Nasib Sapi hingga Kucing di Tengah Padatnya Jakarta
Masih ada peternakan sapi dan berbagai hewan lain bergantung hidup di tengah belantara beton Jakarta. Jarak antara hewan dan manusia kian dekat. Aturan tegas diperlukan agar relasi keduanya tetap sehat.
Kerumunan nyamuk yang mendadak muncul di saluran air di depan rumahnya pada awal 2023 memancing kecurigaan Hasan Al Habshy (35), warga RT 005 RW 005 Cikoko, Jakarta Selatan. Sejak pindah ke kawasan tersebut, belum pernah ia mengalami hal ini. Setelah ditelusuri, penyebabnya berasal dari limbah kotoran hewan dari salah satu peternakan sapi milik Burhan, yang berada tak jauh dari rumah Hasan.
Perdebatan mencuat, layakkah eksistensi hewan kuku belah ini dipertahankan, di tengah semakin padatnya Jakarta ditumbuhi rumah dan gedung-gedung. Meski demikian, dari titik ini pula pemerintah bisa mulai merumuskan aturan yang tegas agar konflik antarwarga bisa dihindari.
Dalam mediasi yang dilakukan pihak Kelurahan Cikoko pada akhir Juni 2023 lalu, semua pihak saling adu lempar argumentasi. Hasan memprotes laporan yang ia ajukan lewat JAKI dinyatakan selesai, padahal belum ada tindak lanjut. Burhan menyebut, selama beternak sapi sejak puluhan tahun lalu, baru kali ini ada warga yang mengeluh.
Lurah Cikoko Fitriyanti bingung mengatasi konflik antarwarganya tersebut karena aturan terkait ternyata minim. Ditambah lagi, wewenang penanganan masalah ini melibatkan banyak pihak, mulai dari Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Dinas Lingkungan Hidup, hingga salah satu operator layanan air bersih di ibu kota. Ini membuat debat kusir tidak bisa dielakkan.
”Saya akhirnya coba lapor langsung ke Penjabat Gubernur DKI Jakarta Pak Heru (Heru Budi Hartono) karena seperti ada saling lempar wewenang antara kelurahan dan dinas terkait. Dari rapat bersama pimpinan RT dan RW, warga bilang masalah ini sudah sejak 2002,” tutur Hasan.
Solusi yang coba diambil untuk menyelesaikan ini belum jelas betul. Namun, langkah awal diambil. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup selokan agar bau dari limbah tersebut tidak lagi mengganggu warga. Burhan diminta membangun bak penampungan tambahan untuk kotoran ternak. Kamis (20/7/2023), got telah tertutup.
Aturan mengenai peternakan di tengah kota minim. Larangan pembuangan limbah kotoran juga belum ada. Menurut saya, akan dilarang pasti sulit, diizinkan pun pemerintah pasti berpikir dua kali.
Pathurahman, Ketua Kelompok Peternak Sapi Potong Sapi Perah (PP SPSP) Jakarta Selatan, menjelaskan, peternakan sapi di tengah Ibu Kota itu sudah menjadi budaya, khususnya warga Betawi yang dipegang puluhan tahun. Awalnya, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan sapi jenis Friesian Holstein untuk memenuhi kebutuhan protein warganya saat itu.
Baca juga: Mewaspadai Ancaman dan Dampak Zoonosis
Seiring berakhirnya kekuasaan Belanda, beberapa warga Betawi mengembangkan usaha ini, tepatnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Kawasan yang kini dilabeli ”Segitiga Emas” karena menjadi pusat bisnis, ekonomi, bahkan pemerintahan di Ibu Kota. Tidak hanya di sana, peternakan sapi berkembang di daerah Jagakarsa, Mampang Prapatan, Pancoran, dan Pasar Minggu.
Aturan minim
Pertumbuhan Jakarta yang begitu pesat membuat para peternak sapi harus tergeser. Pada 1986, terbit Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 300/1986 tentang Penetapan Penguasaan Perencanaan Peruntukan Bidang Tanah untuk Peternakan Sapi Perah, yang isinya merelokasi para peternak dari Kuningan menuju Pondok Rangon, Jakarta Timur.
Hal ini juga didasari rencana Presiden Soeharto yang menetapkan kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, sebagai lokasi pembangunan rumah dinas bagi para diplomat negara sahabat.
Beruntung bagi Pathur, ia mendapatkan lahan di Pancoran sehingga tidak perlu pindah jauh. Meski sudah pindah, pertumbuhan kota Jakarta tetap tidak bisa ia hindari.
Dari yang awalnya hanya beberapa rumah, kini di sekitar peternakan milik Pathur sudah terbangun ratusan rumah. Dampaknya, saluran air yang biasa digunakan sebagai tempat mengalirkan limbah kotoran tanpa gangguan kini melewati banyak rumah warga. Hal ini berpotensi menimbulkan protes di kemudian hari.
Mirisnya, hingga kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki aturan yang merinci soal larangan, teknis, izin, mengenai pembuangan limbah kotoran ternak. Pathur pun sedikit ragu bila pemerintah bisa mengeluarkan aturan demikian. Meskipun begitu, di tengah kekosongan aturan, para peternak pun tetap mencoba mengolah limbah dengan baik dengan memanfaatkannya menjadi biogas ataupun pupuk.
”Saya tidak memungkiri masalah lingkungan ini. Limbah sapi menjadi polutan. Tapi, menurut saya, kalau dilarang pasti sulit, diizinkan juga pemerintah berpikir-pikir lagi. Semoga kebijakannya adil dan menguntungkan sejumlah pihak, tidak satu pihak saja. Ini bukan masalah sepele karena menyangkut mata pencarian,” katanya singkat.
Baca juga: Kucing, di Mana-mana Ada Kucing
Kepala Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan Pertanian (KPKP) Jakarta Selatan Hasudungan Sidabalok menambahkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang belum memiliki aturan mengenai larangan pembuangan limbah hewan ternak.
Peraturan mengenai spesifikasi teknis peternakan sapi di tengah kota masih minim. Ia meminta agar para peternak lebih memperhatikan pembuangan limbah, salah satunya mulai memisahkan pembuangan limbah padat dan cair.
”Aturan soal teknis pembuangan limbah sapi memang belum ada. Agar pengendalian limbah dapat dilakukan dengan lebih tepat, peternak juga perlu jumlah sapi agar sesuai dengan pengolahannya bisa maksimal. Beberapa sudah tidak sesuai antara jumlah sapi yang diternak dan luasan lahan yang ditetapkan,” ujar Hasudungan.
Daya dukung
Tidak hanya hewan ternak saja yang menjadi contoh bagaimana hubungan manusia dan hewan terus berubah seiring bertumbuhnya kota, hewan peliharaan pun menjadi sorotan.
Pada Kamis (5/7/2023) pukul 03.00 WIB, warga RT 012 RW 005 Sunter Agung, Jakarta Utara, Suminah (56), kaget saat mendapati tiga dari empat kucing ia pelihara mati mendadak. Padahal, sehari sebelumnya kucing miliknya masih bermain di sekitar rumah. Tiga kucing tersebut mengalami kejang sampai akhirnya mati.
Tak mengerti hal apa yang menimpa kucing miliknya, ia tidak memberi tahu siapa pun mengenai itu.
Beberapa hari berselang, ia mengunggah video kucing miliknya yang sedang kejang di malam kejadiannya, di aplikasi perpesanan instan. Unggahan tersebut mendapat reaksi warga sekitar yang menyebut kucing mereka mengalami hal serupa, sampai akhirnya pihak lingkungan turun untuk mengecek.
”Ternyata bukan saya saja, kucing tetangga-tetangga lain juga kena dan akhirnya viral,” ucapnya.
Mendengar kabar banyaknya kucing yang mati mendadak, Vidyah (49), warga di lingkungan yang sama, berharap kucing miliknya tidak ikut menjadi korban. Sayangnya, pada Jumat (14/7/2023), kucing liar yang ia rawat secara swadaya oleh warga juga mati mendadak.
Ia sempat membawa kucing tersebut untuk diperiksa oleh Pihak Suku Dinas KPKP Jakarta Utara. Hasilnya, kucing itu dinyatakan kelelahan saja. Namun, beberapa jam setelah diperiksa, kucing yang dinamai ”Mimin” itu mati.
Sebelum mati, kondisi kucing peliharaan milik Vidyah mirip dengan kucing milik Suminah. Napas terengah, kejang, lalu mati. Beberapa kucing di lingkungan itu sebelum mati diketahui juga mengeluarkan cairan dari kelaminnya terlebih dahulu.
Hingga Minggu (16/7/2023), total 31 kucing di kawasan tersebut mati mendadak. Penyebabnya utamanya masih misteri, pemeriksaan oleh Dinas KPKP DKI Jakarta bersama dengan Balai Veteriner Subang Kementerian Pertanian terus dilakukan.
”Organnya normal, jadi belum ada indikasi diracun, tetapi di lambungnya ada cacing. Jadi, memang beberapa ekor kucing kekurangan nutrisi. Penyebab utamanya masih akan kita investigasi,” ucap Kepala Dinas KPKP DKI Jakarta Suharini Eliawati.
Sangat mudah menemui kucing liar di kawasan Sunter Agung ini. Jumlahnya yang banyak pun terkadang merugikan warga, salah satunya adalah buang kotoran sembarangan. Sampai-sampai di RT 002 dan beberapa RT lainnya, warga menaruh botol berisi air mineral di pot. Cara itu disebut ampuh menghalangi kucing liar naik dan membuang kotoran di tanaman milik warga.
Staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Djuanda, Bogor, Annisa Rahmi, menjelaskan, pertumbuhan penduduk membuat luas lahan, baik di perkotaan maupun perdesaan, semakin terbatas.
Konsekuensinya, jarak antara lokasi peternakan dan permukiman warga akan terus mendekat. Aturan yang mengatur mengenai ini pun harus didetailkan karena dianggap minim.
Menurut dia, memastikan kehadiran sanitasi dan sistem pengolahan limbah yang baik dapat menjadi langkah awal apabila memang hal tersebut tidak bisa dihindari.
”Jarak antara peternakan dan permukiman itu minimal 100 meter. Bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga agar tidak ada kontak langsung sebagai antisipasi apabila terjadi penyakit-penyakit zoonosis yang bisa merugikan manusia. Aturan-aturan ini perlu dirumuskan dengan komprehensif,” ucap wanita yang juga berprofesi sebagai dokter hewan ini.
Tidak hanya bagi ternak, hal yang sama berlaku bagi mereka yang memiliki hewan peliharaan karena jarak rumah ke rumah juga lebih dekat. Daya dukung perkotaan terhadap kesejahteraan hewan tersebut pun semakin terbatas. Apalagi, masih banyak masyarakat yang menilai, menyejahterakan hewan hanya sekedar memberi makan dan minum saja.
Padahal, memenuhi kesejahteraan hewan juga harus memenuhi aspek lain, yaitu hewan diberi ruang untuk menyalurkan naluri kehewanannya secara alami, mendapatkan tempat yang nyaman, lingkungan bersih, dan bebas dari rasa takut. Akan tetapi, sulit melakukannya di tempat yang semakin terbatas.
Baca juga: Jumlah Kucing Mati di Sunter Terus Bertambah, Penyebab Masih Diinvestigasi
”Dampaknya, masyarakat hanya merawat saat masih lucu saja, saat sudah besar, sifat kehewanannya mulai terlihat, pemilik hewan tidak sanggup dan mengabaikannya. Ini yang menjadi awal semakin banyaknya kucing dan anjing liar. Ini mengapa sterilisasi penting. Edukasi juga, kesejahteraan hewan tidak hanya sekadar memberi makan,” tuturnya.
Masyarakat perkotaan harus terus bersiasat agar tetap bisa hidup harmonis dengan hewan. Kasus-kasus yang menjadi pemicu pun harusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang menjawab kompleksitas hubungan dua makhluk hidup ini.
Pada akhirnya, menceritakan kisah Jakarta tidak hanya soal hubungan manusia-manusia di dalamnya, tetapi juga dengan makhluk hidup lainnya.