Polisi Selidiki Telepon Seluler Tersangka Praktik Aborsi
Jika menghitung praktik aborsi yang sudah berjalan sekitar 1,5 bulan, artinya tak kurang dari 100 perempuan. Jumlah pasien ini lebih banyak dari keterangan tersangka NA yang menyebut ada sekitar 50 pasien aborsi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pencarian hari kedua barang bukti janin yang diduga dibuang ke sebuah saluran pembuangan rumah kontrakan di Jalan Mirah Delima, Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Timur, Selasa (4/7/2023), belum banyak menemukan hasil. Selain pemeriksaan di lokasi perkara, polisi juga menyelidiki telepon seluler milik tersangka untuk menguak kasus hingga jaringan praktik aborsi di Jakarta.
Hingga pukul 17.00 Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat masih menyelidiki dan mencari janin yang diduga dibuang ke saluran pembuangan. Sejumlah petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) Jakarta Pusat juga turut membongkar lantai kamar mandi, ruang kamar, dan teras rumah yang menjadi tempat saluran pipa pembuangan.
Pemeriksaan bahkan hingga ke selokan yang berada di bahu jalan. Pemeriksaan itu dilakukan karena saluran pipa pembuangan rumah praktik aborsi mengarah ke selokan.
Di selokan itu, polisi menemukan gumpalan lemak yang sudah mengeras dan berbentuk seperti batu. Salah satu petugas PPSU diminta untuk mengangkat gumpalan itu. Saat dilihat lebih dekat, ada bercak merah seperti darah di atas gumpalan itu. Tim Kedokteran Kepolisian Polres Metro Jakarta Pusat mengambil sampel gumpalan berwarna merah itu untuk diperiksa lebih lanjut.
Tak lama setelah penemuan itu, petugas PPSU menemukan pipa saluran pembuangan dan membawanya ke luar untuk diperiksa oleh tim. Namun, tak ditemukan organ atau janin. Pipa itu diduga merupakan saluran pipa lama. Setelah terus berupaya mencari barang bukti, polisi memutuskan mengakhiri pencarian sekitar pukul 17.30.
Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Komaruddin menuturkan, pihaknya terus berusaha memeriksa rumah lokasi praktik ilegal aborsi di Sumur Batu.
Pemeriksaan ini bagian dari pembuktian berdasarkan pengakuan tersangka yang selama menjalankan praktik dari 15 Mei hingga 27 Juni telah mengaborsi sekitar 50 perempuan. Janin-janin itu pun dibuang ke saluran pembuangan.
Meski begitu, keterangan sejumlah tersangka tersebut masih akan terus didalami karena ada dugaan janin hasil aborsi disimpan atau ditampung pada suatu wadah.
Belum diketahui janin itu dibawa dan dibuang ke mana. Jikapun janin itu dibuang ke saluran pembuangan yang bermuara ke sebuah selokan, ada kemungkinan banyak yang hanyut terbawa arus air.
”Kemarin (Senin) kami temukan satu sel di selokan depan rumah. Itu diduga jaringan manusia. Dimungkinkan ada bak penampungan atau janin yang dibuang tersangkut di dalam. Masih kami cari,” ujar Komaruddin, Selasa.
Dari pengecakan konstruksi, lanjut Komaruddin, rumah aborsi itu merupakan bangunan lama dan pernah direnovasi, termasuk alur pipa pembuangan. Hal itu terlihat dari alur pipa yang berbelok dari kloset dan ada pipa menumpuk.
”Dari tumpukan itu satu pipa sudah mati. Ada dua saluran aliran pipa. Satu masih kita dalami, satu terbuang ke selokan yang kemarin kami temukan sel yang diduga janin,” katanya.
Saat Kompas menyusur masuk ke rumah kontrakan nomor 14 itu, terdapat dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan ruang tamu. Kepala Seksi Kedokteran Kepolisian Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Agus Waluyo membantu menjelaskan fungsi ruang dan sejumlah barang di dalam rumah.
Kamar di sisi kanan diduga merupakan tempat praktik aborsi. Di kamar berukuran sekitar 3 meter x 4 meter ada sebuah kasur besar yang masih terbungkus plastik. Setelah proses aborsi selesai 5-10 menit, pasien langsung dibawa ke kamar sisi kiri. Di situ para pasien beristirahat.
Agus juga menunjukkan sebuah kasur hitam tempat para pasien beristirahat. Setelah itu, ada sebuah lemari tempat penyimpanan obat-obatan dan beberapa alat untuk praktik aborsi. Obat-obatan dan sejumlah alat telah dibawa oleh tim kepolisian untuk pemeriksaan lanjutan.
Selain pemeriksaan di lokasi, Polres Metro Jakarta Pusat juga terus mendalami keterangan dari sejumlah tersangka lain, seperti sopir berinisial SA. Dari keterangannya, SM menjemput dan mengantar rata-rata 25 pasien dalam seminggu.
Jika menghitung praktik aborsi yang sudah berjalan sekitar 1,5 bulan, artinya tak kurang dari 100 pasien. Jumlah pasien ini lebih banyak dari keterangan tersangka NA yang mengatakan ada sekitar 50 pasien aborsi.
Untuk memperkuat keterangan itu, kata Komaruddin, pihaknya bersama tim forensik masih membuka akses komunikasi berupa telepon seluler dari otak kasus aborsi, NA, dan tersangka lain.
Jika akses komunikasi itu terbuka, tidak tertutup kemungkinan pula ada otak lain di atas NA yang mengatur praktik ilegal dan berbahaya itu.
”NA ini yang berkomunikasi dengan para korban. Dia yang memerintahkan pasien untuk menunggu di suatu tempat dan akan ada yang menjemput. Mungkin ada otak lain karena keterangan NA, untuk usia kandung di atas 3 bulan akan diarahkan ke klinik Duren Sawit. Nah, artinya NA punya jaringan. Ini yang akan kami bongkar,” tutur Komaruddin.
Tak bersosialisasi
Usman, Ketua RT 004 di RW 0005, Kelurahan Sumur Batu, mengatakan, dirinya dan warga tak pernah menyangka kawasan tempat tinggal mereka dijadikan tempat praktik aborsi. Ia pun sudah berusaha untuk mendata secara keseluruhan para pendatang baru.
”Nama penyewanya Amelia. Sejak pertama tidak melapor dan tidak menyerahkan KTP. Saat saya telepon, janjinya akan lapor dan menyerahkan KTP. Karena enggak pernah datang, saya beberapa kali ke sana, yang sambut selalu sopirnya dan mengatakan ibu tidak ada di tempat,” ujarnya.
Usman dan warga sekitar mengaku tak mengenal siapa yang menyewa rumah kontrakan nomor 14 itu. Penghuni rumah pun sangat tertutup dan tidak pernah bersosialisasi.
”Ada tamu datang, langsung masuk rumah, dan menutup pintu. Keluar langsung masuk mobil. Datang biasa pagi pukul 08.00-09.00 dan sore sekitar pukul 17.00. Kami tidak dengar ada suara aneh-aneh. Tidak ada teriakan. Padahal, ternyata mereka sedang aborsi,” kata Usman.
Panjaitan, warga paruh baya yang rumahnya persis di depan rumah aborsi itu, juga mengaku kaget. Kasus itu membuatnya mengelus dada. Ia sama sekali tak pernah melihat perempuan pelaku aborsi begitu pula dengan para korban.
Mobil yang membawa korban langsung masuk ke garasi dan gerbang langsung ditutup. Orang-orang yang melewati rumah itu sulit untuk melihat aktivitas di dalam karena pagar dan gerbang ditutup oleh fiber hitam.
”Orang yang pernah saya lihat laki-laki bawa mobil, lainnya enggak pernah. Rumah itu dibeli warga sekitar setahun dua tahun, lalu direnovasi dan dikontrakkan. Nah, itu (penghuni) baru sebulan lebih. Kami di sini warga sering kumpul saling kenal. Kecuali yang itu sama sekali tidak pernah keluar. Ya, lama-lama kami curiga,” papar perempuan yang telah tinggal di kawasan itu sejak 1977.
Komaruddin melanjutkan, kasus aborsi di kawasan perumahan warga ini menjadi perhatian dan pelajaran bersama agar semua elemen masyarakat perlu menjalin relasi, komunikasi, dan berinteraksi.
”Sosialisasi yang terbangun ini bisa mencegah dan warga pun ikut mengawasi lingkungan jika ada sesuatu yang mencurigakan,” ujarnya.