Polemik Kampung Susun Bayam, Pemprov DKI Berkhianat?
Warga Kebon Bayam merasa menjadi korban. Apakah mereka korban dari janji politik atau korban dari pembangunan yang kerap tak berkesinambungan?
Warga Kampung Susun Bayam terancam kehilangan hak mereka menempati hunian susun yang telah diperjuangkan bertahun-tahun. Beragam dokumen yang dikantongi warga selama proses alot pembangunan Jakarta International Stadium tak berarti.
Warga Kebon Bayam merasa menjadi korban. Apakah mereka korban dari janji politik atau korban dari pembangunan yang kerap tak berkesinambungan?
”Kami akan kembali lagi ke Balai Kota DKI Jakarta. Hak kami untuk tinggal di Kampung Susun Bayam semakin tidak jelas. Rumah susun itu kalau bukan untuk kami lalu untuk siapa,” kata M Furkhon saat berkeluh kesah tentang nasib mereka yang kini diabaikan pemerintah daerah sebelum menutup panggilan telepon, Selasa (1/8/2023) malam.
Furkhon merupakan satu dari 123 keluarga yang telah mendapat nomor unit hunian di rumah susun yang berada di dalam kawasan olahraga Jakarta International Stadium. Daftar calon penghuni Kampung Susun Bayam sudah ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Wali Kota Jakarta Utara sejak 22 Agustus 2022. Namun, proses untuk mengantarkan warga ke unit kampung susun kian berliku.
Baca juga: Jejaring Warga Menata Kampung Kumuh Jakarta
Warga awalnya antusias untuk segera menghuni kampung susun tersebut ketika Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan, meresmikan hunian susun tersebut di detik-detik akhir masa jabatannya, yakni pada 12 Oktober 2022. Namun, setelah tampuk kekuasaan kepala daerah di Ibu Kota berganti, hak warga menghuni kampung susun kian jauh.
PT Jakarta Propertindo selaku pengelola kampung susun awalnya berjanji kepada warga untuk menghuni rumah susun itu pada November 2022. Namun, janji itu tak kunjung ditepati. Pernyataan dari Jakpro setelah itu berubah-ubah mulai dari persoalan perizinan, administrasi, tarif hunian, hingga rencana pengalihan pengelolaan dari Jakpro ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Janji itu masih tinggal janji. Hingga detik ini, warga yang telah terdaftar sebagai calon penghuni Kampung Susun Bayam masih bertahan di hunian sementara, mengontrak, dan sebagian lagi tinggal di sejumlah rumah susun milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Korban janji
Hunian yang kini berdiri kokoh di Kampung Susun Bayam tak dibangun dengan instan. Ada proses panjang mulai dari dialog, negosiasi, serta musyawarah yang kerap berujung perang saraf antara warga dan pemangku kepentingan.
Menurut M Furkhon, kawasan yang kini telah berubah jadi Jakarta International Stadium dulu kala merupakan lahan milik pemerintah daerah yang dimanfaatkan warga sebagai hunian, kebun, dan tambak ikan. Warga yang tinggal di sana pun mencapai sekitar 600 keluarga. Mereka berasal dari beragam latar belakang dan daerah di Indonesia.
Lahan yang sudah mereka tempati sejak puluhan tahun lalu mulai terusik ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun megaproyek Jakarta International Stadium pada 2019. Di sini, negosiasi bermula.
”Kami berdasarkan kontrak sosial. Dalam kontrak sosial itu tidak ada penggusuran, tetapi penataan,” kata Furkhon.
Kontrak sosial untuk menata warga Kebon Bayam itu ditandatangani Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno pada 2017. Keseriusan pemerintah daerah itu kian nyata saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkunjung untuk pertama kalinya ke sana pada 9 April 2018.
Dari dokumen yang dikantongi warga Kebon Bayam, pimpinan daerah DKI Jakarta saat itu berkomitmen untuk selain menata permukiman warga, mereka juga tetap didampingi agar berdaya. Komitmen itu masih terlihat selama proses pembangunan Jakarta International Stadium.
Tawaran rusun
Komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini berubah. Warga yang sudah terdaftar sebagai calon penghuni Kampung Susun Bayam justru ditawarkan untuk bermukim di Rusun Nagrak, Jakarta Utara.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Retno Sulistyaningrum seusai rapat kerja dengan Komisi D DPRD DKI Jakarta, Selasa (11/7/2023), menyampaikan bahwa pemerintah daerah menyiapkan Rusun Nagrak bagi warga Kampung Bayam yang ingin pindah. Unit rusun pun telah siap huni.
Pernyataan Retno kembali berubah saat wawancara khusus bersama Kompas, Jumat (14/7/2023). Retno menyebut, pengelolaan Kampung Susun Bayam masih terus dibahas dengan PT Jakarta Propertindo (Perseroda) selaku pengelola. Pemerintah daerah mengupayakan jalan keluar yang terbaik bagi warga agar ada kepastian atau polemik tak berlarut.
”Sedang dikomunikasikan dengan Jakarta Propertindo, tetapi kami tawarkan jika ingin segera menghuni sudah kami siapkan di Rusun Nagrak,” kata Retno.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, melihat polemik Kampung Susun Bayam tak lepas dari janji politik yang tak terwujud seiring pergantian kepemimpinan. Janji politik itu tidak terwujud karena sifatnya tak mengikat atau tak ada dasar hukumnya.
”Sewaktu-waktu dapat berganti tergantung siapa yang memimpin. Tentu saja setiap pemimpin punya pertimbangan melanjutkan program yang baik. Jika tidak, maka distop,” ujar Trubus, Minggu (30/7/2023).
Menurut Trubus, pengelolaan Kampung Susun Bayam tak tuntas karena diresmikan di pengujung masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria. Hal itu berbeda dengan Kampung Susun Akuarium di Jakarta Utara yang menjadi rujukan warga Kampung Bayam.
Itulah beban politik, mengapa pemimpin harus terpilih dua kali atau ada penerusnya. Dalam kasus Kampung Bayam, tak ada kewajiban untuk melanjutkan program.
Warga sudah mencapai kesepakatan pengelolaan dengan pemerintah untuk jangka waktu tertentu. Kesepakatan itu tercatat hitam di atas putih meskipun kampung berdiri di lahan yang masuk kawasan cagar budaya.
”Itulah beban politik, mengapa pemimpin harus terpilih dua kali atau ada penerusnya. Dalam kasus Kampung Bayam, tak ada kewajiban untuk melanjutkan program,” ujar Trubus.
Dia pun mencontohkan beberapa program hasil janji politik yang penuh dinamika sampai sekarang. Penataan kawasan Plumpang, Jakarta Utara, alih-alih relokasi, misalnya, bagus dari segi kebijakan, tetapi berbahaya karena kawasan itu dekat dengan Depo Pertamina Plumpang. Kebakaran yang terjadi Maret silam jadi peringatan berharga bagi seluruh warga akan bahaya yang bisa timbul dari instalasi strategis.
Proyek pembangunan fasilitas Jalan Layang Non-Tol di Pluit, Jakarta Utara, pun mangkrak hingga kini. Proyek itu bergulir tahun 2015 saat masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.
Baca juga: Seperti Kampung Bayam, Kampung Susun Akuarium Pun Bermasalah
Selanjutnya program hunian DP nol rupiah. Kini namanya berganti Hunian Terjangkau Milik agar jangkauan lebih luas melalui skema kredit pemilikan rumah (KPR) dan fasilitas pembiayaan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
”Janji politik hanya sementara saja. Kelemahannya tak ada kewajiban untuk diselesaikan. Harusnya ada edukasi kepada warga agar bersiap-siap dengan segala kemungkinan dari janji politik,” kata Trubus.
Trubus pun berharap Penjabat Gubernur sebagai birokrat untuk lebih berani mengambil kebijakan. Hal tersebut karena Penjabat Gubernur tak punya beban adanya janji politik. Apalagi, sosoknya punya hubungan yang erat dengan pemerintah pusat.