Mengungkap Jejak Gelap Pemerkosa Anak di Depok
Korban kekerasan seksual di salah satu rumah ibadah di Depok berpotensi terus bertambah karena diduga pelaku beraksi sejak dua dekade lalu. Para korban perlu mendapat perlindungan dari diskriminasi dan stigmatisasi.
Korban kekerasan seksual oleh SM (45) di sebuah rumah ibadah bertambah menjadi 20 orang. Pihak rumah ibadah berkomitmen mengungkap kasus tersebut dengan tetap menjaga psikologis anak yang menjadi korban dan menjalani program rehabilitasi. Isu pendidikan seksual pun kembali didengungkan sebagai salah satu upaya menghindari anak dari kejahatan seksual.
Pastor Paroki Santo Herkulanus Yosep Sirilus Natet mengatakan, sejak investigasi internal gereja Maret 2020 hingga penangkapan SM oleh Kepolisian Resor Metro Depok, Senin lalu, ada 11 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Namun, jumlah korban hingga Rabu (17/6/2020) bertambah menjadi 20 anak.
”Laporan terakhir dari tim investigasi internal hingga Rabu siang ini jumlah korban ada 20 anak. Sementara yang sudah lapor ke polisi masih dua keluarga korban,” kata Romo Natet, Rabu (17/6/2020).
Terkait jumlah korban, Romo Natet belum bisa memastikan jumlahnya karena perlu investigasi lebih dalam. Namun, sejak laporan terungkapnya kasus kekerasan seksual, mulai banyak orangtua yang datang dan menghubungi pihak gereja untuk memastikan anak mereka tidak menjadi korban.
Baca juga: Sedikitnya 20 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual, Pengelola Rumah Ibadah Berkomitmen Ungkap Tuntas
”Sejak terungkapnya kasus kekerasan seksual dan saya dampingi saksi ke polisi, orangtua mulai bertanya apakah anak mereka juga menjadi korban. Ada dugaan pula SM sudah melakukan hal ini sejak tahun 2002. Ini yang perlu diinvestigasi. Kami menduga sebelum kasus ini terungkap, ada korban lain yang saat ini sudah remaja dan dewasa,” kata Romo Natet.
Romo Natet mengatakan, pihaknya berkomitmen mengawal kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di lingkungan gereja. Tak hanya itu, dari Keuskupan Bogor juga secara khusus meminta menjaga kondisi psikologi dan sosial korban serta keluarga dengan melakukan upaya rehabilitasi.
”Ini menjadi bentuk pertanggungjawaban secara gereja dan sosial, begitu pula pertanggungjawaban secara hukum. Oleh karena itu, kami bawa kasus ini dan melaporkan ke polisi setelah kami mendapat cukup informasi dan bukti. Dari arahan keuskupan, melalui apa yang kami lakukan saat ini, gereja punya kemauan untuk membongkar kasus ini,” kata Romo Natet.
Dengan peristiwa kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di rumah ibadah, kata Romo Natet, menuntut gereja untuk konsisten mengungkap kebenaran seperti ajaran Yesus meski ini mungkin menyakitkan dan menimbulkan rasa malu yang membekas. Namun, di satu sisi, gereja tetap perlu menjaga serta melindungi korban dan keluarga dari pandangan negatif dunia luar. Oleh karena itu, pihak gereja tidak akan membuka identitas korban dan keluarga.
”Bahwa mereka adalah masa depan kita. Masa depan mereka harus dipulihkan, jangan sampai mereka jadi korban selanjutnya atau jadi pelaku ke depannya. Laporan kasus ini juga menjadi langkah preventif untuk menjaga anak-anak agar tidak ada kasus serupa yang terulang,” kata Romo Natet.
Menurut Romo Natet, kasus kekerasan seksual kembali membuka pentingnya pendidikan seksual, terutama pemahaman relasi antarmanusia.
”Gereja menjadi kontrol pula untuk menjaga pribadi-pribadi anak. Gereja ramah anak. Tidak hanya sebagai ungkapan semata, tetapi kejadian ini juga tidak boleh terjadi lagi di mana pun itu,” kata Natet.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Resor Metro Depok Komisaris Besar Aziz Andriansyah mengatakan masih mendalami keterangan SM untuk mengungkap kasus kekerasaan seksual terhadap anak di bawah umur.
”Kami masih menyelidiki dan mendalami keterangan SM. Untuk berapa jumlah anak yang menjadi korban SM perlu melihat rentang waktu kasus kejadian. Dari laporan tim investigasi internal, diduga SM ini sudah lama bekerja di situ, sekitar tahun 2000. Nah, itu rentang waktu yang panjang, makanya kami juga harus menyelidiki lebih dalam untuk mengetahui jumlah korban,” kata Aziz.
Baca juga: Memulai Keberanian Kecil untuk Melawan Pelecehan Seksual
Stigmatisasi dan diskriminasi
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak, Ai Maryati Solihah, mengatakan, selalu saja ada banyak tantangan, terutama dalam hal sosial, dalam menghadapi kekerasan seksual.
Tak mudah bagi orangtua korban untuk terbuka terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya. Aib, stigmatisasi, dan diskriminasi menjadi penghadang besar bagi orangtua untuk melapor ke polisi.
Tak mudah bagi orangtua korban untuk terbuka terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya. Aib, stigmatisasi, dan diskriminasi menjadi penghadang besar bagi orangtua untuk melapor ke polisi.
Menurut Maryati, permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual harus melibatkan dukungan dan kesadaran semua lapis masyarakat agar stigmatisasi tidak terjadi.
”Anak mempunyai hak untuk tidak terdiskriminasi dan terstigmatisasi. Hal Itu dijamin oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ini yang harus kita lawan dan kesadaran bersama untuk menjaga anak-anak kita, terutama bagi korban,” kata Maryati.
Baca juga: Kepada Siapa Anak Indonesia Berlindung?
Meski begitu, dalam kasus kekerasan seksual di Depok, ada nilai yang bisa dijadikan pelajaran. Dari beberapa kasus yang KPAI dan Polres Depok tangani saat ini, sudah banyak rumah ibadah yang gencar dan kooperatif untuk melaporkan kejadian pelecehan seksual.
”Jadi, apa yang dilakukan rumah ibadah sudah tepat dan sangat perlu diapresiasi untuk membuka kasus dan mau melakukan investigasi hingga melaporkan ke polisi. Apa yang dilakukan bukan untuk menjelekkan institusi agama. Justru anak-anak masa depan bangsa yang terpikirkan. Ini langkah positif dan progresif dari lembaga agama untuk melindungi anak-anak. Mereka memastikan anak-anak terbebas dari hal buruk,” kata Maryati.
Pendidikan seksual
Maryati juga menyinggung status SM yang merupakan pembimbing anak-anak misdinar di rumah ibadah tersebut. Sebagai pembimbing, tak sepantasnya ia berbuat tindak asusila kepada anak-anak. Hal ini memperlihatkan catatan buruk di dunia pendidikan.
”Meski bukan guru secara profesi, SM sebagai pembimbing memiliki peran yang bisa dikatakan sebagai guru yang mendidik. Ini menambah catatan buruk banyaknya pendidik di institusi yang melakukan tindak kekerasan seksual,” kata Maryati.
Sebelumnya, kasus kekerasan seksual oleh guru juga pernah terjadi di Depok pada Juni 2018. WA (24), guru Bahasa Inggris SD Negeri 10 Tugu di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, diduga melakukan kejahatan seksual terhadap puluhan anak didiknya. Kejahatan itu diduga sudah berlangsung lama (Kompas, 7 Juni 2018).
Tidak hanya di Depok, kasus serupa juga terjadi di Tangerang Selatan. DFP (24), guru sekolah rumah (homeschooling), mencabuli anak didiknya. Kasus tersebut terungkap setelah otangtua korban melihat rekaman perlakuan DFP terhadap anak perempuannya GA (13), di satu ruang belajar (Kompas, 13 Mei 2017).
Tidak hanya di Depok, kasus serupa juga terjadi di Tangerang Selatan. DFP (24), guru sekolah rumah (homeschooling), mencabuli anak didiknya.
Berkaca pada beberapa kasus kekerasan seksual oleh pendidik, kata Maryati, memperlihatkan sistem pendidikan tidak ramah terhadap anak.
”Pendidikan di sini artinya tak sebatas ruang sekolah, tetapi juga di institusi nonformal lainnya hingga pendidikan di lembaga di luar sekolah. Kasus SM menjadi peringatan untuk rumah ibadah lainnya dan sekolah,” kata Maryati.
Baca juga: Sekolah Wajib Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual
Terulangnya kasus kekerasan terhadap anak-anak, kata Maryati, juga memperlihatkan rendahnya pendidikan seksual di tataran lapisan masyarakat dan di sekolah. Pendidikan seksual seolah suatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Padahal, pendidikan seksual tidak hanya seputar pengetahuan organ kelamin perempuan dan lelaki atau terciptanya janin dan bayi atau hubungan seksual itu sendiri.
”Pendidikan seksual menjadi bagian kecil pendidikan kesehatan reproduksi. Secara holistik, pendidikan seksual bukan semata tentang kelamin hingga puberitas. Tujuan besar dari pendidikan seksual yaitu mengenali diri sendiri, fungsi organ tubuh, mengenal relasi dengan sesama, lawan jenis, kenapa tumbuh rasa, ada perasaan senang ketika disentuh, semua itu yang harus tersampai secara utuh,” jelas Maryati.
Menurut Maryati, transformasi pendidikan seksual di dunia pendidikan formal belum optimal dan terintegrasi, terutama kepada semua guru. Bahkan, ada guru memanfaatkan kerentanan anak hingga terjadi kekerasan seksual.
”Banyak guru yang jadi pelaku. Begitu pula dengan guru agama juga terlibat. Jadi, keberagaman disiplin ilmu atau pelajaran bisa terintegrasi dengan pendidikan seksual. Pendidikan seksual salah satu upaya pencegahan dini dari kekerasan dan pelecehan seksual. Seharusnya ini ada peraturan yang mengatur entah melalui peraturan menteri, contohnya,” kata Maryati.
Kuasa hukum keluarga korban, Azaz Tigor Naingolan, mengatakan, pelaku SM adalah pembimbing anak-anak di rumah ibadah tersebut. SM sudah bekerja di sana sekitar 20 tahun lebih.
”Saya dan pihak rumah ibadah menduga ia sudah melakukan hal tak terpuji sudah lama dan bisa jadi sejak 20 tahun bekerja di situ. Kami menginvestigasi ada sekitar 20 korban, termasuk dua yang sudah melapor ke polisi. Kita serahkan proses hukum ke polisi untuk penyelidikan,” kata Tigor.
Tigor mengatakan, tak sepantasnya seorang pembimbing melakukan hal tak terpuji. Oleh karena itu, SM pantas dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu hukum pidana dan terkait perlindungan anak, disertai pemberatan dan disterilkan atau dikebiri.
Tigor mengatakan, pihak rumah ibadah tak mau terburu-buru untuk melaporkan kecurigaan atas SM yang bertindak asusila sampai ada informasi dan bukti yang cukup.
”Ketika mendapat informasi dari sejumlah orangtua, penilaian psikolog, dan korban, saya pelajari dan yang dilakukan SM adalah sebuah kejahatan pidana. Sampai kemudian kami menemukan bukti berupa dua baju di perpustakaan. Baju itu ada bercak putih kering (kemungkinan sperma). Dari informasi korban, baju tersebut digunakan pelaku,” ucap Tigor.
Saat ini, kata Tigor, tim psikolog dan pihak rumah ibadah masih mendampingi korban untuk rehabilitasi. Korban dalam kondisi trauma dan ketakutan.
Tigor menilai, masih ada orangtua korban yang tidak mengerti perbuatan pelaku adalah tindakan kejahatan dan asusila sehingga masih perlu pendampingan agar mau melapor kepada polisi.
Tigor menilai, masih ada orangtua korban yang tidak mengerti perbuatan pelaku adalah tindakan kejahatan dan asusila sehingga masih perlu pendampingan agar mau melapor kepada polisi.