Pulau Sampah Pesisir Muara Angke Bisa Diubah Jadi Hutan Mangrove
Sampah yangmenumpuk bertahun-tahun di pesisir Muara Angke itu identik dengan kondisi awal kawasan hutan mangrove Kali Adem, Muara Angke. Mangrove di kawasan itu tumbuh di atas sampah.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampah di pesisir Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, menumpuk selama puluhan tahun, bercampur lumpur dan membentuk daratan atau pulau. Upaya mengatasi sampah laut itu tak harus diangkut ke daratan. Pulau sampah itu bisa dibudidayakan sebagai kawasan baru konservasi mangrove.
Pada Kamis (13/7/2023) pagi, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto, didampingi Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan, Kepala Polres Pelabuhan Tanjung Priok Ajun Komisaris Besar Ferikson Tampubolon, beserta ratusan personel kepolisian dan petugas kebersihan dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta turut terlibat membersihkan sampah di pesisir Muara Angke.
Proses pembersihan yang berlangsung selama sekitar satu jam itu lokasinya berada di kawasan hutan mangrove Kali Adem Muara Angke. Kawasan mangrove tersebut dikelola warga setempat yang tergabung dalam Komunitas Mangrove Muara Angke.
Lokasi pembersihan sampah yang dihadiri pimpinan tertinggi Polda Metro Jaya yang bertajuk ”Peduli Kebersihan Lingkungan Laut” itu berjarak ratusan meter dari lokasi sampah yang menumpuk. Sampah yang menumpuk membentuk daratan itu berada di sisi lain kawasan konservasi mangrove dan hanya bisa digapai dengan perahu.
”Masalah kebersihan ini tidak bisa spontan. Hari ini kami datang tidak langsung bersih. Ini menyangkut habit dari warga masyarakat karena kita lihat sampahnya, sampah makanan semua, plastik, apa segala macam ada di sini,” ucap Karyoto.
Menurut Karyoto, pembersihan melibatkan 350 personel gabungan itu caranya kurang tepat. Namun, pihaknya masih tetap meluangkan waktu untuk membersihkan sampah di hutan mangrove itu bermodalkan semangat. Pihak kepolisian bersama dengan dinas terkait akan mencari cara lain dalam membersihkan sampah di Muara Angke.
Sampahnya sudah lama sekali menumpuk. Sedikit-sedikit, akhirnya jadi seperti itu. Kedalaman sampahnya itu sekitar 10 meter dan sudah bercampur lumpur.(M Zaid)
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Sarjoko mengatakan, area yang terdampak sampah di pesisir Muara Angke sangat panjang dan luas. Proses pengangkutannya pun tak sederhana seperti yang dibayangkan.
”Sampahnya sudah bercampur lumpur. Perlu upaya keras untuk mengambil sampah-sampahnya. Kapal-kapal kami juga harus transit dulu untuk memindahkan sampah ke kapal yang lebih besar,” katanya.
Sarjoko pun tak bisa menentukan lamanya jangka waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan sampah di pesisir Teluk Jakarta tersebut. Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama pemangku kepentingan lain tetap berkomitmen untuk membersihkan sampah tersebut.
Tertimbun puluhan tahun
M Zaid (47), warga RT 006 RW 022 Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, mengatakan, sampah yang menumpuk di pesisir Muara Angke berasal dari berbagai tempat. Sampah itu terbawa oleh gelombang pasang laut dan terdampar bersama lumpur di pesisir Muara Angke.
”Sampahnya sudah lama sekali menumpuk. Sedikit-sedikit, akhirnya jadi seperti itu. Kedalaman sampahnya itu sekitar 10 meter dan sudah bercampur lumpur," kata Zaid yang juga pengurus dari Komunitas Mangrove Muara Angke.
Menurut Zaid, sampah yang telah menumpuk bertahun-tahun di pesisir Muara Angke itu identik dengan kondisi awal kawasan hutan mangrove Kali Adem Muara Angke. Kawasan yang kini telah berubah jadi hutan mangrove itu sebelum 2008 juga dipenuhi sampah yang telah bercampur lumpur.
”Pada 2008, kami melakukan penanaman pertama, tetapi tidak berhasil. Setelah itu kami berkunjung ke Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta dan kami banyak belajar. Dari situ, saat penanaman kedua, 90 persen dari 500 bibit mangrove yang ditanam berhasil tumbuh,” katanya.
Keberhasilan penanaman mangrove kala itu kemudian terus berlanjut hingga kini. Saat ini, mangrove yang tumbuh di kawasan hutan mangrove Kali Adem Muara Angke luasnya mencapai 2 hektar. Hutan mangrove yang terdiri dari bakau, pidada, dan api-api itu telah dimanfaatkan warga untuk beragam kerajinan dan olahan yang berdampak pada perekonomian warga.
”Hutan Mangrove ini hutan yang tumbuh di atas sampah. Jadi, sampah yang sudah jadi daratan itu pun sebenarnya bisa diubah jadi kawasan konservasi," ucap Zaid.
Memungkinkan
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta Suharini Eliawati, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, Muara Angke merupakan suatu kawasan yang pengelolaannya sebagian berada di pemerintah pusat dan sebagian lagi ada di pemerintah daerah. Adapun penanganan kebersihan di Kawasan Muara Angke ditangani UPT Pengelola Pelabuhan Perikanan, Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian. Sampah di pesisir itu kesehariannya ditangani bersama Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
”Sampah yang ada sekarang itu di kawasan hutan mangrove. Memang ada yang dikelola oleh pemerintah pusat melalui BKSDA atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada juga di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tetapi, sepanjang itu ada di pesisir utara, itu selalu kami yakinkan menjadi gerakan masyarakat untuk bisa jadi tanggung jawab bersama," kata Suharini.
Adapun terkait usulan mengubah pulau sampah di Muara Angke menjadi kawasan konservasi, Suharini menyebut usulan itu memungkinkan. Namun, dibutuhkan kepastian dan kerja sama berbagai pihak agar usulan itu tak berakhir sia-sia.
”Komunitas mangrove di Muara Angke itu mereka juga trial and error. Kami benar-benar dampingi dari mereka tidak tahu cara budidaya mangrove sampai sekarang ini mereka bisa membuat olahan dari mangrove," katanya.