Warga Kampung Susun Bayam: Kami Ditelantarkan dan Dilupakan
Perjuangan panjang warga calon penghuni Kampung Susun Bayam di Tanjung Priok untuk menempati hunian layak berakhir tanpa kepastian. Mereka bak calon pengantin yang gagal ke pelaminan, ditelantarkan, dan dilupakan.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Deretan rumah petak di belakang area pertokoan Jalan Tongkol, Pademangan, Jakarta Utara, tampak tertata rapi. Di gang-gang rumah petak yang sempit itu, tumbuh beragam tanaman hortikultura yang diberdayakan warga.
Kondisi rumah petak yang tampak hijau itu merupakan hunian sementara puluhan warga Kebon Bayam, Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang direlokasi tiga tahun lalu. Kala itu, mereka direlokasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta demi pembangunan mega proyek Jakarta International Stadium (JIS).
”Di sini, sakit kami, makin terpuruk. Tempat ini juga mau dibangun rusun. Kalau tempat ini digusur, kami bakal lebih terpuruk dan mungkin telantar,” kata M Furkhon, salah satu warga yang ditemui di hunian sementara itu, Jumat (7/7/2023) siang.
Hunian sementara yang ditempati sekitar 50 keluarga itu dibangun warga dari uang kompensasi yang diberikan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Pemprov DKI Jakarta. Uang kompensasi yang diperoleh warga pun jumlahnya bervariasi mulai dari yang terendah Rp 6 juta hingga Rp 40 juta.
Pemberian uang kompensasi tak berarti menghapus hak warga eks Kebon Bayam untuk mendapat hunian dari pemerintah. Sebab, sejak awal atau pada 2017, warga eks Kampung Bayam telah dijanjikan pemerintah daerah untuk diberdayakan dan dibina.
Janji itu merupakan kontrak sosial yang diteken Anies Baswedan dan Sandiaga Uno selaku kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi DKI Jakarta periode 2017-2022. Wujud dari kontrak sosial itu pun berjalan mulus sejak awal.
Warga Kebon Bayam yang tinggal di area yang kini telah berubah wujud jadi kawasan olahraga Jakarta International Stadium itu tak pernah diabaikan pemerintah daerah. Legalitas kependudukan mereka yang awalnya berbeda-beda RT, RW, atau kelurahan diputihkan dan diberi kartu kependudukan baru sesuai wilayah administrasi mereka tinggal saat itu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menggelar beragam kegiatan di sana, mulai dari pelatihan dan pendampingan, hingga kegiatan festival. Semua kegiatan itu berhasil merebut hati warga. Warga akhirnya sepakat untuk meninggalkan rumah yang mereka tinggali selama puluhan tahun demi pembangunan mega proyek JIS.
Tinggal di area JIS
Menurut Furkhon, warga yang tinggal di area yang terdampak pembangunan JIS jumlah awalnya sekitar 600 keluarga. Sebagian besar atau ratusan keluarga itu kemudian meninggalkan kawasan yang terdampak pembangunan JIS setelah mendapat kompensasi.
”Tetapi tidak dengan kami. Waktu itu, kami sekitar 60 keluarga, belum mau menerima uang kompensasi jika tidak ada kejelasan pemukiman kembali,” kata Furkhon.
Permintaan puluhan keluarga itu agar dimukimkan kembali di area yang sejatinya merupakan lahan atau aset pemerintah daerah itu disepakati Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Wujud dari kesepakatan itu kini berwujud Kampung Susun Bayam yang terdiri dari tiga menara, berlantai empat, dan memiliki 138 unit hunian. Kampung susun itu berdiri di area JIS tepatnya di atas lahan seluas 17.354 meter persegi.
Mimpi warga Kebon Bayam untuk menempati kampung susun itu hampir menjadi kenyataan saat mulai diresmikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diakhir masa jabatannya pada 12 Oktober 2022. Seusai peresmian, PT Jakpro selaku pihak yang membangun kampung susun itu memberi kepastian hunian kepada warga dengan menerbitkan surat keputusan calon penghuni Kampung Susun Bayam.
Total ada 123 keluarga yang terdata sebagai penghuni kampung susun. Jumlah itu didasarkan pada rekomendasi Wali Kota Jakarta Utara dalam suratnya bernomor e-0176/PU.04.00. Surat itu terbit sejak 30 Januari 2022.
”Janjinya, saat itu, kami akan tempati kampung susun sebelum Januari 2023,” kata Furkhon.
Merasa ditinggalkan
Namun, usai tampuk kepemimpinan DKI berganti, komitmen Pemprov DKI kini berubah. Warga yang sudah terdaftar sebagai calon penghuni Kampung Susun Bayam justru ditawarkan bermukim di Rusun Nagrak, Jakarta Utara. Opsi melanjutkan menghuni Kampung Susun Bayam terkendala, di antaranya tidak ada kesepakatan harga sewa unit antara warga Kampung Bayam dan PT Jakpro.
Kini sebagian warga calon penghuni Kampung Susun Bayam tetap bertahan di hunian sementara. Hunian sementara itu pun terancam di gusur.
Topik Rohman (37), salah satu warga yang tinggal di hunian sementara, Jumat, tak memiliki aktivitas apa pun. Dia kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena sejak berpindah dari Kebon Bayam, mata pencariannya sebagai petani tambak terpaksa ditinggalkan.
Kami merasa didiskriminasi. Warga sekitar sini kadang sering bertanya, kapan kami pindah dari sini. Tempat ini juga mau dibangun rusun, otomatis tempat tinggal kami pasti digusur.
”Dulu masih di Kebon Bayam, sebulan bisa dapat Rp 2 juta dari tambak ikan. Di sini, saya ngojek. Itu pun pakai akun (ojek daring) teman karena saya tidak punya SIM,” kata ayah satu anak itu.
Bekerja sebagai pengojek daring dengan berbagi akun, Topik tak bisa rutin. Dia harus berbagi waktu untuk mencari penumpang dengan kerabatnya. Situasi ini menyebabkan pendapatannya tak menentu atau setiap hari uang yang diperoleh rata-rata hanya Rp 30.000. Uang itu kerap kurang untuk keperluan makan sehari-hari bersama keluarga kecilnya.
Kondisi yang dialami Topik turut dirasakan warga lain yang bermukim di hunian sementara itu. Selain kesulitan memenuhi ekonomi keluarga, mereka juga kini mendapat suplai listrik secara ilegal karena menunggak biaya pembayaran listrik.
”Kami merasa didiskriminasi. Warga sekitar sini kadang sering bertanya, kapan kami pindah dari sini. Tempat ini juga mau dibangun rusun, otomatis tempat tinggal kami pasti digusur,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Retno Sulistyaningrum saat wawancara khusus bersama Kompas, Jumat (14/7/2023), menolak untuk menjelaskan mengenai kepastian peruntukan Kampung Susun Bayam. ”Masih dalam pembahasan,” kata Retno singkat.