Mencari Peluang, Mengurangi Beban, Lewat Bisnis Kedukaan
Perasaan duka tidak hanya memberikan beban emosional, tetapi juga beban lain yang bisa menguras tenaga, emosi, dan keuangan. Memberi penghormatan terakhir bagi mereka yang telah tiada membutuhkan perencanaan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·6 menit baca
Kepergian orang terkasih selama-lamanya tidak hanya memberi beban secara emosional bagi yang ditinggalkan. Belum sempat air mata berhenti menetes, segala tuntutan terkait pemakaman, mulai dari A hingga Z, harus segera dipenuhi. Mereka yang awalnya hanya bergulat dengan beban emosional langsung diperhadapkan lagi dengan beban tambahan secara energi dan keuangan yang bisa menguras habis tenaga dan isi kantong.
Perasaan seperti ini yang dialami Riman Budiman (37) dan keluarga saat harus menghadapi kepergian ayahnya pada 1993. Kehilangan sang ayah membuat ibunda Riman yang berusia kala itu berusia 40 tahun harus berurusan dengan berbagai urusan terkait pemakaman, mulai dari memesan ambulans, membeli peti jenazah, mencari lahan pemakaman, mencari tenda, dan lainnya.
Tidak hanya sampai di situ, keluarga pun harus menyediakan makanan ringan bagi mereka yang datang melayat. Semuanya harus diselesaikan sembari menahan rasa sesak di dada, ditinggalkan orang yang tersayang. Tanggung jawab yang dipikul semakin berat mengingat sang ibu harus mengurus Riman dan dua saudaranya yang saat itu masih kecil.
”Ibu masih shock saat ditinggal ayah. Jangankan mengurus pemakaman, ia tidak bisa berpikir apa-apa. Ke mana ayah harus dimakamkan pun tidak tahu. Banyak sekali beban yang harus ibu alami dalam satu waktu,” kata Riman saat dihubungi di Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Dengan bantuan keluarga dan sistem kemasyarakatan Indonesia yang kuat lewat budaya gotong royong, permasalahan yang dialami Riman pun bisa teratasi. Namun, solusi atas persoalan itu tidak bisa selamanya mengandalkan bantuan warga sekitar dan keluarga. Apalagi, tidak semua orang memiliki waktu dan kapasitas finansial yang cukup untuk membantu.
Banyaknya tahapan pemakaman yang harus dilalui itu menjadi dorongan bagi Riman dan koleganya mendirikan perusahaan rintisan atau start-up Kamboja pada tahun 2018. Layanan pemakaman dan kedukaan yang pada umumnya ditawarkan secara terpisah coba dipadukan dalam satu pintu. Inisiasi bisnis ini juga didasarkan pada masih sedikitnya layanan pemakaman yang benar-benar terintegrasi.
”Layanan pemakaman terintegrasi di Indonesia masih sedikit. Yang benar-benar terintegrasi dari pengurusan jenazah, katering, tenda, sampai mencetak buku untuk tahlilan juga sepertinya masih kami. Untuk saat ini layanan masih mencakup Jabodetabek,” ujarnya.
Pelayanan terintegrasi pemakaman yang ditawarkan Kamboja mirip dengan layanan asuransi, tetapi berbeda dalam penerapannya. Mereka yang mendaftar akan membayar premi setiap bulannya sesuai dengan paket pemakaman yang dipilih. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 35.000 per bulan hingga Rp 135.000 per bulan. Dana tersebut nantinya akan dikelola dalam bentuk asuransi.
Cukup mereka hanya menanggung beban emosional tidak beban beban yang lainnya.
Jika anggota yang mendaftar tersebut meninggal, dana tersebut akan diberikan pihak asuransi kepada Kamboja untuk digunakan dalam pengurusan pemakaman dari awal hingga akhir. Anggota yang mengikuti program ini dapat memantau perkembangan pembayaran preminya di dasbor digital yang disediakan Kamboja. Pelayanan berbasis proteksi ini juga diharapkan membantu masyarakat menyiasati semakin mahalnya biaya pemakaman di Jakarta.
”Cukup yang ditinggalkan hanya menanggung beban emosional. Jangan ada beban-beban lain,” terangnya.
Di tengah kemudahan yang coba ditawarkan, budaya masyarakat yang masih tabu memperbincangkan kematian menjadi salah satu tantangan yang masih dihadapi para pebisnis pemakaman. Riman menjelaskan, pembahasan rencana pemakaman di suatu keluarga dengan sanak saudara masih belum lazim dilakukan.
”Amit-amit kok malah obrolannya seperti ini. Pasti begitu jawabannya. Perlu diingat, saat seseorang meninggal anggota keluarga lain yang akan menanggung. Perencanaan pemakaman saat hidup itu penting, apalagi untuk keluarga yang masih memiliki anak kecil,” ujarnya.
Selain faktor sosial. tantangan lain dalam pengembangan bisnis ini adalah permasalahan lahan. Dengan semakin sedikitnya lahan pemakaman, para pebisnis layanan pemakaman harus memutar otak agar klien tetap mendapatkan layanan terbaik.
Account Manager Kamboja Asty Martia menerangkan, di Jakarta terdapat dua lahan pemakaman yang masih memiliki lahan pemakaman, yaitu Taman Pemakaman Umum (TPU) Srengseng Sawah dan TPU Kampung Kandang yang keduanya berlokasi di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Namun, transparansi data mengenai TPU yang telah penuh ataupun masih kosong tersebut perlu didorong. Keterbukaan ini penting supaya tidak ada oknum yang memperjualbelikan lahan makam kosong, yang dampaknya sangat merugikan ia dan kliennya.
”Saya harap pemerintah mendata lagi mana TPU yang benar kosong, mana yang benar penuh, atau cek lagi makam yang terus dirawat padahal sudah kosong. Saya ingat terakhir kali yang seperti ini di zaman Pak Basuki Tjahaja Purnama,” ujarnya.
Melansir pemberitaan Kompas (9/6/2016), Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama, sempat membongkar modus penyimpangan pengelolaan lahan makam di TPU milik pemerintah. Bahkan, pada Maret di tahun yang sama, Basuki mengungkap ada praktik pungutan liar di TPU. Ketika itu, dia membuka rekaman suara yang berujung pada pemberhentian 18 pejabat, yang sebagian besar berasal dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, yang kala itu masih bernama Dinas Pemakaman dan Pertamanan.
”Kami temukan banyak makam yang fiktif. Ada batu nisannya, tetapi belum pasti itu ada isinya. Kalau ada yang menyogok, bisa ditaruh di depan,” ujarnya saat itu.
Tata laksana pelayanan pemakaman dan kedukaan yang panjang memang membuka peluang bagi yang ingin terlibat di dalamnya. Berbeda dengan Riman yang memanfaatkan perkembangan teknologi digital, Nurali (40) tetap setia dengan model ”bisnis” tradisional. Ia menggantungkan harapannya pada hari libur atau tanggal merah karena momen itu menjadi lahan basah baginya mendapatkan keuntungan.
Pria yang sejak tahun 1995 bekerja di TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur, ini lihai menangkap peluang ekonomi dari setiap rantai layanan pemakaman dan kedukaan. Berbagai pekerjaan ”kasar” mulai dari membuat peti jenazah, menggali makam, hingga merawatnya bisa ia lakukan. Tarif yang ia tawarkan bervariasi. Untuk merawat makam, ia mematok biaya Rp 50.000 per bulan. Sementara untuk pembuatan peti jenazah, ia dibayar Rp 100.000 per harinya.
Pada saat kasus covid-19 melonjak pada akhir 2020 dan pertengahan 2021, ia mendapatkan bayaran Rp 200.000 per harinya dari pemesanan peti jenazah yang terus berdatangan. Pola kerja yang begitu berat tersebut pernah membuatnya kecapaian dan harus dirawat selama empat hari.
”Pandemi yang lalu tiba-tiba banyak bermunculan bengkel-bengkel peti jenazah. Sekarang yang bertahan cuma tempat saya ini,” ujarnya.
Salah satu hal yang menjadi keluh kesahnya selama berkecimpung di bisnis pemakaman adalah soal pembayaran. Ia mengeluhkan, banyak keluarga yang ingin makam sanak saudaranya dirawat, tetapi hanya membayar di awal saja. Selebihnya, mereka membayar saat tiba waktunya untuk berziarah.
Selalu ada peluang usaha, bahkan di tengah kedukaan sekalipun. Apalagi sebagian kalangan masyarakat, memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang telah tiada adalah segalanya dan butuh pengorbanan. Namun, bagi mereka yang berkecimpung dalam bisnis pemakaman, ada unsur niatan tulus untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan dan tidak melulu urusan cuan.