Kondisi memprihatinkan Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, bukan persoalan baru. Kondisi tersebut sudah berlangsung setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY, ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Blok G Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat bak anak tiri kurang terurus. Pasar yang menjajakan barang kelontong, pakaian, makanan dan minuman, serta produk tekstil itu sepi dan kotor. Banyak kios tutup ataupun tertempel kertas tagihan biaya sewa sejak pertengahan tahun 2022.
Saat ini, Perumda Pasar Jaya masih mendata jumlah pedagang dan tempat usaha yang tersisa. Pendataan itu akan berlanjut revitalisasi yang belum pasti kapan waktunya. Kondisi memprihatinkan Blok G Pasar Tanah Abang ini bukan persoalan baru. Kondisi tersebut sudah berlangsung setidaknya selama satu dasawarsa terakhir.
Jumat (14/7/2023) pagi, kawasan Pasar Tanah Abang ramai hingga padat oleh lalu lalang orang dan kendaraan. Kondisi itu kontras dengan Blok G Pasar Tanah Abang yang sepi, terutama di lantai dua dan tiga. Jalur pejalan kaki dari jembatan penyeberangan orang Stasiun Tanah Abang ke Blok G tertutup teralis besi. Akan tetapi, dari jembatan tampak aktivitas di lantai dasar dan lantai satu yang berjalan normal.
Pagi itu Blok G jauh lebih bersih. Ada sejumlah pasukan oranye yang memangkas pohon, menyapu halaman, dan membersihkan selokan. Sehari sebelumnya, Polres Metro Jakarta Pusat, kecamatan, kelurahan, dan pedagang juga bersama-sama membersihkan Blok G. Bersih-bersih ini setelah ramai pemberitaan keadaan Blok G yang tak terurus. Bahkan, lokasinya disinyalir jadi sarang premanisme dan narkotika.
Waswas
Nyali sedikit ciut ketika hendak masuk ke Blok G. Lampu penerangan di selasar kios redup. Lantai dan temboknya kotor. Eskalator tidak beroperasi dan beberapa akses tangga tertutup teralis besi.
Suasana di Blok G seakan hidup segan mati tak mau. Banyak kios tutup. Pada rolling door berdebu tertempel kertas tagihan biaya sewa sejak pertengahan tahun 2022.
Sutarsono (64) tengah duduk sambil membolak-balik halaman surat kabar. Pedagang bahan pokok itu membaca berita tentang Blok G yang tak terurus sehingga diduga jadi sarang premanisme dan narkotika.
”Sebetulnya di sini kawasan yang menguntungkan. Sayang pengaturannya jelek. Aksesnya kurang, eskalator mati sejak lama, keamanan kurang sehingga bikin orang waswas, parkir liar mahal jadi bikin orang pada malas,” kata warga lansia yang berjualan di Tanah Abang sejak tahun 1967 itu.
Blok G sejak awal jadi tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL) yang sebelumnya marak di jalanan di kawasan Pasar Tanah Abang. Area pasar untuk PKL ini dibangun di atas lahan bekas Terminal Tanah Abang setelah terminal dipindah ke Lebak Bulus pada 1980-an.
Luas lahan untuk pasar sekitar 3.000 meter persegi. Pasar dibangun empat lantai dengan luas bangunan 4.137 meter persegi, menghabiskan dana Rp 3,4 miliar, diproyeksikan menampung 500 PKL, dan ada area parkir 60 kendaraan (Kompas, 5 Januari 1987).
Seiring waktu, Blok G kumuh dan fasilitasnya buruk sehingga PKL enggan pindah ke sana. Saat hujan kerap banjir di depan Blok G. Ketersediaan lahan parkir termasuk kurang hanya untuk 800 sepeda motor dan tidak ada area parkir mobil.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pun merevitalisasi Blok G tahun 2013. Dia meresmikan kembali kios-kios yang ditempati PKL. Peresmian kios ditandai dengan penyerahan kunci kepada perwakilan pedagang. Sebanyak 968 kios terisi penuh dalam dua tahap pengundian.
Namun, tiga tahun setelah relokasi, Blok G kembali sepi. Sebagian besar PKL meninggalkan pasar itu. Kini hanya sedikit pedagang yang bertahan karena minim modal. Perumda Pasar Jaya mencatat ada 320 pedagang di Blok G hingga Juli 2023. Jumlahnya itu berkurang lebih dari setengah dalam kurun waktu 10 tahun.
Surut
Sutarsono merasakan pasang-surutnya Blok G. Bahkan, selama satu dekade terakhir terasa lebih banyak surutnya.
Sutarsono awalnya punya 26 kios di Blok G. Sekarang terisa empat kios. Dua di lantai dasar, 1 di lantai 1, dan 1 lagi di lantai 2. Dia membayar retribusi Rp 4.000 per kios setiap hari.
”Dulu beras 3 ton habis dalam empat hari. Sekarang 100 kg atau 150 kg terjual dalam sehari,” kata Sutarsono. Alhasil pendapatannya turun dari Rp 5 juta sampai Rp 10 juta menjadi Rp 2 juta ke bawah.
Dia berharap ramainya pemberitaan tentang Blok G jadi pemantik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Perumda Pasar Jaya untuk merevitalisasi Blok G.
Aksesnya susah. Bagaimana pengunjung mau masuk. Bangunan ini seperti sawah yang dangkal, tidak menghasilkan panen.
Kian sepinya pasar juga dialami Misriah (56). Pedagang ini lebih banyak duduk ketimbang meladeni pembeli. Deretan busana muslim di kiosnya sampai kusam dan berdebu.
”Enggak ada pilihan lain. Sedih, tetapi bertahan karena dapat tempat di sini. Kalau cari lokasi lain harus ada uang lagi. Duit dari mana,” ucap warga Petamburan itu.
Misriah sudah berdagang sejak 2006. Dia punya dua kios di Blok G yang berdampingan. Satu kios busana, satu lagi menjual minuman. Biaya sewa kiosnya Rp 1.160.000 per bulan dan dapat dicicil.
Pemasukannya Rp 30.000 sampai Rp 100.000. ”Aksesnya susah. Bagaimana pengunjung mau masuk. Bangunan ini seperti sawah yang dangkal, tidak menghasilkan panen,” ujar Misriah.
Manajer Hubungan Masyarakat Perumda Pasar Jaya Agus Lamun memastikan sinergi dengan pihak lain supaya Blok G terjaga kebersihannya. Juga tumbuh rasa memiliki pasar dan lingkungannya.
”Pasar Jaya akan revitalisasi Blok G. Saat ini kami tengah mendata pedagang dan tempat usaha yang merupakan bagian dari proses revitalisasi. Kami cenderung mempercepat proses revitalisasi agar nantinya pasar jadi lebih baik,” kata Agus.
Perumda Pasar Jaya berharap nantinya revitalisasi meningkatkan fisik dan aktivitas pengunjung Blok G.