Kendaraan Disita, Puluhan Sopir Bajaj Geruduk Kantor Dishub DKI
Bajaj disita Dinas Perhubungan DKI Jakarta selama dua pekan karena masa berlaku uji kendaraan atau KIR sudah habis. Namun, mereka tidak mampu memperpanjang karena pendapatan turun tergerus angkutan daring dan Covid-19.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puluhan pengusaha dan sopir bajaj mendatangi Kantor Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Cideng, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023). Massa yang tergabung dalam Paguyuban Sopir dan Pemilik Bajaj (Pasapba) Jakarta ini menuntut unit bajaj mereka yang disita Dishub dilepaskan. Mereka ingin setiap pelanggaran di jalan cukup ditilang, bukan disita sehingga menyebabkan mereka tidak bisa bekerja.
Mereka datang ke kantor Dishub sekitar pukul 14.00 untuk bertemu Kepala Dinas Perhubungan Syafrin Liputo. Namun, upaya mereka gagal karena semua pejabat sedang tidak ada di kantor. Adu mulut sempat terjadi dengan beberapa staf Dishub karena mereka merasa kecewa aspirasi tidak bisa langsung disampaikan ke kepala dinas atau pejabat terkait.
”Kami hanya minta jangan dikandangin. Kalau salah, ya, salah mangkal sembarangan, namanya cari penumpang, cukup ditilang saja. Awalnya kami mau ke balai kota, cuma masih baik kami permisi dulu ke dishub, tetapi hari ini kosong,” kata Ketua Paguyuban Bajaj Jakarta Wartika Saputra, di Kantor Dishub DKI, Kamis (15/6/2023).
Dia menyebutkan, sudah ada delapan bajaj yang disita di Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Proses penyitaan juga dilakukan sewenang-wenang, langsung ditarik dibawa ke kantor dan diberikan surat penyitaan selama dua pekan.
Dalam salah satu surat berita acara pemeriksaan cepat nomor A.02990/JKT/dalops yang diterbitkan Dishub DKI itu disebutkan bahwa bajaj yang disita karena masa berlaku surat tanda uji kendaraan (STUK) sudah habis. Hal ini melanggar Pasal 288 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Daerah DKI No 5/2014.
”Langsung ditarik disetir petugas dishub, sopirnya disuruh duduk di belakang. Kalau mau nebus harus bayar Rp 500.000, katanya sama seperti mobil diderek. Walau sudah bayar, kami tidak mendapatkan tanda buktinya,” ucapnya.
Petugas dishub yang menerima para sopir bajaj sempat berdebat alot karena merasa mereka sudah menegakkan aturan dengan benar. Setiap angkutan umum, termasuk bajaj, harus lolos uji kendaraan berkala atau KIR. Namun, para sopir bajaj ini tidak terima dan membandingkan dengan ojek daring yang tidak harus melalui uji KIR untuk beroperasi.
Salah satu sopir bajaj, Erik (39), menilai aturan tersebut tidak adil karena ojek daring, walaupun berpelat hitam, seharusnya tetap dianggap sebagai angkutan umum yang wajib mengikuti uji KIR. Dia berharap pemerintah segera mencari solusi karena permasalahan ini sering menyebabkan gesekan antarpengemudi bajaj dan ojek daring di jalanan.
”Kasihan anak-istri kalau dikandangin seperti itu, jadi beban buat kami, cukup ditilang saja. Kami di jalan sering dianggap musuh, padahal kami mencari nafkah juga, sama seperti ojek itu,” katanya.
Warkita menambahkan, para sopir bajaj yang kendaraannya disita selama dua pekan bisa merugi hingga Rp 2 juta. Oleh sebab itu, jika tuntutan tidak segera dipenuhi, mereka akan menggeruduk Balai Kota DKI dengan jumlah massa yang lebih banyak untuk mengadukan masalah ini ke Penjabat Gubernur DKI Heru Budi Hartono.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pengendalian dan Operasional (Dalops) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dishub DKI Jakarta Harlem Simanjuntak menjelaskan, pihaknya telah menegakkan aturan dengan benar. Penyitaan dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pemilik bajaj untuk mengurus STUK yang sudah tidak berlaku.
”Penindakan ini sudah sesuai prosedur karena memang saat diperiksa tidak ada surat-suratnya mati. Jadi, harus disita supaya ada waktu bagi yang punya bajaj untuk menghidupkan surat-suratnya itu. Kalau hanya ditilang, dia tidak terdorong untuk menghidupkan suratnya. Besok saya ketemu mereka supaya jelas masalahnya,” papar Harlem.
Di sisi lain, para pengusaha bajaj ini mengklaim keberatan mengurus perpanjangan STUK karena pendapatan mereka semakin menurun karena persaingan dengan ojek dan taksi daring serta diterpa pandemi Covid-19. Menurut data Pasapba, jumlah bajaj yang beroperasional di Jakarta saat ini tersisa sekitar 3.000 unit, padahal sebelum munculnya ojek dan taksi daring jumlahnya mencapai 14.000 unit.