Kendalikan Banjir, Pemerintah Bangun Dua Embung di Jakarta Timur
Pemerintah DKI Jakarta berencana membangun dua embung yang terletak di Klender dan CIpayung, Jakarta Timur untuk pengendalian banjir. Agar lebih efektif, upaya ini perlu dibarengi dengan pendekatan berbasis alam.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur, DKI Jakarta, berencana membangun dua embung sebagai upaya untuk mengantisipasi banjir di wilayah tersebut. Sejumlah tantangan dihadapi, salah satunya kondisi belum adanya saluran penghubung untuk mengalirkan air nantinya. Selain pendekatan berbasis infrastruktur, pendekatan berbasis alam juga perlu dicoba agar dampak dari risiko banjir dapat dikurangi.
Ada dua embung yang akan dibangun, yakni di kawasan Kali Kampung Sumur Rukun Tetangga (RT) 002 Rukun Warga (RW) 017 Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur, dan di RW 003 Cipayung, Jakarta Timur. Dari pantauan di lokasi pertama pada Selasa (6/6/2023), embung akan dibangun di bekas lokasi proyek saluran yang menghubungkan Kali Kampung Sumur dan Kali Tegal Amba.
Namun, kondisinya yang penuh sampah membuat upaya pembersihan membutuhkan tenaga ekstra. Pembersihan melibatkan puluhan petugas kebersihan dan satu ekskavator karena sampah telah menumpuk selama belasan tahun di sana. Tinggi sampah yang awalnya sejajar dengan tinggi jembatan yang melintasi perkampungan tersebut, kini sudah sedikit menurun.
Warga RT 002 RW 017 Klender, Nunung (60), yang rumahnya bersebelahan dengan kali tersebut, menuturkan, sampah di sana sudah menumpuk kurang lebih sejak tahun 2005. Ia menerangkan, awalnya kali tersebut adalah perkampungan warga. Namun, dialihfungsikan menjadi saluran untuk mengatasi banjir di wilayahnya.
Dalam pembangunannya, saluran tersebut tidak dilanjutkan karena adanya lahan pemakaman yang harus dibebaskan terlebih dahulu. Pembebasan dibutuhkan karena saluran air di Kali Kampung Sumur harus disambung menuju aliran Kali Tegal Amba. Ia pun berharap agar pemerintah menangani masalah tersebut karena sampah terus menggunung.
”Akhirnya itu menjadi tempat orang membuang sampah. Sudah ada upaya untuk menyediakan tong sampah di setiap rumah, tetapi yang membuang sampah tetap banyak. Harapannya bisa dibuat menjadi embung kecil dan ada tamannya supaya bisa jadi tempat berkumpul juga,” ucapnya.
Wali Kota Jakarta Timur Muhammad Anwar menerangkan, saluran dengan panjang 250 meter dan lebar 7 meter tersebut belum bisa terhubung dengan aliran Kali Tegal Amba karena lokasinya dipisahkan oleh pemakaman. Berkaca pada hal itu, pihaknya akan mengeruk saluran ini sedalam 2,5 meter, untuk nantinya bisa difungsikan sementara untuk menampung air saat hujan datang.
Perbaikan saluran ini diharapkan bisa membuat saluran berfungsi sesuai peruntukannya dan lingkungan menjadi lebih asri. Pengerjaan saluran direncanakan selesai dalam waktu 2-3 bulan. Selain di Klender, pemerintah juga akan membangun embung di Cipayung, Jakarta Timur, untuk mengatasi banjir atau genangan di RW 003 dan RW 006 Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur.
”Yang penting agar berfungsi dulu untuk penanggulangan banjir di kawasan ini. Selain itu, masyarakat bisa memanfaatkannya untuk pertanian kota (urban farming), pemancingan, dan sebagainya,” jelasnya.
Potensi alam
Dalam kesempatan terpisah, hidrolog World Resource Institute, Yudhistira Pribadi, menerangkan, secara umum pendekatan pembangunan infrastruktur masih menjadi andalan dalam upaya mitigasi banjir. Akan tetapi, dengan tren perubahan iklim yang begitu cepat, seperti peningkatan curah hujan yang semakin tinggi, infrastruktur tersebut memerlukan dukungan dengan memanfaatkan potensi alam atau nature-based solutions (NbS).
Berbeda dengan pendekatan berbasis infrastruktur tradisional, adopsi NbS memerlukan kesesuaian dengan kondisi wilayah yang ada. Dalam penelitian yang timnya lakukan, terdapat beberapa upaya mitigasi risiko banjir berbasis alam, seperti restorasi lanskap melalui penanaman kembali pohon, pembangunan kolam retensi, serta memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH).
Ide besar melalui pendekatan ini adalah menciptakan kawasan resapan yang efektif menyerap air masuk ke tanah. Meningkatkan kemampuan tanah menyerap air, bisa membantu pengendalian banjir, khususnya saat air sudah memenuhi drainase ataupun embung yang sudah ada.
Pembangunan kolam retensi contohnya, dapat menjadi tempat air hujan ditahan terlebih dahulu, untuk secara perlahan diresapkan ke dalam tanah. RTH juga dapat difungsikan dalam pengendalian banjir, seperti yang terlihat di Tebet Ecopark dan Taman Barito, Jakarta Selatan.
Ia menjelaskan, salah satu tantangan adopsi NbS di Jakarta adalah ketersediaan lahan. Untuk itu, pendekatan NbS harus dilakukan dalam kerangka pembangunan kota. Tantangan lain yang dihadapi adalah kondisi muka air tanah di Jakarta yang dangkal membuat kemampuan tanah menyerap air sebenarnya sudah menurun.
”Pendekatan NbS untuk mengoptimalkan upaya pembangunan infrastruktur yang sudah ada. Pendekatan NbS ini harus memperhatikan kesesuaian dengan kondisi Jakarta kini. Penelitian terkait ini juga masih sedikit karena memang membutuhkan waktu yang lama untuk melihat hasilnya,” katanya.