Peralihan musim kemarau dinilai menjadi faktor yang mendorong kualitas udara di Jakarta pada bulan Mei terus memburuk. Pengendalian pencemaran udara perlu lebih berani karena dampaknya kian berbahaya bagi tubuh.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Curah hujan rendah akibat musim kemarau membuat kualitas udara Ibu Kota terus memburuk. Kebijakan pengendalian pencemaran udara perlu diakselerasi. Tidak hanya berfokus kepada sumber emisi bergerak, tetapi juga sumber emisi tidak bergerak.
Pendiri Nafas Indonesia, Piotr Jakubowski, di Jakarta, Kamis (8/6/2023), menjelaskan, selama bulan Mei 2023, kualitas udara di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) memburuk jika dibandingkan dengan periode April 2023.
Di Jakarta, tingkat particulate matter (PM) 2.5 pada Mei 2023 tercatat 45 mikrogram per meter kubik (µg/m³), naik signifikan bila dibandingkan April 2023 sebesar 28 µg/m³.
Adapun Tangerang Selatan (Banten)dan Bekasi (Jawa Barat) menjadi dua wilayah dengan tingkat PM 2.5 tertinggi. Di Bekasi, Tarumajaya menjadi kawasan dengan tingkat PM 2.5 tertinggi, yakni 85 µg/m³. Adapun di Tangsel, Serpong menjadi daerah dengan tingkat PM 2.5 tertinggi, yaitu 75 µg/m³.
Mengacu pada ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat PM 2.5 di satu kawasan tidak boleh melebihi standar 5 µg/m³. Selain melebihi standar WHO, tingkat PM 2.5 di Jabodetabek juga melebihi ambang batas yang diatur oleh Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat sebesar 12 µg/m³.
Selain akibat emisi kendaraan, industri, dan lainnya, penurunan kualitas udara juga didorong oleh masa peralihan menuju musim kemarau, tepatnya dimulai dari awal hingga pertengahan Mei 2023. Hal tersebut membuat suplai angin dan curah hujan menurun yang membuat polutan menumpuk lebih lama di udara Jakarta.
Sebagai informasi, PM 2.5 merupakan partikel polusi udara yang berukuran 2,5 mikrometer atau 36 kali lebih kecil dari sebutir pasir. PM 2.5 yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat memicu penyakit pernapasan.
”Curah hujan tidak sebanyak sebelumnya dan angin tidak sekencang bulan April 2023. Kita memang sedang memasuki musim udara buruk,” ucapnya dalam paparan di Jakarta.
Berdasarkan standar perhitungan yang dinisiasi Berkeley Earth, dampak buruk PM 2.5 terhadap tubuh manusia dapat diukur dengan membandingkan dengan jumlah rokok yang dikonsumsi seseorang. Pengukuran ini menyebut, beraktivitas di kawasan dengan rata-rata PM 2.5 harian sebesar 22 µg/m³, sama saja dengan mengisap sebatang rokok.
Menggunakan pendekatan di atas, beraktivitas di kawasan Tarumajaya, Bekasi, dengan tingkat PM 2.5 bulanan sebesar 85 µg/m³, ekuivalen dengan mengisap 115 batang rokok per bulan. Contoh lain, seseorang yang berkegiatan di daerah Serpong, Tangsel, dengan tingkat PM 2.5 bulanan sebesar 75 µg/m³ setara dengan mengisap 102 batang rokok setiap bulan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan daerah lainnya dinilai telah membuat terobosan untuk mengendalikan pencemaran udara di Ibu Kota dengan serangkaian kebijakan. Kebijakan seperti meningkatkan kepatuhan uji emisi ataupun pengenaan tarif parkir tertinggi untuk kendaraan yang tidak lolos uji emisi menjadi langkah baik.
Dampaknya sangat berbahaya. Bagi yang tidak merokok, tingkat polutan PM 2.5 yang tinggi membuat mereka seakan ikut merokok.
Akan tetapi, pendekatan tersebut masih berfokus pada pengendalian emisi dari sumber bergerak. Padahal, sumber emisi tidak bergerak seperti asap pembuangan dari aktivitas industri dan pembakaran sampah terbuka juga perlu menjadi perhatian.
”Kebijakannya harus lebih berani lagi. Kendaraan memang menjadi penyumbang polusi yang besar, tetapi sumber emisi tidak bergerak juga berperan. Pembakaran sampah terbuka masih banyak. Industri-industri yang berkontribusi terhadap pencemaran udara juga banyak, bahkan di tengah kota, tetapi sepertinya belum tercatat dengan baik,” jelas Piotr.
Peneliti Atmosfer Nafas Indonesia, Dinda Shabrina, menerangkan, peralihan ke musim kemarau memang menjadi kontributor pemburukan kualitas udara Jabodetabek. Namun, secara umum hal tersebut juga terjadi akibat pengaruh fenomena El-Nino Southern Oscilllation (ENSO) yang membuat musim kemarau menjadi lebih panjang.
Kondisi itu berbeda dengan kualitas udara Jabodetabek pada April 2023 yang lebih baik karena adanya suplai angin dan curah hujan yang cukup besar sebagai dampak dari Siklon Ilsa.
Ia menyebut, kondisi kualitas udara di Jakarta memang bervariasi. Jakarta Utara menjadi salah satu kawasan dengan kualitas udara yang lebih baik jika dibandingkan dengan empat wilayah administrasi lainnya, di samping Kepulauan Seribu.
Kondisi daerah pesisir menguntungkan Jakarta Utara karena mendapatkan tiupan angin laut sehingga polusi tidak terperangkap di daerah tersebut. Akan tetapi, kondisinya tidak selamanya demikian.
”Di bulan Juni ini diproyeksikan akan lebih ada kemunculan hujan lebih banyak dibandingkan Mei, tetapi ini masih pantauan sementara. Data Juni secara akurat belum tersedia, kami menunggu BMKG,” jelasnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyatakan, Pemprov DKI terus meningkatkan upaya pengendalian pencemaran udara dari sumber emisi bergerak dan emisi tidak bergerak. Kebijakan kepatuhan uji emisi, pengenaan parkir tarif tertinggi, dan pengenaan pajak pencemaran menjadi upaya awal untuk mendorong hal tersebut.
”Koordinasi dengan wilayah-wilayah di luar Jakarta juga penting karena emisi juga datang dari aktivitas industri. Langkah awal yang kami lakukan memasang SPKU di tempat baru agar kami bisa mendapatkan data akurat mengenai sumber utama pencemaran di sana apa saja,” jelasnya. (Kompas, 4/6/2023).