Kasus Ibu Muda Gangguan Jiwa, Rentannya Warga Kurang Mampu
S, warga Kemayoran, Jakarta Pusat, yang mengalami gangguan jiwa harus dievakuasi dari rumahnya karena mengamuk. Bayinya pun terancam. Tekanan yang dialami warga tak berpunya membuat mereka rentan terhadap isu kejiwaan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seorang wanita penderita gangguan jiwa, S (39), harus dievakuasi petugas pemadam kebakaran dari rumahnya di Jalan Sukamulya 7, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (9/6/2023), karena mengamuk dan membahayakan warga sekitar. Tekanan ekonomi dan sosial yang diterima warga kurang mampu membuat mereka semakin rentan terhadap masalah kejiwaan. Untuk itu, akses terhadap pelayanan kejiwaan perlu inklusif dan meluas.
Koordinator Grup A Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta Sektor Kemayoran Tuwaidin Mainsiouw menerangkan, sekitar pukul 22.00 WIB hari itu, ia mendapatkan laporan dari warga Jalan Sukamulya 7, Kemayoran, terkait adanya seorang penderita gangguan jiwa yang mengamuk di dalam rumahnya. Keadaan tersebut membahayakan karena S tinggal bersama anaknya yang masih berusia 1,5 tahun.
Selang 20 menit kemudian, ia bersama enam kru pemadam kebakaran (damkar) masuk untuk mengevakuasi perempuan tersebut dan bayinya dari kamar tidurnya.
Luas kamar yang berukuran kurang dari 3 meter x 3 meter serta terbuat dari kayu dan tanpa cahaya membuat proses sedikit terhambat. Tumpukkan barang yang diduga diserakkan oleh S pun membuat jalan masuk petugas terhalang.
Beruntung, saat evakuasi, S tidak melawan tiga petugas damkar Kemayoran yang memegang tangan dan kakinya tersebut. S pun langsung dibawa dengan mobil petugas kepolisian yang sudah bersiaga sebelumnya. Bayi S diungsikan ke rumah Rukiyah (68), ibu S.
”Tempat tidur dan lemari di ruangan sudah terbalik-balik, di mana-mana terdapat pecahan piring dan kaca. Ketika S sedikit lengah, tiga anggota kami langsung memegang tangan dan kakinya, dan satu anggota lagi mengambil anaknya yang kebetulan berada tepat di sebelahnya. Prosesnya tidak sampai dua menit,” ujarnya di Jakarta, Senin (12/6/2023).
Rukiyah, ibu dari S menyebut, anak perempuannya memang mengalami gangguan kejiwaan, yaitu skizofrenia dan paranoid. Hal tersebut membuat S harus mengonsumsi obat antipsikotik untuk meredakan gejala gangguan jiwa tersebut. Namun, dalam satu tahun ke belakang atau sejak S berkeluarga, anak perempuannya itu diketahui tidak lagi mengonsumsi obat-obatan tersebut.
Rukiyah menduga hal tersebut terjadi karena sang menantu tidak benar-benar memperhatikan dan mendampingi anak perempuannya. Padahal, Rukiyah berharap agar sang menantu bisa membantu S seperti janjinya, sekaligus mengurangi beban Rukiyah yang hampir sepanjang hidup mengurus S. Sang menantu pun diketahui jarang kembali ke rumah.
”Sudah tidak mendapatkan perhatian lagi dari suaminya. Tujuh bulan terakhir obatnya tidak pernah diminum. Saya sedih, katanya mau mendampingi anak saya, tetapi ternyata malah tidak. Ditambah tekanan ekonomi ya, karena menantu saya itu hanya bekerja sebagai pedagang loak sisa-sisa material bangunan,” ucapnya.
Kini, S dirawat di Rumah Sakit Duren Sawit, Jakarta Timur. Rukiyah berharap agar anaknya mendapatkan perawatan terbaik.
Permasalahan seperti ini memerlukan pandangan yang luas karena ini masalah struktural. Ke depan, pelayanan dari kejiwaan perlu lebih inklusif. Selama ini kampanye soal kesehatan mental masih menyasar kelas tertentu saja.
Psikolog klinis, Ezra Putranto, menerangkan, permasalahan gangguan kejiwaan terjadi hampir di seluruh tingkatan masyarakat, mulai dari golongan atas hingga golongan terbawah. Untuk itu, pelayanan kejiwaan dan edukasi mengenainya harus menyeluruh dan struktural. Layanan terkait masalah tersebut pun perlu inklusif ke semua kelas masyarakat.
Khusus bagi masyarakat yang kurang mampu, pusat pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, perlu secara aktif melihat kondisi masyarakat di bawahnya. Apalagi, tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat kelas bawah membuat mereka begitu rentan dengan penyakit kejiwaan.
Edukasi juga bukan hanya untuk warga yang anggota keluarganya mengalami penyakit kejiwaan, melainkan juga untuk warga sekitar. Pengetahuan tentan gangguan kejiwaan perlu diperluas agar masyarakat mengetahui respons yang perlu diberikan saat menghadapi kejadian seperti yang terjadi terhadap S.
Ia meminta pemerintah dan organisasi profesi untuk memperluas kampanye kesehatan mental hingga masyarakat di kawasan-kawasan padat penduduk. Aksi nyata dengan memperluas akses pemulihan juga harus dilakukan karena tidak semua warga memiliki sumber daya yang cukup untuk menangani permasalahan kejiwaan.
”Permasalahan seperti ini memerlukan pandangan yang luas karena ini masalah struktural. Ke depan, pelayanan dari kejiwaan perlu lebih inklusif. Selama ini kampanye soal kesehatan mental masih menyasar kelas tertentu saja,” ucapnya.