Siswa Gagal PPDB, Pemprov DKI Bisa Bantu Biayai Sekolah di Swasta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu bekerja sama dengan lebih banyak sekolah swasta agar masalah daya tampung siswa baru teratasi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan 210.234 kursi di sekolah negeri dan 6.909 kursi di sekolah swasta dalam pendaftaran penerimaan peserta didik baru atau PPDB 2023. Peserta didik yang tidak tertampung kuota tersebut dan harus masuk sekolah swasta bisa tetap dibiayai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jika tidak mampu.
Mulai Senin (12/6/2023), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membuka PPDB online untuk peserta didik baru dari jenjang SD, SMP, hingga SMA/SMK, sampai Jumat (7/7/2023). Calon peserta didik dapat mengisi total 210.234 kursi dari semua jenjang pendidikan tersebut.
”Daya tampung yang tersedia dalam PPDB 2023 ini mulai dari jenjang SD itu sebanyak 92.716 kursi. Kemudian SMP 70.207 kursi, SMA 27.932 kursi, dan SMK 19.379 kursi,” ujar Pelaksana Tugas Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat kepada media di Jakarta, hari ini.
Adapun ada empat jalur PPDB yang bisa diikuti oleh calon peserta didik, yaitu jalur prestasi akademik dan non-akademik, yang dimulai hari ini untuk jenjang SMP, SMA, dan SMK. Kedua, jalur afirmasi untuk calon peserta didik yang difabel, anak panti, dan anak dari keluarga kurang mampu.
Ketiga, jalur zonasi untuk menyaring calon peserta didik yang terdekat dari sekolah yang didaftarkan. Seleksi jalur zonasi memprioritaskan calon peserta didik yang satu wilayah RT dengan sekolah. Prioritas berikutnya yang berdomisili di lingkungan sekitar RT sekolah, lalu satu kelurahan. Dalam seleksi jalur ini, usia hingga waktu mendaftar juga akan dipertimbangkan.
Keempat, peserta dapat mengikuti jalur pindah tugas orang tua. Berdasarkan proporsi kuota, peserta PPDB jalur zonasi mendapat peluang lebih banyak, disusul jalur afirmasi, prestasi, dan pindah tugas orang tua. Persentasi berbeda tergantung level pendidikan.
”Dengan adanya empat jalur ini, mudah-mudahan tak ada yang namanya diskriminasi. Sebab, semua orang diberikan kesempatan sesuai dengan karakteristik masing-masing,” kata pria yang juga menjabat Inspektur DKI Jakarta ini.
Tahun ini, Pemprov DKI juga membuka PPDB Bersama dengan sekolah swasta untuk calon peserta didik tingkat SMA dan SMK yang tidak bisa tertampung kuota di sekolah negeri. Pemprov DKI bekerja sama dengan 257 sekolah swasta terstandar untuk menyiapkan 6.909 kursi, terdiri dari 2.764 kursi di SMA dan 4.145 kursi di SMK. Siswa yang diterima lewat jalur PPDB Bersama akan mendapatkan penggantian biaya sekolah dan pelayanan yang sama seperti sekolah negeri.
Adapun untuk calon peserta didik yang gagal melalui PPDB dan PPDB Bersama dapat masuk sekolah swasta dengan subsidi. Subsidi ini diberikan bagi calon peserta didik dari keluarga tidak mampu secara ekonomi dan terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
”Kalaupun ada anak-anak kita tidak masuk negeri atau melalui PPDB Bersama, lalu dia sekarang masuk sekolah swasta, tetap kalau dia tidak mampu kami bantu dengan KJP (Kartu Jakarta Pintar), SPP kami bantu, termasuk uang pangkal. Itu komitmen Pak Gubernur. Kalau sudah mampu, ya, bayar sendiri,” ujarnya.
Mekanisme subsidi ini, menurut dia, menjadi cara DKI untuk mengatasi keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Selain itu, untuk ikut bekerja sama mengawasi kualitas pendidikan di sekolah swasta yang bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta.
Solusi jangka pendek
Anggota Komisi E Bidang Kesra DPRD DKI Jakarta, Idris Ahmad, mengatakan, pihaknya telah mendorong Dinas Pendidikan (Disdik) DKI agar memperluas kerja sama dengan sekolah swasta dalam penyelenggaraan PPDB Bersama. Ini agar sistem penerimaan tersebut dapat menyerap sebanyak-banyaknya siswa yang tidak lolos masuk sekolah negeri, khususnya siswa dari keluarga kurang mampu yang ia sebut mencapai 50 persen lebih.
”Kami dorong sebanyak-banyaknya sekolah swasta yang bekerja sama dengan PPDB Bersama sebagai solusi jangka pendek. Kami juga meminta disdik memperbaiki kualitas sekolah swasta agar bisa mempercepat kerja sama ini,” katanya melalui sambungan telepon.
Untuk jangka menengah, ia mengatakan, DPRD akan mempercepat pembahasan Revisi Peraturan Daerah (Perda) DKI Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan. Sejauh yang ia tahu, draf naskah akademik dan dokumen lain untuk revisi perda ini sudah ada. Tinggal penjadwalan pembahasan oleh DPRD.
Salah satu aturan yang akan dibahas, berkaitan dengan sistem PPDB, adalah komitmen anggaran untuk menyediakan dana sekolah bagi seluruh anak Jakarta sampai tingkat SMP. Aturan mengenai anggaran ini belum ada kendati perda itu dalam pasal 16 menyatakan, pemerintah daerah wajib menyediakan dana guna penuntasan wajib belajar 9 tahun; dan menyediakan dana guna terselenggaranya wajib belajar 12 tahun.
Aturan ini juga senapas dengan Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Lalu, Pasal 31 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
”Selama ini, enggak ada mandatory anggaran untuk membiayai siswa sampai tingkat SMP. Kalau sekarang, adanya sistem seleksi. Dampaknya, ada yang diterima, ada yang enggak. Padahal, pendidikan adalah hak semua anak. Makanya, kita dorong agar ada revisi perda ini agar yang sekolah di negeri atau swasta dibiayai,” tuturnya.
Ombudsman hanya bisa mengingatkan agar dua lembaga ini berkolaborasi meningkatkan standar mutu pendidikan di Jakarta. Semua anak punya hak pendidikan. Yang jadi tantangan, negara dan pemerintah bisa menyediakan pendidikan yang layak.
Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, dihubungi secara terpisah, menilai, masalah daya tampung menjadi keniscayaan di kota besar seperti Jakarta karena rasio jumlah anak sekolah yang timpang dengan jumlah sekolah. Perkembangan kota yang mendorong penduduk ke pinggiran kota juga menjadi masalah ketika jalur zonasi PPDB mendapat proporsi tinggi.
”Tengah kota saat ini makin lama jadi pusat bisnis dan permukiman geser ke pinggir kota. Sementara sekolah tidak bergeser. Maka, akan terjadi kelangkaan. Kalau pakai zonasi, jadi tidak merata. Misalnya, SMA 6 dan SMA 70 di Kebayoran dulu dikelilingi permukiman, sekarang jadi pusat bisnis. Jadi, susah diisi kalau pakai ukuran jarak,” tuturnya.
Adanya kerja sama dengan sekolah swasta pun dinilai jadi solusi terbaik mengatasi keterbatasan daya tampung di Jakarta. Ia pun menyarankan Pemprov DKI dan DPRD saling bersinergi agar dapat saling berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan di Jakarta.
”Ombudsman hanya bisa mengingatkan agar dua lembaga ini berkolaborasi meningkatkan standar mutu pendidikan di Jakarta. Semua anak punya hak pendidikan. Yang jadi tantangan, negara dan pemerintah bisa menyediakan pendidikan yang layak,” katanya.