PT KCI mendorong saksi atau korban berani melapor tindak pelecehan seksual kepada petugas agar pelaku bisa langsung ditindak. Merekam dan mengunggah ke media sosial justru bisa menjadi bumerang.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus penyimpangan seksual kembali terjadi di dalam KRL Commuter Line. Seorang pria melakukan onani di dalam gerbong relasi Tanah Abang-Rangkasbitung, Senin (10/7/2023). PT Kereta Commuter Indonesia meminta penumpang tidak hanya merekam lalu mengunggahnya di media sosial, tetapi juga lebih berani langsung melapor kepada petugas di rangkaian kereta.
Dalam video yang beredar di Twitter, seorang penumpang pria tengah melakukan onani dengan ditutupi tasnya. Seorang penumpang di sebelahnya hanya merekam aksi tersebut dan langsung berpindah tempat duduk. Dia tidak melaporkannya kepada petugas yang juga ada di dalam gerbong itu, tetapi mengunggahnya ke media sosial.
Manager External Relations and Corporate Image Care KAI Commuter Leza Arlan menjelaskan, sampai saat ini pihaknya belum bisa mengidentifikasi pelaku walau menurut keterangan video itu disebutkan pelaku turun di Stasiun Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten. Leza justru menyayangkan penumpang yang merekam tidak langsung melaporkan kejadian itu ke petugas di gerbong kereta agar bisa segera ditindak.
Selain itu, penumpang juga bisa langsung menghubungi layanan 24 jam ke nomor telepon 021-121 atau di nomor whatsapp 08111-2111-121 agar segera ditindak petugas di gerbong dan stasiun.
”KAI Commuter mengharapkan kerja sama yang baik dengan seluruh pengguna sekaligus mengimbau apabila melihat atau menjadi korban tindakan yang melanggar hukum atau norma-norma agama untuk segera laporkan kepada petugas di dalam Commuter Line ataupun di area stasiun untuk ditindaklanjuti oleh petugas,” kata Leza, Jumat (14/7/2023).
Menurut dia, penumpang yang merekam dan menyebarkan peristiwa itu ke media sosial justru berpotensi terjerat hukum karena dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 Ayat 3 disebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja mendistribusikan video yang menghina atau mencemarkan nama baik seseorang.
”Kami juga sangat menyayangkan kepada pengguna lain yang mengetahui kejadian tersebut, merekam tindakan itu yang melanggar undang-undang. Gunakan media sosial dengan bijak,” ucapnya.
Kasus ini menambah panjang daftar kasus pelecehan seksual di KRL. Sepanjang tahun 2022 saja tercatat ada 70 kasus, kebanyakan terjadi pada rangkaian kereta relasi Jakarta Kota-Bogor, kemudian Tanah Abang-Rangkasbitung, Jakarta Kota-Bekasi, dan Jakarta Kota-Tangerang.
Bentuk pelecehannya beragam, mulai dari meremas atau menyentuh bagian tubuh, menempelkan alat kelamis, hingga ekshibisionisme dan onani seperti yang baru terjadi.
Terpisah, psikolog dari Universitas Indonesia, Cantyo Atindriyo Dannisworo, menjelaskan, tidak mudah bagi seorang saksi atau korban untuk langsung melaporkan tindak pelecehan seksual kepada petugas. Namun, keberanian melapor harus dibiasakan agar pelaku segera ditindak.
”Jika kita merasa tidak aman dan sangat terganggu, biarkan petugas yang berwenang yang mengambil alih situasi tersebut. Teguran atau hukuman ini menjadi sangat penting karena dengan begitu, orang tersebut diharapkan dapat paham bahwa apa yang dilakukannya tidaklah benar,” kata Cantyo.
Untuk kasus di atas, dia menyebutkan bahwa kemungkinan pria tersebut mengalami permasalahan dalam mengelola diri dan dorongan seksualnya, seperti mengidap hiperseksualitas. Bisa juga dia mengalami gangguan lain, yakni ekshibisionis atau orang yang merasakan gairah seksual ketika menunjukkan alat kelaminnya ke orang lain.
Pengidap ekshibisionis umumnya adalah laki-laki. Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental Edisi Ke-5 (DSM-5) 2013 menyebut, 2-4 persen laki-laki global yang sudah pubertas menderita gangguan ekshibisionistik. Gangguan ini bisa disembuhkan dengan terapi-terapi psikologis dan medis agar pengidap bisa mengendalikan dorongan seksual dan meregulasi dirinya menjadi labih baik.