Putus Nyambung Angkutan Pengumpan di Jakarta
Moda pengumpan mikrotrans perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya agar warga makin betah menggunakannya. Integrasi yang sesungguhnya adalah warga kian mudah mengakses angkutan umum di mana pun dan kapan saja.
Layanan angkutan umum Transjakarta kian menembus kampung-kampung Jakarta. Kehadiran mikrotrans mampu menggapai warga di kampung terluar sekalipun. Sayangnya, kualitas layanan ini masih tak merata dan kerap harus dinikmati dengan cerita tak nyaman.
Di tepi Jalan Gunung Sahari Raya, delapan orang menunggu dengan sabar. Mereka adalah pengguna Transjakarta yang baru mengakhiri perjalanan di Halte Transjakarta Pademangan, Jakarta Utara, pada Rabu (21/6/2023) siang.
Lima menit menunggu, 10 menit berlalu, dan setelah 15 menit, muncul sebuah angkutan mini berwarna putih biru atau mikrotrans. Delapan orang dari beragam latar belakang, mulai dari pekerja kantoran, siswa, hingga warga yang menanti dengan anak-anak mereka, mengantre, melakukan tap-in di mesin tap, dan masuk ke dalam angkutan tersebut.
Perjalanan dengan Jak-88 yang melintasi wilayah perkampungan Pademangan Barat hingga Tanjung Priok ramai dengan penumpang yang naik dan turun. Penumpang yang naik maupun turun tertib untuk melakukan tap in dan tap out di mesin tap dengan tarif Rp 0 itu.
Waktu perjalan dari Halte Transjakarta Pademangan hingga Terminal Terpadu Tanjung Priok, ditempuh kurang dari 30 menit. Mikrotrans itu meski tak dilengkapi dengan air conditioner (AC), angin sepoi-sepoi yang bertiup dari jendela angkutan umum itu, sejuk dan melegakan.
Baca juga : HUT Ke-496 DKI, Masyarakat Bisa Menikmati Tarif Angkutan Umum Rp 1
Layanan mikrotrans Jak-88 itu setia digunakan oleh Muhamad Faqih (45) selama kurun waktu satu tahun terakhir. warga Pademangan Barat itu, bahkan menghafal seluruh rute mikrotrans yang beroperasi di Jakarta Utara.
Mikrotrans setiap pagi dan sore hari digunakan sebagai angkutan pertama menuju ke halte Bus Transjakarta Pademangan untuk menumpang bus Transjakarta ke kawasan Kota Tua. Angkutan mikrotrans juga dia gunakan sebagai angkutan akhir dari Halte Pademangan untuk kembali ke rumahnya seusai berdagang.
”Saya pengguna angkutan umum. Saya selalu setia pakai mikrotrans karena gratis. Cuma, kadang waktu tunggunya yang lama. Saya kadang harus tunggu sampai 30 menit,” kata ayah dua anak itu.
Jalur sengsara
Perjalanan menyenangkan dengan mikrotrans Jak 88 akhirnya berakhir saat angkutan itu tiba di Terminal Terpadu Tanjung Priok. Di terminal, warga memiliki banyak pilihan, yakni bisa melanjutkan perjalanan dengan mikrotrans, Bus Transjakarta, hingga Kereta Rel Listrik. Jarak terminal dengan Stasiun Tanjung Priok kurang dari 50 meter.
Di Terminal Terpadu Tanjung Priok, berjejer pula beragam mikrotrans dengan rute masing-masing. Misalnya, Jak-01 rute terminal Tanjung Priok-Plumpang, Jak-77 rute Tanjung Priok-Jembatan Hitam, dan Jak-15 rute Tanjung Priok-Rusun Marunda atau Bulak Turi.
Mikrotrans Jak-15 masih beragam warna angkutannya. Ada warna merah biru dan warna putin biru. Angkutan yang akan segera berangkat dari Terminal Terpadu Tanjung Priok, pada Rabu siang, yakni Jak-15 berwarna merah.
Penumpang yang menggunakan angkutan tersebut pun saat naik dan turun tak perlu melakukan tap in atau tap out. Penumpang hanya menunjukkan kartu pembayaran kepada sopir angkutan itu.
Kondisi angkutan Jak-15 itu pun berdebu dan kerap ada bunyi gesekan ketika melintasi median jalan yang tak merata. Kenyamanan selama menumpang Jak-88 sama sekali tak terasa di Jak-15.
Rutenya yang panjang, melewati sejumlah kampung, dan melintasi jalanan yang juga diakses kendaraan bertonase berat mengakibatkan sejumlah penumpang yang menikmati layanan itu turut bermandikan debu. Hawa di dalam angkutan itu pun terasa kian hangat dan kerap memicu keringat.
Alin (42), salah satu warga yang tinggal di Rusun Marunda, tak rutin menggunakan angkutan Mikrotrans. Dia saat akan mengantar anaknya untuk mengikuti latihan karate di Jakarta International Velodrome, Rawamangun, Jakarta Timur, yang digelar setiap akhir pekan, lebih sering menggunakan kendaraan bermotor.
”Mikrotrans jarang saya gunakan. Hari ini terpaksa juga, karena tidak ada orang rumah yang jemput,” katanya.
Baca juga: Setelah Satu Juta Pelanggan, Transjakarta Ditargetkan Capai Empat Juta Pelanggan di 2025
Perempuan kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, itu mengaku lebih nyaman menggunakan sepeda motor lantaran layanan mikrotrans kerap terjebak macet, perilaku sopir yang sering ugal-ugalan demi mendahalui kendaraan bertonase berat, hingga waktu perjalanan yang dibutuhkan cukup lama atau bisa memakan waktu hinga satu jam.
Persoalan layanan angkutan umum mikrotrans di sebagian wilayah Jakarta Utara tak melulu soal kualitas layanan. Sebagian wilayah itu pun masih sulit diakses dengan mikrotrans karena ketiadaan rute. Beberapa di antaranya Muara Baru dan Kali Baru.
Lama menunggu
Keluhan terhadap layanan mikrotrans juga dirasakan sebagian pengguna yang bermukim di Palmerah, Jakarta Barat. Sebagian dari mereka mengeluhkan waktu tunggu yang dinilai terlalu lama.
Wulansari (35), warga Palmerah Barat, terbantu dengan adanya angkot dari rumahnya menuju koridor BRT Transjakarta koridor 8 Harmoni-Lebak Bulus. Dengan lokasi kantor di daerah Radio Dalam, Jakarta Selatan, ia setiap hari menggunakan layanan M24 tepat dari depan rumahnya, kemudian turun di Jalan Panjang, lalu berganti bus Transjakarta koridor 8 menuju halte PIM untuk ke kantor.
”Di sini (halte PIM) saya mulai malas. Lama sekali menunggu feeder bus Transjakarta menuju Radio Dalam. Akhirnya saya memilih naik ojek daring ke kantor, kalau hujan naik taksi daring,” kata Wulansari.
Selena (30), warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, misalnya, memilih untuk tak menggunakan mikrotrans lantaran tak sudi untuk berganti layananan angkutan mikrotrans. Dia memilih menggunakan ojek daring dari rumah ke halte Kebon Jeruk untuk bisa naik Transjakarta ke kantornya di kawasan Harmoni.
”Ada mobil Jaklingko lewat depan gang. Tapi saya harus berganti dua kali, dari Jaklingko-53 ke Jaklingko-56 supaya bisa sampai halte Kelapa Dua Sasak dan naik bus koridor 8. Sudah harus berganti dua kali, mobil Jaklingko itu seringnya di tengah jalan, tidak di pinggir kiri dan jumlahnya sedikit,” tuturnya.
Contoh ideal
Kesulitan dan keluhan sebagian pengguna layanan angkutan umum di Jakarta Barat dan Jakarta Utara timpang ketika membandingkan dengan ketersediaan layanan angkutan umum hingga angkutan pengumpan di Kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan. Di SCBD, warga dimanjakan dengan beragam moda hingga kelengkapan sistem transportasi publik.
Fajri (29), misalnya, selalu menggunakan transportasi umum. Dia biasanya berjalan kaki 3-5 menit dari rumah di Pondok Bambu, Jakarta Timur, menuju halte bus Transjakarta untuk naik rute 4F Pinang Ranti-Pulo Gadung.
Lalu ia akan turun di halte TU Gas, berpindah ke rute 4C Tu Gas-Bundaran Senayan dan mengakhiri perjalanan di halte Polda Metro Jaya. Dari halte itu, dia berjalan kaki kurang lebih 3 menit ke halte shuttle bus SCBD yang akan mengantarnya ke depan kantor.
”Selalu naik transportasi umum semenjak ikut homestay di Sydney (Australia). Saya merasa nyaman dan menyenangkan ketimbang pakai sepeda motor. Transportasi di Jakarta juga sudah siap dan banyak pilihan,” kata Fajri.
Selain Transjakarta, pekerja di SCBD bisa menggunakan MRT Jakarta. Mereka akan turun di Stasiun Istora Mandiri dan berjalan kaki melalui trotoar ke halte shuttle bus SCBD atau melalui terowongan yang terhubung ke Pacific Place Mall.
Jarak dari Stasiun Istora Mandiri ke terowongan yang terhubung dengan Pacific Place Mall kurang dari 200 meter. Begitu juga jaraknya ke shuttle bus SCBD terdekat di depan Bursa Efek Indonesia.
Secara umum SCBD memiliki luas 51 hektar. Setidaknya 4,1 hektar menjadi trotoar dan taman. Guna membantu mobilitas orang-orang terdapat 10 halte shuttle bus SCBD dengan waktu tunggu kedatangan bus 10 menit.
Pembenahan bertahap
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam mendorong warga untuk mau menggunakan angkutan umum dan juga untuk mengurai kemacetan adalah penataan sarana transportasi dari titik awal menuju sarana transportasi terdekat atau first mile dan penataan sarana transportasi dari angkutan massal menuju titik terakhir atau last mile.
Penataan itu juga dibarengi dengan pembangunan jalur pedestrian, jalur sepeda, hingga memperluas cakupan layanan angkutan umum di Jakarta.
Ini sedang kami evaluasi, kami harapkan target 92 persen cakupan layanan angkutan umum di Jakarta bisa kami penuhi.
”Sudah 2.000-an lebih angkot yang bergabung sebagai mikrotrans. Ini sedang kami evaluasi, kami harapkan target 92 persen cakupan layanan angkutan umum di Jakarta bisa kami penuhi,” ucap Syafrin di Waduk Brigif, Jakarta Selatan, Jumat (16/6/2023) pagi.
Cakupan layanan angkutan umum di Jakarta yang saat ini mencapai 88,2 persen ditargetkan meluas menjadi 92 persen di akhir 2023. Salah satu langkah yang dilakukan untuk memenuhi target itu, yakni bakal mengajak seluruh angkutan kota di Jakarta bergabung bersama Transjakarta. Angkot yang bergabung sebagai mikrotrans didesain menjadi sarana angkutan awal dan akhir dari perjalanan warga.
”Ini bertahap kami lakukan. Di sisi lain, tentunya kami juga melihat dengan tersedianya mikrotrans eksisting itu layanan Transjakarta seperti apa,” tutur Syafrin.
Adrianus Satrio Adi Nugroho dari Forum Diskusi Transportasi Jakarta menilai, first mile dan last mile para pengguna angkutan umum di Jakarta masih lebih banyak bergantung kepada penggunaan angkutan roda dua.
”Ini pekerjaan rumah bagi Pemprov DKI untuk mencari simpul-simpul transportasi dan menjadikan transit lebih mudah sehingga masyarakat bisa berjalan atau menggunakan non-motorize transport, seperti sepeda ataupun e-scooter,” kata Satrio.
Moda mikrotrans juga seharusnya ditingkatkan kualitasnya agar lebih nyaman baik dari sisi pengemudinya maupun armadanya. Sebab, keberadaan moda first mile dan last mile konsepnya adalah harus sedekat mungkin dengan titik keberangkatan dan tujuan akhir.
Adapun bentuk peningkatan layanan mikrotrans yang dimaksud bisa dengan penambahan rute, armada, peningkatan dari mobil non-AC ke AC maupun ke armada yg lebih besar.
Peningkatan layanan ini disoroti serius karena, misalnya, untuk penumpang MRT Jakarta yang sangat rata-rata memiliki latar belakang ekonomi menengah ke atas belum tentu mau menggunakan angkot atau mikrotrans. Transjakarta juga memperbanyak rute-rute langsung ke dan dari stasiun-stasiun MRT Jakarta yang dilayani dengan Royal Trans.
Moda pengumpan seperti mikrotrans seharusnya ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya agar membuat warga makin betah menggunakannya. Integrasi yang sesungguhnya adalah warga makin mudah mengakses angkutan umum di mana saja dan kapan saja.