Mengapa Jakarta Tetap Macet walau Sudah Pakai Teknologi AI
Kemacetan tetap terjadi di jam sibuk meski di Jakarta telah dipakai teknologi kecerdasan buatan. Terobosan itu disebut hanya membantu mengurangi macet. Pembangunan transportasi massal tetap solusi utama atasi kemacetan.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Penggunaan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence pada 20 lampu lalu lintas di Ibu Kota sempat menerbitkan harapan baik. Kemacetan menggila yang kerap melanda Jakarta digadang-gadang dapat makin terurai.
Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkata lain. Kemacetan masih terjadi di sejumlah ruas jalan. Pengaturan lampu lalu lintas berteknologi terkini ternyata belum ampuh menyibak masalah lama Jakarta yang terus mendera warganya ini. Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Salah satu warga, Rehobot Putra Anugrah (29), mengaku masih terjebak kemacetan saat berangkat menggunakan mobil pribadi dari indekosnya di Palmerah, Jakarta Barat, menuju kantornya di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Dia merasa lampu hijau dari arah Slipi menuju ke arah Tomang hanya menyala sebentar saat pagi hari. Sementara lampu hijau dari arah Tol Tangerang-Merak yang mengarah ke Tomang lebih lama.
”Tidak ada perbedaan, waktu tempuh tetap 40 menit ke kantor, kecepatan masih 10-20 kilometer per jam, macetnya tetap sampai Mal Slipi Jaya, Kemanggisan. Lampu hijaunya hanya sebentar untuk ke kanan. Seharusnya dari arah sini juga diprioritaskan karena perkantoran ke arah Tomang,” kata Rehobot.
Pada Selasa (11/7/2023) sekitar pukul 17.30, kemacetan juga masih tampak terjadi di Jalan S Parman tepatnya di Simpang Latumenten, Jakarta Barat, yang mengarah ke Simpang Tomang. Mobil hanya bisa bergerak pelan 10 km per jam, sementara motor masih bisa menyelip di antara kemacetan.
Melihat kemacetan itu, lampu lalu lintas di Simpang Tomang langsung menyesuaikan dengan mengurangi durasi lampu merah hanya satu menit, sedangkan lampu hijau menyala jauh lebih lama demi mengurai kemacetan. Hal ini membuat pengendara dari arah Tomang harus menunggu lampu merah lebih lama.
Situasi yang sama juga terlihat di Simpang Pancoran, Jakarta Selatan. Meski durasi lampu hijau lebih lama, kemacetan tetap terjadi di jalur yang mengarah dari Tebet menuju Pasar Minggu. Selain itu, penyempitan lajur dari tiga lajur menjadi dua lajur juga membuat penumpukan kendaraan di Jalan Raya Pasar Minggu.
”Mungkin iya lebih lama lampu hijaunya, tetapi tidak terlalu terasa. Soalnya memang di sini langganan macet jadi seperti tidak ada pengaruhnya,” kata Indra, salah satu warga yang akan pulang ke indekosnya di Pejaten, Pasar Minggu.
Beralih ke transportasi massal itu nomor satu untuk mengatasi kemacetan.
Direktur Eksekutif Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang menilai kemacetan di Jakarta memang tidak akan pernah sirna. Sebab, jumlah kendaraan yang ada tidak sebanding dengan kapasitas jalan. Teknologi AI ini hanya bisa membantu mengurai kemacetan.
Mengutip data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2022, total kendaraan bermotor di DKI mencapai 26.370.535 unit, angka ini naik 4,39 persen dari tahun sebelumnya 25.263.077 unit.
”Secara umum, AI ini efektif mengurai kemacetan, tetapi memang tidak bisa menjadi satu-satunya solusi kemacetan di Jakarta karena jumlah kendaraan tetap lebih banyak dari kapasitas jalan. Perlu juga diperhitungkan kalau terjadi masalah teknis alat AI ini tidak bisa mendeteksi otomatis,” kata Deddy.
Deddy menambahkan, perlu adanya kebijakan yang lebih ekstrem untuk membatasi pergerakan kendaraan bermotor untuk menyelesaikan masalah macet di Jakarta. Pemprov DKI juga harus menyiapkan transportasi umum massal yang lebih masif dan nyaman agar masyarakat mau beralih.
”Beralih ke transportasi massal itu nomor satu untuk mengatasi kemacetan,” tuturnya.
Sebelumnya, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono juga menyebut teknologi AI yang diterapkan sejak April 2023 ini hanya bisa mengurai kemacetan di jalanan Ibu Kota sekitar 20 persen. Teknologi AI akan ditambah menjadi 40 titik persimpangan di DKI.
”Tujuannya untuk mempermudah pantauan kemacetan dan memperlancar lalu lintas. Bisa menciptakan efisiensi lalu lintas (di persimpangan jalan di Jakarta) menjadi 15-20 persen,” kata Heru seusai meninjau Network Operation Centre Intelligent Transport System Traffic Light di Jakarta, kemarin.
Ruas jalan yang sudah menerapkan AI adalah Jalan Jembatan II Raya sampai Jalan Tubagus Angke, Jalan Kyai Tapa sampai Jalan Daan Mogot (Grogol), Jalan S Parman sampai Jalan Tomang Raya, Jalan S Parman sampai Jalan KS Tubun dan hingga Jalan Gatot Subroto (Slipi), Jalan Gatot Subroto sampai Jalan Rasuna Said (Kuningan), Jalan Gatot Subroto sampai Jalan Supomo (Pancoran), Jalan MT Haryono sampai Jalan Sutoyo (Cawang UKI), Jalan DI Panjaitan sampai Jalan Kalimalang, Jalan Ahmad Yani sampai Jalan Utan Kayu (Rawamangun), dan Jalan Ahmad Yani sampai Jalan Pemuda hingga Jalan Pramuka.
Selanjutnya, di Jalan Ahmad Yani sampai Jalan H Ten Raya, Jalan Perintis Kemerdekaan sampai Jalan Letjen Suprapto, Jalan Senen Raya sampai Jalan Kwitang (Senen), Jalan Gunung Sahari sampai Jalan Wahidin, Jalan Gunung Sahari sampai Jalan Dokter Sutomo, Jalan Gunung Sahari sampai Jalan Angkasa hingga Jalan Samanhudi, Jalan Gunung Sahari sampai Jalan Mangga Besar, Jalan Gunung Sahari sampai Jalan Pangeran Jayakarta, Jalan Gunung Sahari sampai Jalan Mangga Dua, serta Jalan Perniagaan Raya sampai Jalan Pasar Pagi.
Secara keseluruhan biaya pengadaan teknologi AI di 20 persimpangan jalanan mencapai Rp 78 miliar. Biaya untuk pengadaan di 40 persimpangan jalanan sebesar Rp 130 miliar.