Musim Kemarau, Warga Kampung di Bogor Kesulitan Air Bersih
Dampak kemarau membuat toren komunal kosong dan debit air sumur semakin berkurang. Sejumlah warga terpaksa mengangkut air dari sungai untuk memenuhi kebutuhan harian.
Memasuki musim kemarau, sebagian warga Kabupaten Bogor, Jawa Barat, khususnya di wilayah bagian barat, mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Ketersediaan air di sumur, toren komunal, dan sungai mulai mengering.
Isak Iskandar (50), warga RT 005 RW 002 Kampung Liud, Desa Curug, Jasinga, Kabupaten Bogor, menarik panjang napasnya melepas lelah. Bajunya basah kuyup oleh keringat setelah berjalan sekitar 15 menit membawa dua ember yang ia pikul dari anak Sungai Cidurian.
Sesaat kemudian, suaranya lantang memanggil istrinya untuk membantu menurunkan dua ember itu. Rasa lelah membuat kaki Isak tak kuat menekuk menurunkan ember.
”Hari ini dua kali mengangkut air dari bawah (sungai). Naiknya bawa beban sampai ke rumah, capek. Maklum sudah kemakan usia,” kata Isak tersenyum, Senin (12/6/2023).
Air yang diangkut Isak itu akan digunakan untuk mencuci peralatan masak dan kebutuhan lainnya. Sementara untuk minum, ia sudah menampung air di sebuah ember dari sumur yang semakin menipis.
Baca juga: Kabupaten Bogor Mulai Dilanda Kekeringan
Ia tak tahu sampai kapan persediaan air bersihnya akan bertahan. Jika musim kemarau lebih panjang, bukan tidak mungkin dalam sebulan ke depan atau lebih awal sumurnya akan kering.
”Untuk menghemat air, warga harus atur penggunaannya. Mandi dan mencuci sekarang langsung di sungai. Kami mulai berasa air berkurang itu terjadi sejak dua minggu ini. Syukurnya masih ada aliran sungai,” kata Isak.
Meski ada toren komunal, Isak dan warga di RT 005 dan RW 006 lebih memilih mengambil air untuk kebutuhan harian dari sungai karena aksesnya lebih mudah dijangkau. Mengambil air di toren komunal pun akan sia-sia karena harus mengantre dan dipastikan tidak akan kebagian. Toren komunal itu letaknya lebih dekat di wilayah RT 004 dan RT 002.
Warga termasuk Sari berharap bantuan air bersih rutin disalurkan terutama di masa kemarau. Mereka pun berharap ada tempat penampung air yang lebih besar atau bendungan sehingga di saat musim kemarau mereka tidak kesulitan air bersih.
Keberadaan Toren Komunal itu ternyata kurang dirasakan manfaatnya saat ini karena tidak setiap hari terisi oleh air. Sari (38), warga RT 004 pun, mengeluhkan bantuan air bersih dari Pemerintah Kabupaten Bogor tidak setiap hari.
”Terakhir mobil tangki datang itu Sabtu (10/6/2023) kemarin. Dua kali kalau enggak salah datang isi toren itu. Enggak sampai dua jam (air) habis diserbu warga. Kami akhirnya lari ke sungai. Ada warga yang baik kasih air (dari sumur). Saya juga akhirnya beli air isi ulang galon di kampung atas sana Rp 7.000,” katanya.
Sari mengaku tak sanggup jika setiap air untuk kebutuhan harian habis, harus membeli air isi ulang.
Warga termasuk Sari berharap bantuan air bersih rutin disalurkan terutama di masa kemarau. Mereka pun berharap ada tempat penampung air yang lebih besar atau bendungan sehingga di saat musim kemarau mereka tidak kesulitan mendapatkan air bersih.
Ketua RT 001 Kampung Liud, Rosiman (47), mengatakan, musim kemarau kali ini cukup aneh sehingga berdampak pada berkurang sumber air bersih. Tahun sebelumnya, daerah Desa Curug jarang kekeringan.
”Siklus kemarau yang sampai warga sulit cari air itu biasanya lima tahun. Sekarang masuk kemarau belum lama, tapi sudah ada yang kesulitan (mendapatkan) air. Ini dampaknya belum parah. Dulu, sekitar lima tahun, pernah lebih parah dari ini. Cuma ini memang agak aneh. Kok, sudah ada yang kekeringan. Semoga kemaraunya tidak panjang. Kemarin sempat turun hujan, enggak lama, tapi lumayan ada air yang ketampung sedikit,” tutur Rosiman.
Distribusi air bersih
Pelaksana Tugas Kepala Seksi Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor Cecep Dais mengatakan, sejak 2 Juni lalu, beberapa desa di Kecamatan Jasinga dan Nanggung terdampak kekeringan sehingga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Mulai menurunnya intensitas hujan di Bogor dan sekitarnya mengakibatkan sumber air warga berkurang.
Cecep mengatakan, pihaknya saat ini terus memantau kondisi di sejumlah desa di Kabupaten Bogor yang terdampak kekeringan dan krisis air bersih. Distribusi air bersih akan terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan warga.
Distribusi air bersih sebelumnya sudah dilakukan di sejumlah kampung di Kecamatan Jasinga dan Kecamatan Nanggung. Sebanyak 65.000 liter air didistribusikan kepada 5.263 warga yang terdampak kekeringan.
”Pendistribusian kami lakukan dengan membagikan langsung kepada warga dan melalui penampung toren di 24 titik. Itu tersebar di 11 titik di Jasinga dan 13 titik di Nanggung,” kata Cecep.
Dalam pendistribusian air itu, 10.000 liter air bersih dibagikan kepada 148 keluarga atau 592 warga Kampung Liud di Kecamatan Jasinga. Sebanyak 10.000 liter didistribusikan kepada 152 keluarga atau 603 warga Kampung Roke, Kecamatan Jasinga. Kemudian 45.000 liter air bersih disalurkan untuk 1.408 keluarga atau 4.068 warga di Desa Kalong Liud, Kecamatan Nanggung.
Sebelumnya, BPBD Kabupaten Bogor juga telah mendistribusikan air bersih sebanyak 5.000 liter kepada warga di Kampung Sirna Sari dan Kampung Sari Asih, Jasinga. Di kampung itu tercatat 283 keluarga atau 1.129 warga terdampak kekeringan. Lalu, 5.000 liter air didistribusikan kepada 124 keluarga atau 511 jiwa di Kampung Maribaya dan Kampung Panyendangan, Jasinga.
Fenomena El Nino
Dari pemberitaan Kompas.id (7/6/2023), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi fenomena iklim El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) akan muncul secara bersamaan dan semakin menguat pada semester II-2023. Akibatnya, Indonesia berpotensi mengalami curah hujan di bawah batas normal, juga kekeringan di beberapa wilayah. Musibah kekeringan akibat dua fenomena tersebut terakhir kali terjadi pada Juli-Oktober 2019.
Wilayah yang berpotensi kekeringan ialah Jawa, Nusa Tenggara, sebagian besar Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Musim kemarau mulai masuk 60-70 persen di wilayah Indonesia. Hal ini dapat ditandai dengan berkurangnya pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia bagian selatan, terutama yang berbatasan dengan Australia, seperti Bali, Jawa, dan Nusa Tenggara.
Berdasarkan data pengamatan suhu muka laut di Samudra Pasifik, La Nina telah berakhir pada Februari 2023. Kemudian sepanjang periode Maret-April 2023 indeks El Niño-Southern Oscillation (ENSO) berada pada fase netral, yang mengindikasikan tidak adanya gangguan Iklim dari Samudra Pasifik. Namun, memasuki Mei 2023 hingga saat ini, fenomena terkait dengan suhu muka air laut di Samudra Pasifik mengalami perubahan yang mengarah pada El Nino pada Juni 2023.
BMKG mencatat, ketika fenomena El Nino dan IOD terjadi pada 2019, sebagian besar wilayah Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Papua mengalami curah hujan di bawah normal.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memprediksi, dampak yang sama bakal terjadi mulai paruh kedua tahun ini. ”BMKG mendeteksi adanya IOD yang semakin menguat ke arah positif saat ini. Pada tahun 2019, kekeringan terjadi akibat El Nino lemah yang diikuti dengan IOD positif,” kata Dwikorita dalam keterangan resminya secara daring, Selasa (6/6/2023).
El Nino dan IOD merupakan fenomena global yang memberikan pengaruh terhadap curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia. El Nino dikontrol oleh suhu muka air laut di Samudra Pasifik, sedangkan IOD positif dikontrol oleh suhu muka air laut di wilayah Samudra Hindia. Keduanya saat ini mengarah pada kondisi yang mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi lebih kering.
Baca juga: Peluang El Nino Menguat, Waspadai Kekeringan di Indonesia
Adapun suhu atau temperatur anomali di Samudra Pasifik saat ini semakin meningkat dan sudah mencapai angka 0,8 atau dekat dengan angka 1. Jika suhu sudah menyentuh angka 1, kondisi itu sudah bisa dikatakan sebagai El Nino moderat. IOD saat ini sedang menuju fase positif. Fase itu terjadi mulai Juli hingga Oktober 2023.
”Namun, ada tren untuk segera memasuki moderat. Intensitasnya semakin menguat dan peluangnya lebih dari 80 persen pada Juni 2023. Lebih tinggi dibandingkan Maret 2023 yang peluangnya masih 60 persen,” kata Dwikorita.