Pemerkosa Anak Kandung Meregang Nyawa di Balik Jeruji Besi Polres Metro Depok
Dalam subkultur tahanan di Indonesia, seperti pelaku pelecehan atau kekerasan seksual kerap mendapatkan perlakuan ”khusus” dan incaran tahanan lainnya.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
AR (50), tahanan Kepolisian Resor Metro Depok, tewas di balik jeruji besi, Sabtu (8/7/2023) pukul 18.45. AR yang merupakan pelaku tindak kekerasan seksual terhadap putri kandungnya meregang nyawa setelah dikeroyok oleh delapan tahanan.
AR ditahan di rumah tahanan Polres Metro Depok, Rabu (5/7/2023). Belum genap satu minggu, kabar tindakan bejat AR sampai ke para tahanan lainnya. Hal itu memicu kemarahan delapan tahanan lain hingga berujung pengeroyokan kepada AR. Adapun delapan tahanan itu meliputi Maulana (35), Prasetya (28), Ferry (32), Hasby (27), Achmad (23), Herianto (33), Farhan (27), dan Ficky (29).
”Para pelaku kesal karena AR melakukan tindakan asusila kepada anak kandungnya sendiri sehingga terjadi pengeroyokan,” kata Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Depok Ajun Komisaris Nirwan Pohan, Selasa (11/7/2023).
Nirwan membantah jika pengeroyokan itu karena motif permintaan uang kamar.
Dari pemeriksaan, pengeroyokan bermula saat penghuni sel nomor 3, Maulana, mendapat informasi bahwa AR merupakan pelaku kekerasan seksual. Maulana pun mengonfirmasi kabar tersebut. Tahu AR telah bertindak bejat, Maulana merasa kesal dan menendang AR. Kejadian itu terjadi pukul 14.20.
Tak lama berselang, narapidana Ferry mendatangi pelaku dan menanyakan hal serupa. Ferry ikut kesal dan memukul pelaku. Tindakan itu ternyata menarik perhatian tahanan lainnya. Selanjutnya, Prasetya, Hasby, Heri, Farhan, Ficky, Achmad, dan Ferry mengelilingi korban dan memukuli AR.
Setelah dipukuli, AR sempat diberikan minum. Saat hendak mandi, AR pingsan di samping pintu kamar mandi. Melihat kondisi itu, para tahanan lainnya meminta tolong kepada petugas dan AR langsung dibawa ke rumah sakit. Namun, nyawa AR tidak tertolong.
”Hasil visum belum, masih menunggu hasil autopsi penyebab kematian. Luka luar yang terlihat di pantat, dada, dan punggung. Kami sita potongan pipa yang digunakan untuk memukul korban di bagian pantat. Potongan pipa itu sepertinya dipatahin pelaku,” kata Nirwan.
Petugas jaga, menurut Nirwan, tidak segera mengetahui ada peristiwa pengeroyokan itu karena kondisi ruang sel yang ramai oleh kegiatan para tahanan. Selain itu, jarak antara pos jaga dan kamar sel tempat terjadi pengeroyokan cukup jauh dari pos petugas jaga.
”Pengawas 24 jam. Karena tahan banyak. Kebiasaan tahanan biasanya menghibur diri dengan bernyanyi dan bermacam-macam sehingga tidak terdengar itu. Jaraknya itu diujung di kamar paling belakang sekitar 20 meter,” ujarnya.
Saat ingin mengetahui kondisi di dalam ruang sel, awak Kompas hanya diizinkan melihat dari pintu masuk. Di depan pintu hingga di pos penjaga, sejumlah polisi sedang berjaga. Sementara itu, aktivitas di lingkungan berjalan normal. Polres Metro Depok tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dari kasus pengeroyokan oleh sesama tahanan itu, kata Nirwan, pihaknya memberikan perhatian agar tindakan serupa tidak lagi terulang.
”Pengaturan jarak kontrol pengawas bisa lebih cepat. Kalau piket itu ada cek tahanan, ya. Semakin sering cek biar memperkecil ruang melakukan hal seperti ini (perkelahian atau pengeroyokan),” kata Nirwan.
Delapan tahanan yang mengeroyok AR itu dikenai Pasal 170 Ayat 2 butir 3e dan Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman 15 tahun penjara.
Potensi risiko
Direktur Program Center for Detention Studies Gatot Goei mengatakan, kasus kematian tahanan di Kota Depok memperlihatkan kelalaian dan lemahnya pengawasan oleh petugas kepolisian. Kasus pengeroyokan itu bisa dihindari atau dicegah jika petugas memisahkan pelaku pidana kekerasan seksual dengan pelaku pidana lainnya.
”Dalam subkultur tahanan di Indonesia, seperti pelaku pelecehan atau kekerasan seksual kerap mendapatkan perlakuan khusus dan incaran tahanan lainnya,” kata Gatot.
Tidak hanya terhadap tahanan pelaku kekerasan seksual, tahanan lainnya juga berlaku sama. Aparat penegak hukum harus paham potensi risiko tahanan dianiaya atau menganiaya sehingga perlu ada pemisahan tahanan.
”Dalam UU, seorang itu wajib ada penilaian risiko. Pelaku kekerasan seksual itu potensi besar untuk diserang atau mendapat tindakan kekerasan sehingga harus dipisah dengan tahanan lainnya. Sering kali yang terjadi semua tahan dari latar belakang tindakan pidana dicampur menjadi satu sel tanpa ada assessment tingkat emosi hingga risiko terjadi gesekan,” ujar Gatot.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, penanganan tahanan berada di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Namun, dalam aturan itu, juga memberikan ruang kepada institusi lain untuk memfasilitasi para tahanan dengan alasan prasarana, Kemenkumham belum siap.
Menurut Gatot, legalitas hukum ini yang kemudian menjadi masalah. Institusi seperti kepolisian diberikan ruang untuk fasilitas rumah tahanan karena prasarana penjara di bawah Kemenkumham banyak yang melebihi kapasitas.
Merujuk produk hukum Undang-Undang Permasyarakatan Nomor 22 Tahun 2022, lanjut Gatot, seorang petugas dalam memperlakukan tahanan harus memberikan perlindungan kepada siapa pun pelaku tindak pidana. Hal itu dilakukan agar pelaku bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ketentuan ini harus berlaku di semua institusi, termasuk kepolisian yang mempunyai rumah tahanan. Oleh karena itu, petugasnya harus diberikan pendidikan khusus, seperti petugas di lembaga permasyarakatan (lapas) di bawah kendali Kemenkumham.
Jika kepolisian tetap diberikan ruang untuk memiliki rumah tahan, menurut Gatot, para petugas harus mendapatkan pelatihan khusus. Atau perlu ada perubahan menyeluruh, perlakuan hingga penanganan kepada tahanan harus sepenuhnya di bawah Kemenkumham.
Kepastian perlindungan hukum kepada para tahanan itu juga harus ada, termasuk berjalannya proses hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku penganiayaan AR. Hal ini untuk memperlihatkan bahwa tidak ada hukum rimba, baik itu kepada sesama tahanan maupun aparat penegak hukum kepada tahanan.