesaikan masalah perkotaan lain, mulai dari persoalan sanitasi, akses, pengelolaan sampah, hingga permukiman.
”Konsep yang kami siapkan, yakni ada kesepahaman bersama di antara masyarakat untuk mengajukan permohonan perbaikan dari hunian mereka. Konsep ini sudah diakomodasi dalam rancangan tata ruang wilayah,” ujar Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Iwan Kurniawan dalam diskusi ”Potensi Pemenuhan Permintaan Rumah bagi Kelas Menengah dengan Tipe Co-residence” di Jakarta, Selasa (4/7/2023).
Konsep yang diakomodasi dalam rancangan tata ruang wilayah memungkinkan untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD) dalam penataan kampung kumuh. APBD DKI Jakarta juga bisa digunakan untuk memperbaiki rumah warga, pembangunan instalasi pengelolaan limbah (IPAL) komunal, pembangunan jaringan perpipaan, hingga memberdayakan ruang-ruang tertentu yang dapat berguna sebagai aset produksi yang dapat bernilai ekonomi.
Sebagai catatan, selama ini, penggunaan APBD dalam penataan kampung kumuh di Jakarta masih sebatas pembangunan fasilitas publik. Sementara itu, untuk perbaikan rumah warga, pendanaannya berasal dari warga melalui koperasi.
”Skema ini secara regulasi belum ada. Makanya, kami juga usulkan dalam regulasi baru, baik secara undang-undang maupun peraturan daerah. Ini yang akan menjadi payung hukum bahwa permasalahan kumuh tidak bisa diselesaikan fisiknya saja karena penataan fisik tidak menyelesaikan yang lain,” katanya.
Baca juga: Seperti Kampung Bayam, Kampung Susun Akuarium Pun Bermasalah