Kasus Perdagangan Orang di Bekasi Disidik Polda Metro Jaya
Kasus yang terungkap akhir Juni lalu sempat menghebohkan publik karena terduga pelaku mengontrak rumah dengan beberapa terduga korban yang diakui sebagai pekerja konstruksi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya menangani kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO dengan modus penjualan organ ginjal di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kasus yang terungkap akhir Juni lalu sempat menghebohkan publik karena terduga pelaku mengontrak rumah dengan beberapa terduga korban yang diakui sebagai pekerja konstruksi.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko, Selasa (11/7/2023), mengatakan, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya masih intens melakukan penyidikan dengan metode scientific crime investigation dan kolaborasi inter maupun antarprofesi.
”Saat ini proses sudah pada tahap penyidikan dan penetapan tersangka lebih tepatnya. Mohon bersabar dan menunggu penyidik merampungkan fakta-fakta tindak pidananya pada kasus ini, pada kesempatan pertama akan dirilis secara komprehensif,” katanya.
Kasus itu diketahui seusai polisi menggerebek sebuah rumah kontrakan di Jalan Perum Villa Mutiara Gading RT 002 RW 008 Setia Asih, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Senin (19/6/2023) dini hari. Polisi juga menangkap enam orang karena diduga terlibat penjualan ginjal ilegal di Kamboja.
Kompas sempat mencari informasi dari pemilik kontrakan yang disewa orang-orang yang ditangkap beberapa hari lalu, Rabu (21/6/2023). Pemilik kontrakan itu adalah Sudirman (47). Ia membenarkan adanya penggerebekan di rumah kontrakannya pada Senin dini hari. Namun, awalnya, ia tidak tahu bahwa orang-orang yang mengontrak terlibat kasus pidana.
Ia menceritakan, rumah kontrakan itu awalnya disewa oleh pria bernama Septian pada November 2022. Sebelumnya, pria itu mengontrak di dekat rumah kontrakan Sudirman. Sewa rumah itu lalu dipindahtangankan kepada Akmal, Maret 2023.
”Pertama kali kalau enggak salah ada enam orang yang mengontrak, cowok semua. Kita tahunya mereka proyek bangunan,” kata Sudirman saat diwawancara wartawan hari ini.
Katanya, ini adalah teman-teman saya yang kena tipu yang mau berangkat ke Malaysia.
Mereka yang mengontrak rumah dua kamar dengan biaya Rp 1 juta per bulan itu dinilai tidak bersikap aneh. Mereka mau melaporkan identitas ke ketua RT, kecuali Akmal yang tidak punya KTP. Mereka juga tidak menutup diri dengan lingkungan sekitar karena beraktivitas normal seperti warga lainnya, seperti berbelanja di warung juga ibadah di masjid sekitar kontrakan. Mereka juga kerap memasak dan tidur di teras rumah.
Masalah sempat muncul beberapa bulan lalu karena ada kebocoran toren air yang membuat ada tunggakan air hingga Rp 4 juta. Atas masalah itu, istri Sudirman meminta ganti rugi dan sempat menanyakan orang-orang yang tinggal dengan Akmal.
”Katanya, ini adalah teman-teman saya yang kena tipu yang mau berangkat ke Malaysia,” ujarnya.
Masalah terkait pembayaran baru terlunasi 14 Juni lalu. Utang itu dibayar secara dicicil oleh Septian yang disebut Akmal sebagai ”bos”. Seusai pelunasan itu, Sudirman hendak mengingatkan mereka agar segera pindah akhir bulan ini. Sekonyong-konyong mereka terciduk polisi karena dugaan TPPO.
Giat polisi membongkar TPPO dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia, melalui Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Polri dan Polda jajaran. Sejak diresmikan 20 Juni, Satgas itu telah menangani 456 laporan polisi (LP) dan 532 tersangka.
”Dari ratusan LP yang diterima, Satgas TPPO telah menyelamatkan 1.572 korban,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/6/2023).
Dari ribuan korban tersebut, Ramadhan merinci ada 711 korban perempuan dewasa dan 86 perempuan anak. Kemudian untuk korban laki-laki dewasa ada 731 dan laki-laki anak ada 44 orang. Sebagian besar dari mereka terjerat iming-iming pekerjaan sebagai pekerja migran Indonesia atau pekerja rumah tangga (PRT) dengan 361 kasus.
”Selanjutnya modus dijadikan pekerja seks komersial (PSK) ada 116 kasus, modus dijadikan anak buah kapal (ABK) ada 6 kasus dan eksploitasi terhadap anak ada 25 kasus,” katanya.
Sejauh ini, 83 kasus masuk tahap penyelidikan, 347 kasus di tahap penyidikan, dan berkas sudah lengkap atau P21 ada satu kasus.