Kerja Fleksibel Berpotensi Jadi Kebijakan Kurangi Kemacetan Jakarta
Pemprov DKI perlu membuat aturan yang bersifat mandatori dan detail mengenai kebijakan aparatur sipil negara bekerja dari mana saja atau "work from anywhere".
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan waktu dan tempat kerja fleksibel bagi para pekerja berpotensi menjadi kebijakan baru untuk mengurangi kemacetan jalan di DKI Jakarta. Hal ini mendukung wacana pembagian jam masuk kantor yang setahun terakhir dipertimbangkan sebagai solusi baru.
Pembicaraan ini dibahas cukup serius oleh narasumber dan peserta kegiatan Focus Group Discussion Penanganan Kemacetan di DKI Jakarta yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Kamis (6/7/2023).
Diskusi ini dihadiri berbagai pihak yang bergerak di bidang transportasi, kebijakan publik, layanan publik dan jasa, properti, hingga tata kota. Mereka berlatar instansi pemerintah pusat hingga daerah tetangga Jakarta, akademisi, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, dan asosiasi terkait lainnya.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dalam sambutannya mengatakan, kemacetan menjadi isu di Jakarta yang paling banyak dikeluhkan masyarakat. Terkait ini, ia salah satunya menyebut masukan terkait pembagian jam kerja yang telah didiskusikan Pemprov DKI Jakarta bersama Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang mengusulkan ide itu sejak Juli 2022.
”Banyak masukan bagaimana kalau jam kerja dibagi. Saat diskusi dengan Pak Kapolda dan Dirlantas, kendaraan yang masuk ke Jakarta di jam enam seperti air bah. Bagaimana kalau itu diubah dengan menerapkan masuk kantor di jam delapan dan jam sepuluh,” ucapnya.
Dalam hal ini, Heru tidak berpendapat bahwa kebijakan itu akan diterapkan segera. Ia berharap diskusi itu membawa hasil konkret untuk diimplementasikan. Kemacetan di Jakarta memang semakin bertambah. Data Tomtom Traffic Index 2022 mencatat, Jakarta berada di peringkat ke-29 dari 390 kota termacet di dunia dengan tingkat kemacetan 53 persen. Angka ini menunjukkan kemunduran dibandingkan 2021. Saat itu, Jakarta berada di urutan ke-46 dengan tingkat kemacetan 34 persen.
Pakar sektor ekonomi dari Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia DKI Jakarta Musni Hardi K Atmaja mengatakan, pengaturan jam masuk kerja bisa mengatasi kemacetan. Ia merujuk pada implementasi kebijakan serupa di New Delhi, India, yang memberlakukan jam masuk kerja pada pukul 09.00 dan 11.00. Sejak kebijakan itu diterapkan, indeks kemacetan di daerah itu semakin membaik dari peringkat ke-11 pada 2021 menjadi peringkat ke-34 pada 2022.
Namun, melanjutkan kebijakan waktu dan tempat kerja fleksibel, termasuk dengan pola hibrida di dalam dan luar jaringan, sebagaimana diadaptasi secara cepat selama masa pandemi Covid-19, dinilai lebih baik. Ia mencontohkan, sebagian pegawai BI dapat datang ke kantor dalam waktu fleksibel antara pukul 07.00 hingga 09.30. Waktu kerja sehari mereka tetap dihitung sesuai aturan berlaku.
Pengaturan jam masuk kerja menurut analisis mereka bisa membantu pemerataan volume kendaraan dan penumpang yang turun di jalan pada jam sibuk. Namun, aturan ini lebih kaku. ”Kalau kerja waktu fleksibel pronya lebih banyak. Bagi karyawan akan membuat produktivitas tinggi karena keterlambatan kerja bisa dikurangi, waktu perjalanan ke kantor juga bisa berkurang," ujarnya.
Kebijakan ini dinilai akan menimbulkan risiko bagi perusahaan. Hal ini terkait hilangnya kesempatan untuk melaksanakan bisnis dan risiko penambahan biaya operasional, khususnya di industri dan jasa. Untuk mencegah ini, perlu ada kebijakan untuk mengatur sektor mana yang berlaku fleksibel.
Guru Besar Bidang Transportasi Fakultas Teknik Universitas Indonesia Sutanto Soehodho, salah seorang narasumber dalam diskusi itu, juga menyatakan mendukung wacana pengaturan jam masuk kerja. Ia pun merujuk survei Dewan Transportasi Kota Jakarta yang bertajuk ”Pengaturan Ulang Jam Kerja di DKI Jakarta” pada Mei lalu.
Ia menjelaskan, mayoritas dari 800 responden yang bermobilitas dengan beragam kendaraan ke Jakarta setuju dengan wacana itu. ”Namun, kemauan mereka tidak gratis. Mereka menilai alternatifnya apa. Kalau pindah ke angkutan umum, mereka punya kritik, rute jaringan harus ditingkatkan, waktu tunggu atau frekuensi dan kenyamanan harus dijamin, dan sebagianya,” ujarnya.
Narasumber lain, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, mengatakan, aturan ini bisa diberlakukan Pemprov Jakarta secara mandatori bagi setiap perusahaan atau instansi swasta dan pemerintahan di Jakarta. Adapun sampai saat ini Jakarta belum memiliki aturan itu. Padahal, sudah ada Peraturan Presiden 21 Tahun 2023 tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Kalau sekadar mengizinkan kerja daring saja bisa, tetapi Jakarta harus ada aturan detail, terukur.
Dasar aturan itu juga, kata Agus, mendorong Jawa Barat membuat aturan agar pegawai aparatur sipil negara di wilayahnya dapat bekerja fleksibel di luar kantor. Aturan ini dilengkapi pula dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 102 Tahun 2022.
”Jakarta belum punya aturan yang mengatur siapa saja yang masuk kerja jam berapa, siapa yang mengawasi, tolok ukurnya apa. Itu harus dibuat. Kalau sekadar mengizinkan kerja daring saja bisa, tetapi Jakarta harus ada aturan detail, terukur,” katanya.
Selain membuat kebijakan yang mewajibkan, Pemprov DKI, menurut dia, juga harus memberikan insentif, khususnya kepada perusahaan swasta. Insentif bisa diberikan berupa kemudahan layanan dari provinsi, tergantung bentuk perusahaannya.