Kremasi yang Kian Menjadi Pilihan
Proses kremasi jangan sampai menjadi lahan baru untuk berbisnis sehingga mengabaikan hak dan kewajiban warga khususnya yang tidak mampu.
Sudah sejak lama, sebagian masyarakat tak memakamkan keluarga yang meninggal tetapi mengkremasi atau pengabuan jenazah. Hal tersebut sesuai keyakinan yang mereka anut.
Suasana kental budaya Bali begitu terasa di Krematorium Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (9/6/2023) pagi hingga sore. Saat itu, Jero Mangku Agung Oka, pemuka agama Hindu dari Pura Sagara, membantu persiapan dan memimpin prosesi ngaben atau pembakaran jenazah salah umatnya di Pura Sagara.
Bagi umat Hindu, ngaben merupakan tahap akhir dalam perjalanan hidup manusia di dunia. Prosesi penyucian dengan menggunakan api sehingga tersisa abu ini wajib dilakukan setiap umat Hindu agar roh atau atma mencapai surga.
Menurut Jero Mangku Agung Oka, terlepas dari kepercayaan dalam prosesi ngaben, melalui prosesi kremasi ada esensi penting kehidupan sosial yaitu umat Hindu menjaga tanah sebagai sumber kehidupan yang bermanfaat bagi manusia.
”Kami wajib dikremasi sehingga tentu tidak membutuhkan lahan. Tanah itu bisa digunakan untuk kebutuhan dan dimanfaatkan kebaikan bersama. Kepercayaan terkait kematian setiap agama pasti berbeda, itu kita hormati,” kata Jero Mangku Agung Oka.
Baca juga : Krisis Makam Jakarta
Bagi umat Hindu yang tinggal di Jakarta, kata Jero Mangku Agung Oka, keberadaan Krematorium Cilincing membantu mereka menjalankan hak dan kewajiban agama.
Begitu pula dengan umat beragama lainnya seperti Hendri Wijaya (43), pemeluk agama Kristen. Aturan gereja yang mengizinkan dan memberikan pelayanan ibadah prosesi kremasi membuat keluarganya memilih cara kremasi.
Awal Februari lalu, Hendri dan keluarganya melaksanakan kremasi ayahnya di Krematorium Cilincing. Ayahnya yang tutup usia ke 73 itu jauh-jauh hari sudah berpesan kepada anak-anaknya agar saat meninggal tubuhnya dikremasi.
”Waktu ulang tahun ke 65, kami, anak-anaknya, kumpul. Permintaan terakhir bapak jangan dikubur, tetapi dikremasi saja. Abunya sebagian ditabur ke halaman rumah yang ada bunga lilinya. Sebagian abu lagi bebas mau dilarung (ke laut) atau disimpan. Kami pilih untuk menyimpannya,” kata warga Ujung Menteng, Jakarta Timur itu, Sabtu (10/6/2023).
Kremasi menjadi pilihan karena ayah Hendri tidak ingin kelak makamnya tak ada yang mengurus. Selain itu, pesan lainnya ia tak ingin kematiannya merepotkan orang lainnya sehingga kremasi menjadi pilihan logis dan praktis dibandingkan dikubur atau dibawa ke kampung halaman di Kalimantan Selatan.
”Pengalaman dari beberapa keluarga yang dimakam itu cukup repot. Ya, repot dari sisi biaya, persiapan, perawatan, lokasi, beberapa bulan sekali harus ke makam. Itu pertimbangan dan pilihan dari bapak. Kami turuti. Jangan sampai menyusahkan anak dan cucu kelak, katanya. Mama pun begitu, punya permintaan nanti kalau meninggal dikremasi seperti bapak,” kata Hendri.
Pilihan kremasi oleh orang tuanya itu ternyata memengaruhi Hendri untuk mengikuti hal serupa. Apalagi, ia membayangkan beberapa tahun ke depan akan sulit untuk mencari lahan pemakaman di Jakarta. ”Akhirnya ini pilihan, dikubur atau kremasi. Balik lagi tergantung keyakinan dan biaya,” katanya.
Baca juga: Panen Madu dari Sarang Lebah di Pabrik Sepeda Motor
Kebutuhan
Saat ini di Krematorium Cilincing memiliki 13 tempat pembakaran jenazah yang terdiri dari empat mesin tungku atau oven dan sembilan tempat pembakaran manual menggunakan kayu. Tempat pembakaran manual ini tetap dipertahankan karena ada sejumlah kalangan percaya pada pembakaran alami. Dengan jumlah itu, dalam sebulan Krematorium Cilincing bisa melayani 15-30 jenazah.
Menurut Suryanandar, Wakil Ketua Yayasan Daya Besar Krematorium Cilincing, jumlah tempat pembakaran jenazah mencukupi kebutuhan harian pelayanan warga. Apalagi, keberadaan krematorium sudah tersebar di berbagai wilayah Jabodetabek.
Keberadaan krematorium di Jakarta, khususnya Krematorium Cilincing, kata Surya, tidak hanya sebagai bentuk pelayanan ibadah bagi umat Hindu, Buddha, Kristen dan warga Tionghoa, tetapi juga sevisi dengan pemikiran Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, kala itu.
”Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada 1973 sudah berpikir Kota Jakarta akan menjadi kota yang sangat berkembang menjadi metropolitan. Dampak pembangunan itu akan membuat lahan semakin sempit khususnya lahan pemakaman. Gubernur juga melihat kebutuhan warga Tionghoa saat itu (kremasi) sehingga mendukung sebagai salah satu untuk meminimalisasi penggunaan lahan,” kata Surya.
Tidak hanya warga Tionghoa, jumlah umat Hindu, Buddha, dan Kristen terus bertumbuh sehingga kebutuhan krematorium yang lebih besar semakin mendesak dibangun. Ali Sadikin dan tokoh masyarakat sepakat mendirikan krematorium yang bagus sesuai kebutuhan di Jakarta.
Namun, kebutuhan untuk membangun krematorium itu cukup berat bagi pemerintah. Warga Tionghoa dengan koneksinya mengumpulkan dana untuk membantu pemerintah. Akhirnya pada Agustus 1975 keluar SK Gubernur DKI Jakarta untuk membangun Krematorium Cilincing.
”Warga Tionghoa itu di beberapa daerah, makamnya besar. Sementara kebutuhan lahan pasti ke depan akan semakin dibutuhkan. Saat itu sejak ada tempat ini, banyak warga Tionghoa menggali kuburan keluarga untuk dikremasi. Krematorium ini tidak hanya untuk warga Indonesia, tetapi juga warga asing seperti warga India. Makin hari ke sini banyak pula umat nasrani memilih kremasi. Melihat kebutuhan lahan yang sempit kremasi menjadi jalan keluar, tetapi hal itu tidak bisa berlaku pada semua kalangan karena terkait kepercayaan,” ujarnya.
Selain kebutuhan lahan, lanjutnya, warga yang memilih kremasi karena biayanya yang lebih terjangkau dibandingkan proses pemakaman dan proses yang tidak banyak memakan waktu.
Di Krematorium Cilincing, misalnya, biaya kremasi sekitar Rp 5 juta. Setelah dikremasi, jika keluarga ingin melarungkan abu jenazah ke laut dikenakan biaya sekitar Rp 10 juta. Lalu, jika abunya ingin disimpan di kolumbarium atau rumah abu dikenakan biaya tambahan sekitar rata-rata Rp 15 juta-Rp 20 juta per lima tahun.
Baca juga: Tim Dokter RSCM Periksa Menyeluruh Kondisi Fajri Pasien Obesitas
Komersialisasi kematian. Ini ke depan akan menjerat warga biasa. Tidak hanya rumah, kematian menjadi investasi.
Komersialisasi kematian
Sosiolog Universitas Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, kremasi memang menjadi solusi atas keterbatasan lahan di Jakarta. Meski begitu, jangan sampai ke depan kremasi menjadi lahan baru untuk berbisnis sehingga mengabaikan hak dan kewajiban warga khususnya yang tidak mampu.
Fenomena bisnis itu sudah terlihat pada lahan pemakaman. Bagi kalangan kelas menengah mencari lahan pemakaman tidak menjadi masalah, tetapi kematian bagi kalangan kelas bawah akan menghantui mereka.
”Krisis lahan pemakaman di Jakarta mengakibatkan ada fenomena penumpukan jenazah di satu makam. Hal itu terjadi karena tidak membayar atau tak mampu membayar retribusi. Bahkan, ada lahan perkotaan secara strategis terancam digusur untuk kepentingan komersial, seperti di Rawamangun, Jakarta Timur. Meski tidak besar, tetap lahan di situ strategis. Bukan tak mungkin dalam lima tahun ke depan lokasi itu sudah beralih fungsi,” kata Rakhmat.
Sama seperti pemakaman, kremasi pun bisa bertransformasi menjadi kebutuhan bisnis yang menyasar kalangan tertentu. Jumlah warga di Jakarta terus bertambah dari kelahiran dan para pendatang. Oleh karena itu, pemerintah perlu tegas dalam hal regulasi untuk melindungi warga tak mampu.
”Komersialisasi kematian. Ini ke depan akan menjerat warga biasa. Tidak hanya rumah, kematian menjadi investasi. Warga biasa akan semakin sulit mencari tempat yang terjangkau. Sepuluh tahun ke depan jika tak ditangani serius dan segera akan menjadi masalah,” katanya.